Tahun pertama, semua tampak sama. Dengan mata berbinar mengangkasa, segenggam mimpi di hati terpupuk indah. Semuanya menunggu momen yang sudah diharapkan tuk segera tiba.
Apa yang diharapkan mahasiswa di tahun pertamanya?
Aku salah seorang yang mendambakan pengalaman. Dan salah satu pintu mendapatkannya ialah berkecimpung di dunia organisasi atau kepanitiaan yang beraneka ragam.
Namun memilih organisasi bukan semudah memilih makanan apa yang akan kau makan esok hari. Ada pertimbangan. Karena organisasi bukan sekadar jabatan, ataupun kekuasaan. Itu adalah sesuatu yang perlu dipertanggungjawabkan. :)
Memilih organisasi berdasarkan hobi nampaknya patut dicoba. Walau menemukan hobi itu sendiri sebenarnya memerlukan sebuah proses tersendiri.
Organisasi adalah tempat dimana kita akan mengabdi. Bukan sehari-dua hari. Bisa satu semester lebih. Sementara, dengan aktivitas kuliah yang masih tak terduga tampaknya harus diperhitungkan ke depannya juga. Maka dari itu aku memilihnya hati-hati.
Dari mulai profil organisasi, bidangnya dan apa manfaatnya harus benar-benar dicermati. Tercatat aku bahkan pernah ikut tahap rekruitasi tapi menghilang ketika pelantikan hanya karena satu hal.
Hati.
Ia jatuh cinta pada organisasi lain. Dimana ia bisa melakukan sesuatu disana yang tidak dilakukan di tempat lain. Dimana dia bisa menemukan di tempat lain, juga ada tak beda dan tak lain.
:)
----------------------------------------------------------------------------
"Wah anak ** ya?", seloroh seorang senior saat it
"Loh kak kok tau?"
"Iya, biasanya yang malam minggu nongkrong tilawah bareng di MSU ya anak **.
"Oh ya gitu? Insha Allah. Saya masih tahap magang kok. ", jawabku sembari melayangkan senyum malu.
Aku merasa seakan sedikit lebih
sholeh akhir-akhir ini. Bayangkan di saat semua maba menikmati malam minggu di kostnya, malam mingguku berubah tempat mulai saat itu.
MSU? Ya masjid kampusku ini menjadi tempat bermalam minggu rutin organisasi pertamaku di tiap pekannya. Malam minggu diisi dengan tilawah, mengulang hafalan quran dan berdiskusi beraneka rupa. Lepas rehat, sambung lagi dengan qiyaamul lail dengan diimaami senior-senior yang bacaan dan hafalannya luar biasa.
Rutin? Ya, itu sudah budayanya katanya. Bahkan anak-anak LDK sebelah seringkali ikut serta, dan anak-anak ** lah yang menjadi tempat setoran hafalan biasanya.
Jumlah pengurusnya tidak banyak. Bukan karena tidak ingin banyak, namun tidak perlu banyak. Itu membuatnya seakan orang-orang terpilih. Walau sebenarnya mereka adalah sekumpulan orang yang "memilih dirinya".
Terkesima, aku pun mulai mantap berada disana. Apalagi berada di organisasi keislaman memang menjadi keinginanku.
-------------------------------------------------------------------------------------------
"Kuliah mahal-mahal di Telk** rugi kalau ngga ikut lab", kata temanku. Aku setuju. Jika hanya organisasi atau kepanitiaan yang di tempat lain ada, apa bedanya?
Aku pun sejak tahun pertama melanglangbuana berharap bisa mengikuti lab-lab yang ada. Pilihannya banyak, ada studi grup, riset grup hingga menjadi asisten lab. Namun pilihan tentang lab bukan hanya tentang hobi saja, juga tentang tugas akhir. Yang katanya bisa bikin senior ketar ketir. Ngeri nggak tuh?
Transmisi, Jaringan atau Sinyal?
Tiga pilihan itu menjadi jejak awal mahasiswa di jurusanku menapakkan langkah di tahun keduanya.
Namun akhirnya aku jatuh cinta pada suatu lab bukan karena ketiganya :)
"Terima kasih ya", senior itu menyalamiku ketika hendak pulang.
"Makasih buat apa nih mas?", tanyaku bingung.
"Makasih udah mampir", jawabnya sambil tersenyum. Ternyata bukan dia saja, senior-senior lainnya menampakkan tingkah laku yang sama. Entah apa ini namanya, tapi aku suka.
Dan lab itu seakan jadi rumah kedua. Bukan hanya tempat belajar dan berdiskusi, namun juga bercanda, berbagi, bahkan menginap dan mandi pun disana. Benar kata dosenku, rumah itu ada bukan karena sekadar bangunan yang berdiri megah, namun karena orang-orang yang ada di dalamnya.
:)
Sweet.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
not the gun, but the man behind the gun
kata-kata itu sering diucapkan teman-teman sekelasku dulu dalam candaannya. Entah tentang apa mereka berbicara. Tapi aku suka.
------------------------------------------------------------------------------------------------
Beberapa tahun berlalu dan aku tetap setia di organisasi itu. Memang ada kalanya ingin berpindah ke lain hati, namun kenangan akan senior-senior yang berharap bisa melanjutkan mereka selalu saja membuatku bertahan.
Suatu kebanggaan pernah satu tim dengan mereka. Orang-orang hebat, dengan budaya hebat demi impian yng juga hebat. Memang tak selalu segala sesuatu berjalan mulus. Adany proker yang tak berjalan, pengurus yang ilang ilangan atau apapun itu, aku anggap saja penghias kehidupan.
Bagiku tetap, suatu kebanggaan pernah satu tim dengan mereka. Dan suatu kebanggaan tersendiri pula bisa melanjutkan impian mereka. Walau raga mereka tak selalu menemani, tapi doa mereka selalu menyertai. Indah bukan kawan?
Hingga saatnya tiba, aku menjadi ketua. Posisi yang bahkan tak pernah aku pernah bayangkan sebelum ini. Tahukah engkau kawan, ternyata mempertahankan sebuah budaya tak kalah susah dengan membangunnya dari awal. Susah mengumpulkan anggota untuk mabit di akhir pekan? Oke, ganti jadi per 2 pekan. Hingga akhirnya per bulan, dan hanya dihitung jari terlaksana. Dan di semester berikutnya, itu hanya jadi cerita lama.
Bagaimana dengan proker lainnya? Tak begitu buruk. Dan memang tantangan setiap zaman berbeda. Apapun yang terjadi kini Allah tlah mengambil amanah itu. Dan aku merasa sangat bersyukur pernah dipercaya mengembannya.
Aku baru sadar. It's not the gun, but the man behind the gun.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Senior-senior kebanyakan telah lulus. Cerita sukses mereka seakan membuat diri ini ingin sesegera mengikuti jejaknya. Lab kami pindah. Bukan di depan LC dengan bangunan unik berbentuk segi delapan sebagaimana sebelumnya. Dan budaya itu juga perlahan berubah. Tidak ada lagi acara shubuh berjamaah selepas menginap bersama. Atau jabat tangan sederhana setiap kali meninggalkan tempat. Dan lain sebagainya.
Aku merasa menjadi salah satu penyebab kesalahan itu. Seperti di organisasi sebelumnya, it's the man behind the gun.
Siapa sangka, senior yang selalu ramah, bercanda, menyapa dan menghargai juniornya itu sudah dari sononya begitu saja? Tidak. Mereka pun berproses. Dan itu yang aku lupa.
Mungkin aku terlalu sibuk dengan masalahku, agendaku, dan apalah yang berbau tentang "aku". Dan ketika sadar, demikian pula sekitarku.
Tidak semua orang dasarnya ingin tahu masalah orang lain. Ada yang pendiam. Ada yang memang tak acuh. Tetapi jika memang tidak ada keinginan, bagaimana bisa berlabuh sebuah kuatnya ikatan, yang bukan hanya tentang amanah dan jabatan. Ini tentang..................................................
-------------------------------------------------------------------------------------------------
not the gun, but the man behind the gun
memilih yang baik memang hak kita. Namun menjaga kebaikan itu tetap ada dan terjaga, siapa lagi selain kita?
Bukan hanya karena organisasi ini baik, kita akan jadi baik. Tetapi juga perlu orang-orang baik agar organisasi ini tetap berjalan baik.
Maka jika dulu aktif memilih, pantaskah kita enggan memilih aktif?
:)
Siapapun kalian yang membacanya, semoga bermanfaat
Raffa Muhammad
@sky_sparker