Well, ini adalah kisah nyata kedua yang kudapat setelah mendapatkan inspirasi disini dari kisah hidup seorang tetangga di Lumajang.
TRUE STORY :)
Ujung diantara ujung yang paling ujung nikmat dunia memang merasakan bahagia. Tanpanya, harta yang ada, sehat yang dirasa, dan waktu yang lapang terasa hampa. Baru beberapa bulan lalu keluarganya berduka. Ibunya kini menemani Sang Ayah dipanggil sang kuasa dengan penyakit yang cukup lama dilawan di sisa-sisa akhir hidupnya, diabetes.
Tak berhenti sampai disitu, dua orang kakaknya, serta seorang adiknya juga didiagnosa memiliki kadar gula yang juga bermasalah. Seketika ia pun berkaca. Dilihatnya tampilan tubuhnya sendiri.
"Allahu Rabbi", pikirnya dalam hati. Ia masih ingat betul perjuangannya hari itu. Ketika hari dimana ia belum diangkat menjadi salah satu pendidik resmi. Ia rela kesana kemari meninggalkan anak istri, ke luar kota beberapa hari, kembali lagi dan lagi ikut seminar, pelatihan, dan berbagai acara yang dijalani dari kegiatan utamanya ikut sebagai pengajar sebuah bimbingan belajar di kota kecil ini.
Dan kini, perjuangan demi perjuangan yang berlalu telah terjawab sudah. Perlahan, kesejahteraan keluarga membaik dengan diangkatnya ia beserta sang istri sebagai guru tetap (PNS). Rumah yang dahulunya kecil, ia bisa renovasi hingga kini megah. Kendaraan yang dulunya seadanya bisa ia ganti hingga kini menjadi mewah. Dan perlahan-lahan kenikmatan yang ia damba bisa ia tuai dengan kerja kerasnya. Keluarganya pun makin harmonis, dengan seorang putra dan dua orang putri cantik yang menghiasinya.
Tapi sungguh, bayang bayang penyakit gula yang mematikan ini menghantuinya. Setelah dicek ternyata memang sama seperti saudara saudarinya, ia memiliki kecenderungan itu. Faktor turunan (genetik) memang mempunyai peranan penting terhadap berkembangnya penyakit diabetes pada seseorang. Selain itu lingkungan juga berpengaruh. Kesejahteraan telah membuatnya memiliki berat badan yang cukup gemuk.
Terkadang, banyak orang beranggapan sangat menyebalkan ketika memiliki materi tapi kita tidak bisa menikmatinya secara maksimal. Dengan dalih itulah beragam macam kenikmatan mereka upayakan. Tetapi karena itu pula justru terkadang silaunya dalam silaunya kenikmatan, kesehatan tergadaikan. Jika memang maut menjemput, maka dokter terbaik pun hanya bisa terdiam bukan?
Dan ternyata dia belajar memahaminya pelan-pelan. Dia mencoba yakinkan dirinya, bahwa dia tak akan diam melawan ancaman penyakitnya. Dia tak tahu memang kapan ajalnya datang, tapi ia ingin setidaknya ketika saat itu tiba ia bisa melihat buah hatinya menggapai cita-cita mereka. Maka ia pun berusaha. Melawan dirinya sendiri. Melawan segala nikmat yang harusnya halal, dan perlahan ia haramkan demi kesehatan.
Dia belajar mengubah pola hidupnya. Dari mulai olahraga rutin secara ringan, hingga jogging selepas shubuh datang. Agar bisa tepat waktu lari pagi, dia pun mulai membiasakan diri jamaah shubuh di masjid. Perlahan, ia pun merasakan nikmatnya berjamaah. Dan sejak saat itu ia rutin berjamaah.
Untuk mengecek perkembangan tubuhnya, ia pun rutin memeriksa darahnya. Mengatur makanan yang dilahapnya. Sekalipun ia bisa membeli, ia atur porsi secukupnya. Ia tahan dirinya dengan puasa sunnah.
Tahukah kini bagaimana kondisinya?
Dia semakin bugar. Berat badannya turun. Kadar gulanya cukup bagus dan teratur. Dia jauh terkesan kekar dibanding sebelumnya yang bisa disebut tambun. Dan tahukah kawan, Ramadhan kali ini, adalah Ramadhan pertamanya menjadi imam tarawih di musholla kecil sekitar rumahku, bergantian jadwal dengan para imam lainnya. Perlahan ia sering berjamaah, ia pun dipercaya menjadi imam. Karena asalnya memang cukup memilii dasar agama di keluarganya, menjadi da'i baru di RT kami pun tidak masalah.
Ketika kenikmatan itu begitu berharga
Kawan, ketika kita pikirkan. Mungkin ada yang memilih jalan yang berbeda jika memilih menjadi dia. Dengan kesejahteraan yang ada, beberapa mungkin enggan memilih menahan diri dari nikmatnya makanan dan berlepas dari lelahnya mengolah badan. Pasalnya, dokter terbaik bisa mereka datangkan. Obat terbaik bisa terbeli. Namun apa daya, obat terbaik dan dokter terbaik pun tidak akan bisa menyembuhkan, ketika raga ini sudah tidak kuat menahan beban.
Tidak selalu orang yang memilih sepertinya akan berakhir baik memang. Namun Allah tidak akan pernah mengkhianati perjuangan seorang hamba-Nya bukan? Umur Allah yang tentukan. Namun kekuatan raga tuk bertahan, kita bisa ikhtiarkan.
Setidaknya, sosok di atas benar-benar mengisahkan ketika kenikmatan yang ia dapati benar-benar ia syukuri (dalam hal ini kejahteraan) yakni dengan ikhtiar menjaga kesehatan, maka setidaknya tubuhnya bisa makin bugar, dan salah satu bonusnya ia bisa merasakan manisnya iman.