Halaman

Assalamualaikum, welcome

Sebuah eksplorasi hati...

Selasa, 24 Desember 2013

Diantara Rahasia Langit

Hari demi hari berlalu tak terasa..
Hingga disinilah saat ini berada..
Berdiri diantara bumi dan langit yang menyerta..
Langkah ini, sudahkah seperti seharusnya?


Sudah sejauh ini. Berbagai diorama pun mengemuka, diantara bayang-bayang abu-abu yang hanya diterawang saja. 

Andrea Hirata dalam bukunya Maryamah Karpov menuliskan, buah termanis dalam berani bermimpi adalah keajaiban-keajaiban dalam perjalanan menggapainya. 

Jika dipahami seksama, ada dua poin didalamnya. Tentang keberanian dan perjalanan.

Keberanian menghantarkan pada titik pemilihan awal, diantara berbagai opsional yang juga tak kalah membingungkan, berani memilih adalah salah satu pokok dasar. Sementara perjalanan menjadi proses selanjutnya tuk mengarungi samudera.

Lalu bagaimana dengan ketetapan-Nya?

.......boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 216)

Allah menggaransi bahwa Dia lebih tahu tentang yang terbaik untuk kita. Bahwa ketetapannya itulah yang terbaik. Di satu sisi memang terbaik tidak selalu dalam kondisi baik, ibarat dokter mau mengamputasi kaki pasien. Siapa yang ingin kehilangan kaki? Sungguh pasti pilihan yang tidak baik, namun bagi dokter apabila tidak diamputasi infeksi bisa menyebar ke anggota tubuh lainnya maka pilihan amputasi pastilah terbaik.

Sementara di sisi lain, ketahuilah terbaik juga bisa diartikan paling baik diantara yang baik. Jadi tinggal seberapa besar iman kita untuk memegangnya erat. Karena sesungguhnya takaran kebaikan relatif, dan Allah pasti yang Maha Tahu.

Tentang Rahasia Langit?
Apakah jalan yang kita pilih merupakan yang Allah maksud terbaik untuk kita? Siapa yang tahu? Menerka dan terlalu sok memprediksi apabila hanya membuat kita melambat buat apa juga?

Jadi jalani saja, dan terus selalu libatkan Allah dalam prosesnya.

Allah sesungguhnya bukan menguji kemampuan kita, namun kemauan kita. Karena di Al Quran sudah dijelaskan ujian bagi kita sudah ditakar sesuai kemampuan kita. Kita boleh jadi mampu mendapatkan yang lebih baik dari ini, namun jika kita tidak mau apalah artinya takdir terbaik?

“SESUNGGUHNYA ALLAH TIDAK AKAN MENGUBAH NASIB SUATU KAUM KECUALI KAUM ITU SENDIRI YANG MENGUBAH APA APA YANG PADA DIRI MEREKA ” QS 13:11

Apabila kemauan itu ada, ikhtiar kan jadi aksi nyata, hasilnya? kembalikanlah semua kepada-Nya. Bisakah kita?

Diantara rahasia langit Sang Kuasa 
Ada satu yang mudah dirasa, dan diterka
Kecuali 'pabila hati ini tlah terlalu rusak oleh noda

Hanya Dia yang masih mengizinkan nikmat iman dan Islam ini ada
Sekalipun diantara noda itu tlah menggunung tak terasa 
Semua tak terkecuali karena kasih sayangnya yang tak hingga

Ingatlah hanya Dia yang tahu siapa kita



#Terinspirasi Ceramah Ust Salim A Fillah tentang Qodho' dan Doar

Takut kehilangan?

Bukan karena takut kehilangan tapi ..
Karena takut tidak bisa mendapatkan yang lebih baik !!
Itulah yang membuat sebagian orang takut kehilangan #mungkin

biasanya sih ketika tangan mengepal kencang, maka tangan tidak mau melepaskan apa yg ada digenggaman

Bukankah itu sama saja meragukan kekuasaan Allah..??
Sedangkan yang ada digenggaman pun belum tentu itu baik dan terbaik

" Lebih baik kehilangan sesuatu karena Allah daripada kehilangan Allah karena sesuatu"

*status teman :)



Sabtu, 21 Desember 2013

Aku Terwarnai

Berat ketika sudah memutuskan keluar dari lingkaran dengan keterbatasan. Ilmu yang masih sekadar pemanis kata,  prinsip yang ternyata bisa luluh dengan mudah, dan perlahan waktu bergulir tak terasa akan membawamu ke muara yang tak terduga. Mereka yang berada di posisi ini biasa menyebutnya keterlanjuran, yang membuat merasa tak pantas lagi untuk kembali ke lingkaran.

Jika sudah demikian lalu bagaimana? Mengikuti bagaimana arus membawa? Lalu bagaimana dengan deretan cita-cita, amanah dan cinta mereka yang selalu percaya? 

Sesekali membayangkan momen pertanggungjawaban nanti pasti pedih. Sangat pedih. Tak bisa berkata-kata. Ingin membela, namun tak kuasa hati melakukan pembenaran karena memang tak ada kebenaran kecuali pembenaran dalam jalan ini.

Duhai Allah, sedih rasanya menjadi satu dari sekian banyak di luar sana orang-orang yang kehilangan harapan, hingga melakukan pembenaran demi pembenaran atas yang mereka kerjakan. Perlahan, hati kecil pun serasa terbungkam. Hingga kebenaran semakin jauh tenggelam, tak lagi ingin tampak ke permukaan.

Kebenaran itu kian jadi abstrak. Menjadi coretan saja yang tak lagi dimasukkan dalam buku perjalanan ini.

Tiba-tiba sosok itu datang. Ia katakan, "Allah maha luas karunianya, begitu pun pintu maaf dan taubat-Nya untuk hamba-Nya".

Mengangguk perlahan. Seraya menjawab pelan, "Aku tahu itu"

"Tidak engkau tak tahu apapun!", sosok itu menunjukkan gelagat tak ramah.

"Aku tahu kok".

"Tidak, kau sama sekali tak tahu", teriaknya murka. "Masalahnya, diantara pintu-pintu itu maukah kau mencarinya? Beranikah kita memasukinya dan tak kembali lagi keluar darinya? ". Dan ia pun membuang muka, kembali ke cermin.

-----------------------------------------------------------

Waktu tak terasa berjalan. Dan perlahan, dosa-dosa ini membukit. Dan tercipta perbukitan hingga mungkin sudah menjadi gunung. Ah sudahlah, tak berani bersuudzon pada-Nya. Karena bagaimanapun Dia-lah satu-satunya tempat berharap. Bagaimanapun!

Awalnya mulai dari yang kecil. Seperti di teori. Dan perlahan teori itu kembali menunjukkan kebenaran. Berlama-lama disana, munculkan kenyamanan. Al Quran sudah perlahan ditinggalkan. Shalat malam mulai terlupakan. Bahkan shalat fardhu jadi keteteran. Parah jika kenyamanan itu dianggap kenikmatan yang Allah ridhoi. Parah!

Diantara dosa-dosa yang besar, pastilah menyepelekan dosa kecil adalah salah satu diantara hal yang membuatnya jadi besar. Logis.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Halaqoh Tahfizh saat itu, Allah mempertemukan dengan Ust Ami. Seorang pimpinan Pondok Pesantren Tahfizh dari Baleendah

"Ustadz, saya merasa terlalu banyak dosa untuk tilawah. Ngerasa tidak pantas memegang kitab Allah yang suci ini", kataku saat itu.

"Justru ketika kita merasa jauh dari Allah, harusnya makin banyak tilawah. Al Quran bukan diturunkan untuk orang-orang suci, namun untuk mereka yang senantiasa ingin mensucikan diri"


---------------------------------------------------------

dimalam penuh bintang
di atas sajadah yang kubentang
sedu sedan sendiri
mengaduh pada Yang Maha Kuasa
betapa naif diriku ini hidup tanpa ingat pada-Mu
urat nadi pun tahu aku hampa..

di malam penuh bintang
di bawah sinar bulan purnama
kupasrahkan semua
keluh kesah yang aku rasa
sesak dadaku
menangis pilu
saat ku urai dosa-dosaku..
dihadapan-MU ku tiada artinya............

doa kalbu tak bisa aku bendung
deras bak hujan di gunung sahara
hatiku yang gersang........
terasa oleh tenteram...

hanya Engkau yang tahu siapa aku
tetapkanlah seperti malam ini
sucikan diriku selama-lamanya.......

DOA KALBUKU......










Sabtu, 23 November 2013

Sesayat Nasihat

Saat kau mengerti ada yang salah denganmu, ada yang kurang padamu, hingga sejenak kau lihat sekelilingmu menunjukkan skenario yang bahkan tak sekalipun ada di benakmu, maka berdiamlah sejenak.

Berdiam bukannya tak melakukan apapun, justru berdiam karena bisa jadi apa-apa yang kau lakukan tak memperbaiki keadaan sedikitpun.

Ketahuilah, ketika engkau memilih berdiam memang ada gejolak yang teredam. Semangat yang terabaikan. Gemuruh ide yang seakan terkekang.

Engkau adalah manusia, dan bahkan Rasulullah pun ditegur oleh-Nya ketika alpa. Maka cukuplah tanda-tanda kecil membuatmu berbenah sebelum adzab berujung penyesalan tiba.

Belajar tentang kesabaran ialah perjuangan panjang, sepanjang jalan pembelajaran yang kita tempuh hingga jaraknya liang lahat perlahan mendekat.


“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya baik baginya dan kebaikan itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin. Apa bila ia mendapat kesenangan ia bersyukur dan itulah yang terbaik untuknya. Dan apabila mendapat musibah ia bersabar dan itulah yang terbaik untuknya.” (HR: Muslim)



Senin, 11 November 2013

Sebait Rasa

Cukup sudah beranalogi mesra. Apalagi tentang rasa. Belum masanya, tapi sangat memperdaya. Takkan ada habisnya. Ujung-ujungnya sang waktu perlahan terkikis tanpa asa.

Hey!!! Itu bukan lagi masa dimana seonggok keinginan seperti remaja. Ini, itu serta merta tanpa visi bermakna.

I've grown up. 

Sekarang terserah kalian anggap apa. Penjahat? Musuh? Oke fine! Cukup masanya menjadi good person for everyone. Being good to everybody.

Mungkin ini saatnya mengecewakan. Mengecewakan seribu orang tak apa, daripada mengecewakan mereka yang selalu ada di saat suka maupun duka. Berjuang dari dulu, kini dan nanti tanpa henti. Selalu setia tanpa diminta.

#Salam Respect

Bismillah.

Allah, kuatkan hambamu ini





Cukup sudah!

Cukup sudah menjadi lilin diantara kegelapan yang ada. Terus berusaha menebar cahaya, sementara tak terasa diri sendiri terbakar tanpa daya.

Cukup sudah!


Ingin Merdeka

Ah masih lama rasanya aku kembali ulang tahun dan menetapkan resolusi seperti biasanya. Namun kali ini aku ingin bebas. Bebas menetapkan apa yang kusuka. Bebas melakukan apa yang kudamba. Bebas bersikap. Dan dengan itu aku tetapkan resolusi tak selalu tiap usia berkurang setahun secara resmi, karena kematian pun datang tak pernah pasti.

Merdeka!!!

Hari pahlawan kian berlalu dan pelajaran tentang kemerdekaan ini membuat malu. Diri ini serasa masih saja menjadi benalu. Tak kunjung berani mandiri di tengah zaman hiruk pikuk penuh kelabu.

Aku lupa kapan tepatnya aku menjadi seperti ini. Perlahan goyah tak bisa mandiri. Dahulu aku tidak seperti ini. Pernah mengalami masa-masa merdeka lebih tepatnya, mengontrol diri sehingga ada kepuasan tersendiri.

Aku ingin begini, aku ingin begitu, ingin ini ingin itu banyak sekali.....................
Hey, keinginanku yang tersisa masih banyak di kampus ini. Namun kembali ke keinginan utama, mengapa aku berada disini. Setidaknya aku ingin kembali kepada keinginan itu. Kembali fokus. Jadi anggaplah keinginan lainnya adalah manik-manik penghias yang menghantarkan ke muaranya semula.

Aku tak ingin kembali direpotkan hal menye-menye yang ternyata hanya benalu, menghabiskan waktu dan membuatku sibuk akan hal yang tak tentu.

Mati itu pasti. Tugas Akhir apalagi. Membahagiakan orang tua tak perlu ditanya lagi. Setidaknya ketiganya cukup, tak perlu hal lain lagi.

Jika ada hal-hal lain yang berani kembali membelenggu. Dengan ini aku menyatakan seorang Faizal Ramadhan merdeka! Kemarilah dan kau akan kuserbu.

Membiasakan kembali menjadi sosok lama akan membutuhkan waktu. Semoga tetap terkejar. Duhai Allah, ikhtiarku yang utama. Dan pertolonganmu akan menghantarkan itu semua. Hamba lemah penuh dosa ini tak bisa apa - apa. 




Senin, 04 November 2013

Overview Setengah Perjalanan

"Sekarang itu zamannya serba hebat. Teori-teori segala macem mudah didapat. Tinggal internetan semua sudah lengkap. Mentoring ini hanya pertemuan singkat. Dan kembali kepada diri kita masing-masing apakah perubahan nantinya didapat"

Selasa, 15 Oktober 2013

Akhir Tentang Kita

Entah seterjal apa ngarai yang kita tlah lalui
Mungkin sejengkal nyalipun enggan kembali
Ke masa dimana senyum pun terkembang tak pasti
Bagaimana ini? Lalu yang satunya juga, bagaimana ini? 
Semua penuh tanda tanya, bingung tuk melangkahkan kaki

Ketahuilah, 
Aku tidak pernah bisa memilih kerikil yang kan menyapa kaki-kaki kita
Debu yang menari mengejek barisan kita
Ataupun angin yang menghempaskan visi-misi kita

Dan perlahan memang
Hati-hati kita tlah terpenjara lesu
Lidah-lidah kita jadi terkunci kelu,
Dan kedekatan kita yang terbangun susah, payah, dan penuh pengorbanan itu... 
semua juga berakhir luruh

Entah ini hanya prasangkaku,
atau Allah yang belum mengizinkan kita tuk bersatu?
Dan ketika jemari ini memetik rindu
Aku hanya teringat, tentang hari-hari yang pasti kan kenang selalu

Aku mengingat senyum gilamu yang masih terkembang saat pendaftar kita masih dihitung dengan jari
Sementara malam itu kau isi dengan menyiapkan segalanya seakan esok 100 orang akan kau jumpai
Padahal proposal kita mengendap dalam momen PHP tingkat tinggi
Dan anggaran sudah kita usahakan tekan tapi tak bisa lagi

Atau wajah optimismu ketika kau rancang mimpi tampil di MTQ..
Saat itu pendaftaran sudah ditutup, dan benar-benar takdir Allah membuat panitia luluh membuat kita bisa daftarkan diri..
Tak ada dana, dan presentasi ke rektor benar-benar cairkan puluhan juta tuk kita lanjutkan mimpi

Aku tak pernah menyesali perjalanan ini..
Sekalipun tak selalu terbingkai indah momen-momen kita menangis dalam hati
Atau letih yang kita coba sembunyikan malu-malu meski muka ini tak bisa menutupi

Ketahuilah sahabatku,
Bahkan dunia ini takkan begitu membuatmu tertawan
Begitu kau tahu apa yang Dia sembunyikan di balik bilik-bilik relung keikhlasan

Akhir tentang kita,
Ialah bukan tentang cerita heroisme yang membelalakkan mata mereka
Yang aku inginkan hanya, 
sebuah generasi penerus yang jauh lebih siap dengan kaki-kakinya
Ketika duri tlah semakin tajam bermetamorfosa

Nobody can go back and start a new beginning, but anyone can start today and make a new ending...



Senin, 09 September 2013

Aku, Dua Ribu Sepuluh

Pekan pertama tahun keempat dimulai sudah. Genderang perang diantara dedaunan kesempatan yang tersemai dalam perjalanan pohon kehidupan.

Aku, dua ribu sepuluh. Ini tahun terakhirku, dan ini targetku untuk semester ini. Baca dan ingatkan saat aku lalai ya :)

1. Aku pengen lulus dengan IPK di atas 3
2. Aku pengen lulus 4 tahun
3. Aku pengen segera kerja di 2015
4. Aku pengen bisa ikut nabung memberangkatkan haji orang tua
5. Aku pengen ikut biayain adik-adik sekolah
6. Aku pengen bisa melakukan yg terbaik di akhir amanah Direktur MQ
7. Aku pengen .............

IPK-ku mepet banget kawan -_- masih di bawah tiga. Tapi ga masalah. Aku bangga dengan hasilku itu. Itu adalah akumulasi hari-hari penuh kemalasan, perjuangan, hingga tangisan. Duhai robbi...

Semester lalu aku mendapatkan IP terburuk sepanjang sejarah. Well, that's shocks! 
Aku bahkan bingung pas pulang ke rumah mau cerita apa.

Dibilang apa penyebabnya, ya salahku sendiri. Masa mau nyalahin amanah-amanah yang aku emban sih?
Meski secara de facto really tiring semester lalu. Bad management! 

Aku hanya mendapati senyuman yang sama ketika melihat mereka. Senyuman kepercayaan. Senyuman penuh harapan. Senyuman penuh keyakinan, bahwa aku bisa, aku mampu.



Aku memiliki orang tua yang tidak terlalu pandai berekspresi. Mereka tak banyak berkata-kata, atau berucap nasihat panjang penuh makna. Well, tapi dari detik-detik yang mereka lakukan dalam bekerja, mereka pasti mengharapkan yang terbaik bisa aku lakukan.

Mereka tak menargetkan aku lulus kapan. Mereka tidak pernah memarahi IP-ku jelek. Mereka percaya aku bisa. 

Aku kangen dimarahi seperti pas SD, SMP dan SMA.

Ababil banget ya, udah gede pengen saja diperhatikan :'( hehe

Hal yang aku benci di tahun terakhir ini, aku jadi senior :(

Aku memiliki jabatan. Kata-kataku didengarkan. Aku punya banyak kenalan. Tapi makin jarang yang mengingatkan. Makin jarang yang menguatkan. :(

Sepertinya aku belum matang. Belum disiplin. Belum bisa sayang ama diri sendiri. Belum sayang ama target yang kumiliki. Masha Allah 

Tahun lalu emang bener2 dahsyat dah aku ngerepotin orang tua. Aku 2x kehilangan laptop, sekali kehilangan harddisk, dua kali kehilangan sepatu. Dan yang parah, aku menghilangkan laptop temanku. Semua karena lalai. Dan makin parah karena tidak berimplikasi pada IP yang tinggi. Malah IP terendah selama kuliah tahun lalu itu adanya :(

Aku, dua ribu sepuluh.

Ini tahun terakhirku. Aamiin. Ya Allah jadikan aku bisa. Jadikan aku mampu. Buang malas dan lemah dalam jiwa hamba-Mu yang hina ini. Dekatkan hamba kepada-Mu. Jauhkan dari yang menjauhkan dari-Mu. 










Minggu, 08 September 2013

#NeverStop

Satu tema, lain cerita, beda settingnya..
Sudah terprediksi megah dengan hebat oleh sang sutradara..
Terkumpul semua dengan satu tujuan yang sama..
Oh sayangnya aktris kita penuh talenta.. 

Improve seenaknya tak peduli naskah yang lama..
Oh dunia cepat sekali waktu adanya..
Mundur makin hancur, maju tetap lebur..
Tidak berhenti belajar teratur, agar tetap bisa menggempur..

#NeverStop

Jangan takut jadi sampah,
karena sampah pun masih bisa berguna
 
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (QS Al-Ankabut ayat 64)

#RandomThought

Senin, 02 September 2013

Sebuah Poin Kontribusi

Lakukan segala apa yang mampu kalian amalkan. Sesungguhnya Allah tidak jemu sampai kalian sendiri merasa jemu.” (HR. Al Bukhari)

Ada banyak hal yang belum kita tahu. Ada banyak ketrampilan yang kita belum bisa. Ada banyak wawasan yang kita lewatkan. Sementara ada ribuan buku yang terbit tiap hari. Ada miliaran ilmu yang berkembang setiap waktu. Ada miliaran manusia yang kita belum kenal. Ada jutaan tempat yang belum kita kunjungi. Ada banyak kata yang belum sempat terucap dan tersampaikan. Ada banyak buah pikiran yang belum tersalurkan. Ada banyak ide yang belum kita kemukakan. Ada pula banyak rancang karya yang belum kita wujudkan. Dan Demi Allah, ada banyak ilmu yang belum kita amalkan…

Padahal Allah telah menyediakan tempat belajar: ada banyak masjid tanpa jamaah dan pemakmur. Ada banyak TPA/TPQ yang kekurangan pengajar. Ada lembaga dakwah kampus yang terkesan berkubang persaingan hanya karena kurang orang. Himpunan yang krisis kaderisasi. UKM dan lab yang sepi peminat. Riset kampus yang makin tidak terlihat. Prestasi kampus baik nasional dan internasional yang perlahan makin jarang didapat.
Masih Banyak yang Butuh Kita
Sekitar kita masih banyak angka putus sekolah. Tengok saja bocah-bocah di PGA, Sukabirus dan sekitarnya. Mereka manis-manis. Bermain tertawa meringis. Tanpa tahu apa yang akan mereka hadapi Sekolah memang gratis, tetapi banyak faktor membuatnya masih dianggap kurang efektif. Sarjana pengangguran. Walau sebenarnya lebih banyak pengangguran akibat minimnya pendidikan.


Anak-anak sekitar kampus

Itu yang dekat dan kecil. Ada yang dekat tapi besar. Misalnya tetangga kita (warga) yang masih terjerat kemiskinan di sekitar kampus. Tingginya biaya hidup membuat mereka kian tergerus. Sementara kita yang datang dari keluarga cukup berada perlahan menciptakan jurang pemisah yang kian menganga setiap tahunnya. Rumah mereka sudah sempit, sangat amat sederhana pula. Sementara tiap tahun bermunculan bangunan baru tuk hunian mahasiswa. Dan semuanya perlahan menutup rumah-rumah mereka dari sinar mentari yang ada. Menghalangi senja sebagai pemandangan indah kala sore menyapa. Hidup serba ada terkadang melalaikan kita. Meremehkan mereka. Mengacuhkan mereka. Membuat mereka seakan pribumi hina yang tak punya apa-apa.

Ratusan anak jalanan dan para pengemis lalu lalang di perempatan jalan di tiap sudut kota Bandung. Beberapa memilih menjadi peminta-minta. Dan kita hanya mencap-nya hina tanpa bisa membantu kepastian masa depan yang lebih cerah. Mental mereka sudah merasa nyaman di zonanya. Dan jangan harap pemandangan ini bisa berkurang setiap tahunnya jika tidak ada yang mencoba memperbaikinya.


Kriminalitas merajalela. Geng motor adalah cerita lama, tetapi tetap eksis jika disimak dengan seksama. Kebanyakan remaja. Putus sekolah. Putus penanganan orang tua. Dan putus segala-galanya. Angka pecandu narkoba juga cukup tinggi. Sama halnya dengan pertumbuhan angka saudari kita yang merelakan mahkota terindahnya dijual demi menyambung hidup atau sekadar mengikuti gaya. 

Tentang bencana? Banjir menjadi langganan di Baleendah. Sebagian Dayeuhkolot pun merasakannya. Lalu sudah bertahun-tahun kampus kita ada, masihkah kita menutup mata
Banjir di Dayeuhkolot 2013


Yang jauh di mata tapi harusnya dekat di hati? Jutaan pengungsi Palestina merenggang nyawa. Muslim Mesir yang dibantai diktator penguasa. Muslim minoritas rohingya yang hidup penuh derita. Muslimah yang diteror, ditarik jilbabnya dan diperkosa. Demi Allah, ada banyak hal yang akan ditanyakan-Nya kepada kita, soal ukhuwah, persaudaraan, cinta, dan kepedulian kita… 

Pantaskah Kita?
“Saya ‘kan juga masih bodoh soal agama, belum layak ambil bagian dalam dakwah. Sepantasnya saya didakwahi dulu sampai benar-benar bisa. Baru memang kalau nanti saya bisa ceramah, ajak saya berdakwah.”
Ketahuilah, kalau dakwah hanya ceramah, maka dunia hanya perlu lidah; tak perlu anggota badan yang lainnya!

"Saya khan masih mahasiswa. Amanah orang tua harus dijaga. Fokus kuliah. Tak perlulah berlelah-lelah mengurus lainnya. "

Ketahuilah, kuliah hanya tangga untuk membuka wawasan. Lalu tentang kesuksesan, kita yang membangunnya perlahan.

Kita bisa apa? Mari berkontribusi dalam karya..

Ada seseorang di antara kita yang hanya bisa mengebut, tak ada keterampilan lainnya. Betapa berharganya dia sebagai penjemput ustadz pengisi pengajian yang rumahnya memang jauh. 

Pun ada yang agak ‘pelit’ (baca: hati-hati) soal uang. Ada jabatan bendahara organisasi menanti tuk menjadi kontribusi. 


Pun ketika ada seseorang yang suka jajan, dialah referansi sie konsumsi kepanitiaan untuk mencari konsumsi terlezat dan termurah. 


Pun ketika ada seseorang yang suka bertualang, dia referensi dan surveyor sopir, bukanlah kita perlu sie transportasi jika himpunan hendak mengadakan kegiatan diluar?


Pun kalau ada yang bercita-cita menjadi pebisnis sukses, mengapa tak sejak sekarang belajar menjadi sie dana usaha?  Atau malah membantu warga memulai usaha dengan berinvestasi membantu permodalannya.


Kalau ada yang pandai komunikasi dan bergaul kok tidak mencoba melobi kaum kaya untuk membayar infaq dan zakat untuk diserahkan ke lembaga sosial hingga disalurkan mereka yang membutuhkannya? 


Yang bisa mengaji walau tak terlalu lancar, bisa membantu memberantas buta huruf walau hanya mengajar iqro'




Begitu banyak yang bisa kita lakukan. Bagaimanapun bentuk dan kemasannya, jika niat lillahi ta'ala, ketahuilah ini bernama dakwah. Buahnya pahala. Muaranya surga.


“Hai orang yang berkemul selimut! Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabb-mu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah! Dan perbuatan dosa tinggalkanlah! Dan janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabb-mu, bersabarlah! (QS. Al Muddatstir 1-7).
Mereka Sudah, Bagaimana Dengan Kita
Mari kita tengoklah ke belakang. Investasi Ustman bin Affan ra telah memakmurkan seluruh Madinah. Enterpreneurship Abdurrahman bin Auf ra telah membangun keseimbangan pasar yang sebelumnya dikungkung hegemoni Yahudi Madinah. Keuletan petani seperti Abu Thalhah ra telah menjamin ketahanan pangan Madinah. Kemahiran Asy Syifa’ binti Abdillah ra telah menjaga kesehatan penduduk Madinah. Administrasi ala Umar bin Al Khaththab membuat negerinya sentosa. Kejelian accounting seorang Abu Ubaidah ra telah menjaminkan keadilan dan pemeratan ekonomi masyarakat. Kelihaian perang Khalid bin Walid ra telah membuka wilayah-wilayah baru. Kecerdikan diplomasi Amr ibn Al Ash ra telah menaklukkan banyak tanah tanpa pertumpahan darah.
Lalu di sekitar kita?
Kegiatan di sebuah TPA yang dikelola mahasiswa
Relawan Cakrawala Baca, Pembinaan Pendidikan di daerah terpencil
Dokumentasi Relawan Telkom Mengajar di Sebuah Sekolah Dasar
Desa Binaan, Prakarsa BEM IT Telkom
dan lain sebagainya

Sebuah Poin Kontribusi
Berkontribusi itu menyenangkan. Membantu kita mendapatkan pemaknaan atas apa yang kita telah dapatkan. Membantu kita menjaga ilmu yang kita dapatkan. Memperdalam dan memahami bukan sekadar menghafal.

Berbagai lelah mengkaji dasar teorema dan ratusan kali percobaan alat berbuah manis ketika teman-teman Robotika menjadi juara. Pun dengan pengorbanan para langganan PIMNAS yang memutar otak, memancing ide kreatif untuk bisa berguna untuk sekitarnya. Para juara GEMASTIK, INAICTA dan kompetisi lainnya pun pasti merasakan.

Prestasi Lab 

Imagine Cup

Ayo cari tahu apa yang belum kita tahu. Belajar yang kita belum bisa. Salurkan buah pikiran yang belum tersalurkan. Kemukakan ide dan gagasan untuk perubahan. Wujudkan karya yang belum kita wujudkan. Amalkan segala yang kita bisa tahu tahu. Sekecil apapun. Sekecil apapun...

Mari kerjakan semuanya yang kau bisa sampai batas kelelahan menghampiri. Malam ini, saat kita rasakan pegal di punggung, ngilu di kaki, dan nyeri di sendi, berbaringlah bertafakkur di tempat tidur. Bermuhasabah-lah merilekskan tubuh. Rasakan kenyamanan istirahat yang sangat. 



Bila memiliki banyak harta, kita akan menjaga harta. Namun jika memiliki banyak ilmu, maka ilmu lah yang akan menjaga kita. 

Dan sebuah poin kontribusi adalah aktualisasi nyata dari keilmuan itu akan menjaga kita bisa bisa berguna dimanapun dan kapanpun kita berada




dikembangkan dari "Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim" Bab Memintal Seutas Benang, Judulnya "Kontribusi", Salim A. Fillah, 2006, cetakan I 2007, hlm. 151-154)

Senin, 12 Agustus 2013

When It's Been Too Worth

Well, ini adalah kisah nyata kedua yang kudapat setelah mendapatkan inspirasi disini dari kisah hidup seorang tetangga di Lumajang. 

TRUE STORY :) 

Ujung diantara ujung yang paling ujung nikmat dunia memang merasakan bahagia. Tanpanya, harta yang ada, sehat yang dirasa, dan waktu yang lapang terasa hampa. Baru beberapa bulan lalu keluarganya berduka. Ibunya kini menemani Sang Ayah dipanggil sang kuasa dengan penyakit yang cukup lama dilawan di sisa-sisa akhir hidupnya, diabetes.

Tak berhenti sampai disitu, dua orang kakaknya, serta seorang adiknya juga didiagnosa memiliki kadar gula yang juga bermasalah. Seketika ia pun berkaca. Dilihatnya tampilan tubuhnya sendiri.

"Allahu Rabbi", pikirnya dalam hati. Ia masih ingat betul perjuangannya hari itu. Ketika hari dimana ia belum diangkat menjadi salah satu pendidik resmi. Ia rela kesana kemari meninggalkan anak istri, ke luar kota beberapa hari, kembali lagi dan lagi ikut seminar, pelatihan, dan berbagai acara yang dijalani dari kegiatan utamanya ikut sebagai pengajar sebuah bimbingan belajar di kota kecil ini.

Dan kini, perjuangan demi perjuangan yang berlalu telah terjawab sudah. Perlahan, kesejahteraan keluarga membaik dengan diangkatnya ia beserta sang istri sebagai guru tetap (PNS). Rumah yang dahulunya kecil, ia bisa renovasi hingga kini megah. Kendaraan yang dulunya seadanya bisa ia ganti hingga kini menjadi mewah. Dan perlahan-lahan kenikmatan yang ia damba bisa ia tuai dengan kerja kerasnya. Keluarganya pun makin harmonis, dengan seorang putra dan dua orang putri cantik yang menghiasinya.

Tapi sungguh, bayang bayang penyakit gula yang mematikan ini menghantuinya. Setelah dicek ternyata memang sama seperti saudara saudarinya, ia memiliki kecenderungan itu. Faktor turunan (genetik) memang mempunyai peranan penting terhadap berkembangnya penyakit diabetes pada seseorang. Selain itu lingkungan juga berpengaruh. Kesejahteraan telah membuatnya memiliki berat badan yang cukup gemuk.

Terkadang, banyak orang beranggapan sangat menyebalkan ketika memiliki materi tapi kita tidak bisa menikmatinya secara maksimal. Dengan dalih itulah beragam macam kenikmatan mereka upayakan. Tetapi karena itu pula justru terkadang silaunya dalam silaunya kenikmatan, kesehatan tergadaikan. Jika memang maut menjemput, maka dokter terbaik pun hanya bisa terdiam bukan?

Dan ternyata dia belajar memahaminya pelan-pelan. Dia mencoba yakinkan dirinya, bahwa dia tak akan diam melawan ancaman penyakitnya. Dia tak tahu memang kapan ajalnya datang, tapi ia ingin setidaknya ketika saat itu tiba ia bisa melihat buah hatinya menggapai cita-cita mereka. Maka ia pun berusaha. Melawan dirinya sendiri. Melawan segala nikmat yang harusnya halal, dan perlahan ia haramkan demi kesehatan.

Dia belajar mengubah pola hidupnya. Dari mulai olahraga rutin secara ringan, hingga jogging selepas shubuh datang. Agar bisa tepat waktu lari pagi, dia pun mulai membiasakan diri jamaah shubuh di masjid. Perlahan, ia pun merasakan nikmatnya berjamaah. Dan sejak saat itu ia rutin berjamaah.

Untuk mengecek perkembangan tubuhnya, ia pun rutin memeriksa darahnya. Mengatur makanan yang dilahapnya. Sekalipun ia bisa membeli, ia atur porsi secukupnya. Ia tahan dirinya dengan puasa sunnah.

Tahukah kini bagaimana kondisinya?
Dia semakin bugar. Berat badannya turun. Kadar gulanya cukup bagus dan teratur. Dia jauh terkesan kekar dibanding sebelumnya yang bisa disebut tambun. Dan tahukah kawan, Ramadhan kali ini, adalah Ramadhan pertamanya menjadi imam tarawih di musholla kecil sekitar rumahku, bergantian jadwal dengan para imam lainnya. Perlahan ia sering berjamaah, ia pun dipercaya menjadi imam. Karena asalnya memang cukup memilii dasar agama di keluarganya, menjadi da'i baru di RT kami pun tidak masalah.

Ketika kenikmatan itu begitu berharga
Kawan, ketika kita pikirkan. Mungkin ada yang memilih jalan yang berbeda jika memilih menjadi dia. Dengan kesejahteraan yang ada, beberapa mungkin enggan memilih menahan diri dari nikmatnya makanan dan berlepas dari lelahnya mengolah badan. Pasalnya, dokter terbaik bisa mereka datangkan. Obat terbaik bisa terbeli. Namun apa daya, obat terbaik dan dokter terbaik pun tidak akan bisa menyembuhkan, ketika raga ini sudah tidak kuat menahan beban.



Tidak selalu orang yang memilih sepertinya akan berakhir baik memang. Namun Allah tidak akan pernah mengkhianati perjuangan seorang hamba-Nya bukan? Umur Allah yang tentukan. Namun kekuatan raga tuk bertahan, kita bisa ikhtiarkan.

Setidaknya, sosok di atas benar-benar mengisahkan ketika kenikmatan yang ia dapati benar-benar ia syukuri (dalam hal ini kejahteraan) yakni dengan ikhtiar menjaga kesehatan, maka setidaknya tubuhnya bisa makin bugar, dan salah satu bonusnya ia bisa merasakan manisnya iman.


Wallahu a'lam.









Sabtu, 10 Agustus 2013

Cinta Realistis

Mencintai itu sederhana, laksana kunci menemukan gemboknya, saling melengkapi, bukan sekadar menemani. Lalu, bagaimanakah caranya?

Dari Bandung beberapa bulan lalu, kabar tentangnya terdengar sayup-sayup. Dia terkena musibah katanya. Ketika hendak ke luar rumah, sebuah kendaraan menyerempetnya. Tersungkur tak berdaya, ia pun menjadi santapan kendaraan di belakangnya. Braaak, orang-orang berlarian panik mendekatinya. Darah bercucuran.

Dia baru beberapa tahun tinggal di rumah itu. Sebuah bangunan sederhana, di lingkungan yang cukup padat. Tidak ada halaman, keluar pintu rumah sudah jalanan. Bersama seorang pujaan hati yang dinikahinya, ia dikaruniai seorang Tara, bayi mungil yang memang memiliki senyum tiada tara. Pagi itu, ia berniat mengemong Tara, tetapi tidak ada yang tahu kapan musibah akan tiba. Dan na'asnya musibah itu menimpanya.

Whatever happens, happens

Dengan kecepatan tinggi yang ada sang pengemudi mengaku khilaf, ia berjanji tanggung jawab. Saat aparat kepolisian pun dilibatkan, namun demi mempercepat urusan akhirnya diambil jalur kekeluargaan. Perlahan makin tak pasti, pihak keluarga tak kunjung mendapat biaya pengobatan yang dijanjikan. Antara iya dan tidak, kepolisian pun tampak tak berdaya, apalagi kasus serupa yang tidak sedikit adanya. Proses lama, berbelit, dan akhirnya pihak keluarga menyerah. I'tikad baik yang disangsikan berujung pemakluman mengetahui sang pengemudi berasal dari keluarga yang tidak cukup berada.

Sementara beberapa pekan koma, dan menjalani serangakaian operasi dan pengobatan, akhirnya kelopak matanya kembali terbuka. Namun apa daya ketika luka yang diderita cukup parah. Hilang ingatan sebagian, dan luka di bagian kaki dan lengan. Jangankan tentang Tara, beberapa keluarganya saja tak lagi ia ingat dalam memori. Seperti sinetron, dan sayangnya ini bukan cerita khayalan yang berakhir selalu bahagia dengan skenario sutradara yang bisa ditebak sebelumnya.

Entah parade cobaan atau justru pintu keselamatan dari Sang Khaliq, sang istri merasa tak ada lagi harapan. Begitu pula keluarga besar yang ternyata sama tak kuasa menerima keadaan. Dan akhirnya jalan itu dipilih, perceraian. Tara tak akan pernah membayangkan memiliki orang tua terpisah sementara ia belum bisa berkata-kata. Hanya sedikit langkah dan tangis sesekali ekspresi yang dimilikinya. 

Ramadhan kali ini alhamdulillah kepulanganku ke kampung halaman bisa mengunjunginya hingga tahu ceritanya pasti. Dia mulai pulih, bisa duduk sendiri di kursi. Namun untuk berjalan masih butuh bantuan. Tidak ada lagi bayangan Tara yang tiba-tiba hilang ketika digendongnya dan dari belakang disambar kendaraan. Atau sang istri yang akhirnya memilih jalan perpisahan dengan alasan ketidakmampuan memberikan kewajiban nafkah lahir batin. 

Banyak yang menyayangkan. Usia muda memang bisa dijadikan ajang aji mumpung. Mumpung masih cantik, masih ada yang tertarik. Mumpung masih muda, janda tidak apalah. Mumpung masih muda, cinta? Sudah kelaut saja.

Tetapi apa sang perempuan sepenuhnya salah? Entahlah. Mungkin cinta yang mereka bangun tidak sekuat film-film romantis. Atau mungkin justru fenomena ini yang realistis. Lalu bagaimana jika ini terjadi denganku atau denganmu kawan? Pengen ga sih dapet pasangan yang susah seneng bareng bukan seneng doank tapi pas susah bye bye sayang..?

Absolutely.

Lalu bagaimana?

Satu diantara nasihat Malaikat Jibril kepada Rasulullah dalam hadist ialah, "Cintailah siapa saja yang engkau senangi namun sesungguhnya engkau PASTI berpisah dengannya"

Dan mungkin makna perpisahan disini bukan hanya perpisahan raga berupa, namun juga kenikmatan lainnya mulai materi, maupun fisik yang bisa tercabut entah perlahan, ataupun seketika. Lalu siapkah kita tetap mencinta? Atau makna realistis membutakan segalanya?




Tara tidak sendiri. Banyak Tara-Tara lain di negeri ini. Namun sedih rasanya ketika tahu dia tetanggaku sendiri


Lumajang, 11 Agustus 2013
3 Ramadhan 1434 H

Raffa Muhammad,

Minggu, 16 Juni 2013

Ku Petik Bintang



Setiap surat yang dihafal akan diberi tanda silang di lembaran hasil hafalan. Itulah yang kami tangkap sejak beberapa hari sebuah kertas bersama kolom-kolom dengan barisan surat juz amma sebagai keterangan di atasnya. Kertas itu ditempel di dinding kelas. Tidak terlalu tinggi, sehingga untuk ukuran anak sekolah dasar mudah melihatnya hanya dengan berdiri biasa. Juga tidak terlalu rendah sehingga cukup susah berbuat curang untuk menuliskan bintang sendiri di samping nama. Dan disinilah kisah ini bermula.

Satu demi satu dari kami melihatnya dengan seksama, berapa bintang yang tlah ada di samping nama-namanya. Entah bagaimana, setiap hari seakan bintang itu semakin indah dipandang mata. Dan sang bintang menjadi primadona dan topik menarik setiap kali para asatidz membubuhkannnya di samping nama-nama yang ada.

Perlahan namun pasti, ada yang berubah. Tanpa sadar kami semakin berpacu meningkatkan hafalan yang ada. Selintas dipikir demi apa? Bintang-bintang di atas kertas? Bahkan tidak ada iming-iming hadiah ketika bintang itu sudah penuh. Aku tak tahu. Tetapi aku menjadi satu diantara yang semakin semangat melihat bintang itu ada bersanding dengan namaku.

Oh ya, jangan bayangkan kami menghafal dengan metode tertentu. Tidak ada metode macam-macam waktu itu kecuali baca, dan kembali baca. Ulang dan kembali mengulang. Kami juga tidak memiliki rekaman murottal Syeikh dari Timur Tengah seperti yang sekarang mudah didapatkan. Tidak ada kawan J

Namun yang ada sedikit demi sedikit, setoran hafalan menjadi salah satu momen yang mengasyikkan. Semua teman-teman akan mengerubungi asatidz ketika ia akan memberi bintang di kertas itu. Dan karena jika dan hanya jika satu surat terlampaui sebuah bintang akan disematkan, maka perjalanan menghafal kami menjadi momen yang spesial.

Hingga akhirnya bintang demi bintang aku dapatkan, kecuali di kolom yang satu itu. Kolom itu adalah Surah Al Fajr. Begitu panjang dan membingungkan buatku. Malam itu aku putus asa, mengapa masih saja salah dan kembali salah. Saat kuceritakan ke Abi, untungnya ia membantu. Hari demi hari selanjutnya sesekali beliau menyimak dan membetulkan bacaanku. Di beberapa kesempatan pun ketika menjadi imam shalat beliau bacakan Surah Al Fajr sehingga dengan mudah disimak dan diikuti dalam hati.

“Mas Faiz hafal bagaimana hafal Al Fajr?”, pagi itu salah satu ustadzah menanyaiku. “Belum, masih sering lupa”. “Gapapa dicoba”, katanya. Aku pun setoran hafalan, di depan mata teman-teman yang penasaran apakah aku bisa menghafalkan surat yang di kelas kami belum ada yang sampai kesana.

Dan ternyata benar. Aku lupa. Hanya setengah. Mukaku memerah.

“Lupa, hehehe, nyerah deh”, ucapku lirih, rasanya kecewa dan bercampur malu tapi berusaha kututupi dengan simpul senyumku.

Aku kaget yang dilakukan Ustadzah itu. Benar-benar tak terpikirkan sebelumnya. Ia gambarkan setengah bintang di kolom Al Fajr.

Katanya, “karena Mas Faiz sudah hafal setengah bintangnya setengah dulu ya. Tapi karena sudah berusaha ini hadiah dari ustadzah”. Ia keluarkan sebuah amplop dari sakunya berisi sesuatu. Teman-teman pun iri melihatnya. Mereka mengerubungiku layaknya semut melihat gula. Aku senang. Tapi masih setengah senang. Karena rasanya belum sempurna jika masih setengah bintang adanya dan hadiah tlah didapatkan. Namun aku sangat menghargai keputusan ustadzah tersebut.

Bayangkan, malam demi malam selanjutnya Al Fajr ini semakin semangat tuk diulang dan diulang. Setengah bintang itu selalu lekat dalam ingatan. Dan amplop itu, yang membuat teman-teman iri dan juga semakin terpacu, saat itu belum sampai aku pikirkan darimana datangnya isinya.

Aku yang sekarang baru sadar pengorbanan hebat sang Ustadzah bagaimana ia bisa menyisihkan isi dompetnya sementara sekolah kami adalah sekolah swasta yang baru berdiri dimana gaji pengajarnya pun tidak menentu. Dan ketahuilah kawan, kami adalah angkatan pertama sekolah itu. Bayangkan betapa sulitnya perjuangan mereka saat itu.

Mukhoyyam Quran

Malam Ahad lalu, Allah menakdirkan aku bisa ikut Mukhoyyam Quran. Salah satu momen yang spesial ialah ketika Ust Ja’far, imam Qiyamul Lail ternyata membaca semua surah juz 30. Allahu Akbar!

Aku merasa terbawa ke suasana lama ketika surat demi surat dibacakan.

Selain Al Fajr yang mengingatkan pada kenangan asatidzh di SDIT Ar Rahmah dulu, An Naba adalah surat yang paling banyak kenangan. Salah satunya ketika murajaah bersama adik kecilku. Dia ayat pertama, aku ayat kedua, begitu seterusnya hingga habis dan berganti surat. Al Buruuj, Ath Thariq dan beberapa surat mengingatkan pada irama ketika Abi menjadi imam shalatku. Entah kapan terakhir aku menjadi makmum di belakangnya karena melihat kalender sudah cukup lama ternyata tidak pulang.

Kangen pulang T.T

Kangen masa lalu

Kangen semangat hafalan lagi


Dan yang paling penting kangen perjuangannya. Ketika satu demi satu surat dihafal dan bintang didapatkan. Karena baru sadar progress pasca SD belum ada apa-apanya.

Ya Allah, semoga engkau cukupkan umur untuk melengkapi cita-cita yang ada sejak masa lalu ini. Bukan hanya cita-citaku namun cita cita orang tua yang memilihkan sekolah terbaik untukku dan para asatidz yang pertama mengajarkanku menghafal ayat-ayat-Mu.

Malam minggu yang indah tlah berlalu, dan kini saatnya merajut rindu itu dan membuat bintang demi bintang sendiri hingga penuh 30 juz. Semoga cukup umur. Aamiin


Ku petik bintang

Untuk ku simpan

Cahayanya tenang

Berikan ku alasan berjuang

Sebagai pengingat harapan

Juga sebagai jawaban 

sebuah impian

Selasa, 07 Mei 2013

Kado Terakhir

Terlalu cepat ia tak terasa mendekat. Tidak bisa tidak, memang inilah yang harus diperbuat. Ada saatnya hanya bisa melihat, tak lagi mendekap, saling berbagi nasihat nan memperkuat. Sesaat. Hanya sesaat. Tahukah kawan, kaki-kaki kecil itu kini tumbuh dengan sehat. Mengendus hari-hari yang penuh nikmat. Dan kini nikmat itu memasuki fase perjalanan yang kini perlahan kian lebih berat.

"Kak, doakan. Aku lagi mencari informasi pekerjaan", celetuknya malam ini. Ia datang bersama sahabat karibnya. Pepaya mereka bawa. Masih berpikir berbagi seperti saat ini? Allahu robbi. Hanya bisa terenyuh sambil memutar otak yang usang ini.

Peluang itu ada. Pasti ada. Namun, menciptakannya di sela-sela persaingan tidak mudah. Ingin rasanya ikut berperan serta. Tahun ini tahun ketiga. Dan rasanya pasti ada yang hilang dengan ketiadaan mereka di tahun depan ketika lulus kuliah.

Hutang ini perlahan menumpuk rasanya. Ingin banyak berbuat, namun terbatas dan kembali terbatas. Sudah jemu bilang nanti, nanti dan nanti. Bagaimana jika tidak ada nanti? Bagaimana ini kesempatan terakhir? Menyesal selalu di belakang. Dan khilaf selalu dijadikan alasan. Kawan, mau sampai kapan pembenaran dan deretan pembenaran ada dan menyeruak sebagai penggugur keinginan?



Jika ini sebatas kado sederhana, yakinlah ini cukup indah. Namun jika ini jadi yang terakhir, mungkinlah ini kan jadi kenangan berharga

Hey kaki-kaki kecil
Kalian tumbuh dengan mimpi yang kita gali bersama setiap hari
Kami perlihatkan dunia
Kehebatannya, keindahan yang ada di dalamnya
Yang mungkin kalian tahu sebatas layar kaca
Kita pelajari akhirat bersama
Hingga kalian tahu batas yang kan menghantarkan kita ke jalan-Nya
Duhai robbi, perkenankanlah jalan ini
Mudahkan, lancarkan

“Kuberi satu rahasia padamu kawan…. Buah paling manis dari bermimpi adalah kejadian-kejadian menakjubkan dalam perjalanan menggapainya.(Andrea Hirata-Maryamah Karpov)”

Bismillah











Selasa, 30 April 2013

Ketika Bersama Wajah Teduh

"Salam kenal", ia memberikan salam sembari menjabat tangan seusai menyebutkan namanya. Beragam respon terlihat dari wajah-wajah muda. Kaku, dan asing. Mungkin karena ini yang pertama. Nongkrong di tempat seperti ini untuk berbincang? Well.

Mereka berbincang ringan. Wajah teduh mengatur pembicaraan. Ia pandai. Terkesan dari bobot pembicaraan yang dalam tetapi tidak menjemukan. Walau ini pertama kali berjumpa, rasanya dekat dan akrab. Memang pertemuan kali ini bukanlah kebetulan. Allah telah merancang. Namun, kesediaan semua wajah menghadap membuat yang hadir disana adalah orang-orang pilihan. Bukan sembarangan. Dan wajah teduh itu meyakinkan semuanya.

Pertemuan kedua, kali ini lebih bersemangat. Tepatnya penasaran. Apa yang hendak wajah teduh sampaikan. Satu persatu wajah-wajah penuh gelora muda ini belum bisa menerka. Mereka kembali berkumpul dan melingkar. Ternyata wajah teduh telah sampai lebih dahulu. Ia jabat tangan semuanya, ucapkan salam dan tanyakan kabar. Doa pembuka dipanjatkan. Dan mulailah pertemuan kali ini.

Setelah mendapatkan hal tak terduga tentang keimanan dan keislaman sebelumnya, kali ini wajah-wajah muda kembali penasaran. Apalagi ketika rerumputan menjadi saksi pertemuan yang kedua. Ternyata wajah teduh kali ini menceritakan tentang niat dan ikhlas. Hal yang sebenarnya bukan tidak diketahui wajah-wajah muda, namun sering terlupa. Wajah teduh sambil tersenyum menyampaikan, "Al imaanu yazidu wa yankus", dia suatu kali juga pasti tersilap dan khilaf. Sehingga ia menuturkan agar tak pernah menutup pintu nasehat dari siapa saja, terlepas siapa yang muda ataupun tua, karena saling menasehati dalam kebaikan ibarat investasi kehidupan.

Pertemuan demi pertemuan selanjutnya bersama wajah teduh semakin menarik untuk disimak. Wajah-wajah muda tak pernah absen bersamanya. Mereka kian bersemangat mencari tahu, dan mengutarakan opini yang mungkin keliru. Masalah yang ada pun dibahas bersama, dan wajah teduh selalu mengambil referensi dari Quran dan sunnah Rasul-Nya. 

Satu hal yang tak terasa, ada yang berbeda ketika pekan demi pekan berlalu. Wajah-wajah muda merasa berat untuk menjauh dari Sang Pencipta. Sehari tanpa tilawah ataupun sholat berjamaah. Wajah teduh memang tak selalu mengajak dengan kata-kata. Tetapi selalu tersirat dari wajahnya, dan tergambar dari cerita-ceritanya betapa nikmatnya menghiasi iman dengan ibadah.

Ketika wajah muda bertanya, "Kak, aku ingin menjadi sepertimu nanti", wajah teduh mengelus kepalanya. Ia merendahkan dirinya. Katanya, ia bukan apa-apa tanpa Allah yang menuntunnya. Seorang lainnya berkata, "Kak, terima kasih ya", sambil tersimpul senyum dalam wajahnya. Wajah teduh dengan kata-kata yang menentramkan. Jabat tangan, salam dan senyum yang manis di tiap pertemuan. Dan ajakan bersama teladan yang menggugah.

Wajah teduh menjawab, "Berterima kasihlah pada Allah. Kebaikan apapun yang kakak sampaikan hanya berasal dari Allah.  Juga kepada Rasulullah, serta para orang-orang yang senantiasa menjaga nikmat iman dan islam ini hingga kakak juga berkesempatan untuk berbagi dengan kalian".

Akhirnya, tibalah saatnya berpisah. Wajah-wajah muda terasa berat awalnya. Namun wajah teduh hanya berujar, bahwa hanya itu yang ia miliki dan saatnya mendapatkannya dari orang lainnya. Ia meyakinkan, hidup kita itu singkat. Jangan hanya berpuas melangkah jika bisa berlari. Raih keinginan, namun selalu ingat semuanya akan kembali kepada Ilahi.

Akhirnya semua wajah wajah muda mengikhlaskannya. Mereka berpamitan dan pergi. Di dalam hati, mereka saling mendoakan. Ketika bersama wajah teduh memang tak terlupa. Wajahnya tak hanya teduh, namun meneduhkan. Bersamanya, ketika masalah datang dan ada seperti biasa, keyakinan bahwa Allah bersama hamba yang shalat dan sabar juga makin besar. Dan kini saatnya mengukir cerita bersama wajah teduh lainnya. Semoga semangat yang sama tetap berkobar.











Sabtu, 20 April 2013

Sang Amanah





Namaku terpampang indah disana khan? Cihuyyyyy

Kertas tadi memang biasa. Namun isinya yang luar biasa. Maknanya tidak biasa. Dan nilainya yang tak tertukar dengan apa saja. cieee

Tahukah kalian, apa yang pertama kali ku pikirkan ketika mereka (baca: dewan formatur) memilihku? Jingkrak-jingkrak? Nggaklah. Nangis karena nambah kerjaan baru lagi? Nggak juga. Sedih karena berkurangnyawaktu buat nonton anime, baca manga, maen PES dan hal GJ lainnya? Mungkin saja, hehehe

Entah kenapa saat itu aku merasa senang. Allahu robbi, aku senang dengan sang amanah sebenarnya aku sendiri tidak pernah memimpikannya, apalagi sedikitpun merasa mampu mengembannya.


Terlintas terpikir, kapan ya aku akan mengundurkan diri setelah ini? Hingga berapa bulan ya, aku akan kehilangan satu persatu orang yang akan berjuang bersama disini? Apa saja ya program kerja yang hanya jadi pemenuh presentasi musyawarah kerja namun tak terlaksana nanti? Berapa? Kapan? Apa? Bukankah aku sendiri sudah pengalaman menghilang diam-diam? Bukankah tidak pernah menjadi pemimpin sebelumnya? Selalu kabur jika ada yang susah? Jadi....




Namun, pemikiran itu salah. Itu tidak terjadi. Robbi, telah berburuk sangka. Genap enam lima bulan aku memegang sang amanah. Alhamdulillah. Sedikitpun tidak berpikir untuk mundur selangkah saja. Bertemu teman-teman yang luar biasa. Mimpi yang bertambah satu persatu setiap harinya. Semangat, dan terus semangat untuk lebih baik lagi dan lagi. Sungguh indah.

Ketahuilah para pembaca. Bahkan sampai sekarang, beberapa orang masih terheran ternyata aku yang memegang sang amanah.Walaupun sejujurnya, aku tidak peduli keremehan orang, karena aku sendiri merasa pantas untuk diremehkan. Aku justru merasa lebih hidup dengan cacian, kritikan dan remeh temehan. Entahlah. Mungkin karena aku orang yang mudah terbuai oleh pujian, yang sebenarnya perlahan mematikan. Cepat atau lambat, tinggal menunggu waktu.


Terkadang aku ingin melakukan sesuatu

Namun di waktu yang sama tak tahu 

Apa yang kuhasilkan dari pengasinganku

Siapa yang kutunggu dalam diamku


Aku memang takkan bisa berbuat banyak. Aku menyadarinya sejak awal. Jadi, aku tidak takut tak banyak bermanfaat. Menjadi penonton, backup eksekutor atau sekadar pemberi semangat. Aku tidak takut. Sungguh. Namun, aku hanya takut kehilangan semangat untuk berusaha memberi manfaat.


Ketika bisa namun aku enggan melakukannya. 
Ketika salah sementara enggan bermuhasabah atasnya, 
ketika ia sedang lemah tetapi enggan menguatkan dirinya.
Lalu bagaimana kabarmu, amanah...?

Sang amanah takkan pernah memilih orang yang salah, katanya. Memang demikian. Sang amanah takkan pernah diberikan pada orang yang salah. Hanya terkadang, ia perlu diberikan kepada mereka yang pantas. "Yah pantaskan diri donk", sayup-sayup terdengar.suara anggota Raffa Fansclub memberi semangat. Emang ada? hihi :p

Dan poin itu hadir dari proses pemantasan diri. Sang proses ternyata tak cukup lahir dari sebuah sistem dan akan menjadi output lebih baik. Ia tetap membutuhkan input. Masalah, konflik, petuah, dan apapaun yang bisa dipetik tuk dijadikan pembelajaran dan masuk dalam proses itu. Walau bagaimanapun, ada batas ketika kita menerima input mengolah berdasarkan sistem dan membuat output seperti yang diharapkan. Batas yang hanya bisa dipecahkan melalui usaha keras, dan pengorbanan yang selaras. Dan yang terpenting, biidznillah. Dengan izin-Nya, Sang Penguasa.

Seorang pemimpin tak selalu harus yang terbaik, namun harus selalu mempu membuat sekitarnya menjadi lebih baik. Alhamdulillah, mungkin sang amanah tidak sedang dipimpin oleh kualitas yang sama seperti sebelumnya. Ya, pendahulu terkesan selalu lebih mempesona. Aku dalam posisi ini, ataupun engkau dalam posisimu masing-masing, mungkin mengalami hal yang sama kawan. Kita mungkin tidak bisa sehebat pendahulu kita, namun ingatlah kita masih bisa menjadi lebih baik dari kemarin. Biarkan orang membanding-bandingkan, karena mereka tidak bisa menyediakan surga untuk kita, mereka tidak bisa menyediakan pahala, ataupun kebahagiaan yang sempurna.

Selagi ada 1% peluang, maka sebenarnya dalam ilmu matematika itu masih bisa, apalagi untuk Allah, apa sih yang tidak bisa.




Jika engkau menemukan cela pada seseorang dan engkau hendak mencacinya, maka cacilah dirimu. Karena celamu lebih banyak darinya. (Umar bin Khattab ra)


Terus musahabah, terus berkarya..
Karena mungkin lewat amanah yang Ia titipkan pada kita..
Terselip rahmat dan kasih sayang..
Agar kita lebih mendekat kepada-Nya..
Memohon kepada-Nya..
Mengadu dan meminta petunjuk dari-Nya..
Hingga tanpa terasa suatu ketika,
Sang amanah telah saatnya bermuara,



Allah memang selalu memberikan apa yang kita butuhkan, walaupun tidak selalu itu yang kita inginkan. Mungkin juga tentang sang amanah. Lalu bagaimana denganmu kawan? Maukah percaya jika amanahmu adalah jalan dari-Nya untuk membuatmu lebih baik? Saking besarnya rasa sayang yang Allah miliki, hingga masih mau mempercayaimu, memberimu kesempatan. Padahal Dia yang paling mengetahuimu, apa yang dibalik busuknya hatimu, jahatnya niatmu, khianatnya janjimu, namun Ia tetap mempercayaimu.