“Lakukan segala apa yang mampu kalian amalkan. Sesungguhnya Allah tidak jemu sampai kalian sendiri merasa jemu.” (HR. Al Bukhari)
Ada banyak hal yang belum kita tahu. Ada banyak ketrampilan yang kita belum bisa. Ada banyak wawasan yang kita lewatkan. Sementara ada ribuan buku yang terbit tiap hari. Ada miliaran ilmu yang berkembang setiap waktu. Ada miliaran manusia yang kita belum kenal. Ada jutaan tempat yang belum kita kunjungi. Ada banyak kata yang belum sempat terucap dan tersampaikan. Ada banyak buah pikiran yang belum tersalurkan. Ada banyak ide yang belum kita kemukakan. Ada pula banyak rancang karya yang belum kita wujudkan. Dan Demi Allah, ada banyak ilmu yang belum kita amalkan…
Padahal Allah telah menyediakan tempat belajar: ada banyak masjid tanpa jamaah dan pemakmur. Ada banyak TPA/TPQ yang kekurangan pengajar. Ada lembaga dakwah kampus yang terkesan berkubang persaingan hanya karena kurang orang. Himpunan yang krisis kaderisasi. UKM dan lab yang sepi peminat. Riset kampus yang makin tidak terlihat. Prestasi kampus baik nasional dan internasional yang perlahan makin jarang didapat.
Masih Banyak yang Butuh Kita
Sekitar kita masih banyak angka putus sekolah. Tengok saja bocah-bocah di PGA, Sukabirus dan sekitarnya. Mereka manis-manis. Bermain tertawa meringis. Tanpa tahu apa yang akan mereka hadapi Sekolah memang gratis, tetapi banyak faktor membuatnya masih dianggap kurang efektif. Sarjana pengangguran. Walau sebenarnya lebih banyak pengangguran akibat minimnya pendidikan.
Itu yang dekat dan kecil. Ada yang dekat tapi besar. Misalnya tetangga kita (warga) yang masih terjerat kemiskinan di sekitar kampus. Tingginya biaya hidup membuat mereka kian tergerus. Sementara kita yang datang dari keluarga cukup berada perlahan menciptakan jurang pemisah yang kian menganga setiap tahunnya. Rumah mereka sudah sempit, sangat amat sederhana pula. Sementara tiap tahun bermunculan bangunan baru tuk hunian mahasiswa. Dan semuanya perlahan menutup rumah-rumah mereka dari sinar mentari yang ada. Menghalangi senja sebagai pemandangan indah kala sore menyapa. Hidup serba ada terkadang melalaikan kita. Meremehkan mereka. Mengacuhkan mereka. Membuat mereka seakan pribumi hina yang tak punya apa-apa.
Ratusan anak jalanan dan para pengemis lalu lalang di perempatan jalan di tiap sudut kota Bandung. Beberapa memilih menjadi peminta-minta. Dan kita hanya mencap-nya hina tanpa bisa membantu kepastian masa depan yang lebih cerah. Mental mereka sudah merasa nyaman di zonanya. Dan jangan harap pemandangan ini bisa berkurang setiap tahunnya jika tidak ada yang mencoba memperbaikinya.
Yang jauh di mata tapi harusnya dekat di hati? Jutaan pengungsi Palestina merenggang nyawa. Muslim Mesir yang dibantai diktator penguasa. Muslim minoritas rohingya yang hidup penuh derita. Muslimah yang diteror, ditarik jilbabnya dan diperkosa. Demi Allah, ada banyak hal yang akan ditanyakan-Nya kepada kita, soal ukhuwah, persaudaraan, cinta, dan kepedulian kita…
Anak-anak sekitar kampus |
Itu yang dekat dan kecil. Ada yang dekat tapi besar. Misalnya tetangga kita (warga) yang masih terjerat kemiskinan di sekitar kampus. Tingginya biaya hidup membuat mereka kian tergerus. Sementara kita yang datang dari keluarga cukup berada perlahan menciptakan jurang pemisah yang kian menganga setiap tahunnya. Rumah mereka sudah sempit, sangat amat sederhana pula. Sementara tiap tahun bermunculan bangunan baru tuk hunian mahasiswa. Dan semuanya perlahan menutup rumah-rumah mereka dari sinar mentari yang ada. Menghalangi senja sebagai pemandangan indah kala sore menyapa. Hidup serba ada terkadang melalaikan kita. Meremehkan mereka. Mengacuhkan mereka. Membuat mereka seakan pribumi hina yang tak punya apa-apa.
Kriminalitas merajalela. Geng motor adalah cerita lama, tetapi tetap eksis jika disimak dengan seksama. Kebanyakan remaja. Putus sekolah. Putus penanganan orang tua. Dan putus segala-galanya. Angka pecandu narkoba juga cukup tinggi. Sama halnya dengan pertumbuhan angka saudari kita yang merelakan mahkota terindahnya dijual demi menyambung hidup atau sekadar mengikuti gaya.
Tentang bencana? Banjir menjadi langganan di Baleendah. Sebagian Dayeuhkolot pun merasakannya. Lalu sudah bertahun-tahun kampus kita ada, masihkah kita menutup mata
Banjir di Dayeuhkolot 2013 |
Yang jauh di mata tapi harusnya dekat di hati? Jutaan pengungsi Palestina merenggang nyawa. Muslim Mesir yang dibantai diktator penguasa. Muslim minoritas rohingya yang hidup penuh derita. Muslimah yang diteror, ditarik jilbabnya dan diperkosa. Demi Allah, ada banyak hal yang akan ditanyakan-Nya kepada kita, soal ukhuwah, persaudaraan, cinta, dan kepedulian kita…
Pantaskah Kita?
“Saya ‘kan juga masih bodoh soal agama, belum layak ambil bagian dalam dakwah. Sepantasnya saya didakwahi dulu sampai benar-benar bisa. Baru memang kalau nanti saya bisa ceramah, ajak saya berdakwah.”
Ketahuilah, kalau dakwah hanya ceramah, maka dunia hanya perlu lidah; tak perlu anggota badan yang lainnya!
"Saya khan masih mahasiswa. Amanah orang tua harus dijaga. Fokus kuliah. Tak perlulah berlelah-lelah mengurus lainnya. "
Ketahuilah, kuliah hanya tangga untuk membuka wawasan. Lalu tentang kesuksesan, kita yang membangunnya perlahan.
Ada seseorang di antara kita yang hanya bisa mengebut, tak ada keterampilan lainnya. Betapa berharganya dia sebagai penjemput ustadz pengisi pengajian yang rumahnya memang jauh.
Pun ada yang agak ‘pelit’ (baca: hati-hati) soal uang. Ada jabatan bendahara organisasi menanti tuk menjadi kontribusi.
Pun ketika ada seseorang yang suka jajan, dialah referansi sie konsumsi kepanitiaan untuk mencari konsumsi terlezat dan termurah.
Pun ketika ada seseorang yang suka bertualang, dia referensi dan surveyor sopir, bukanlah kita perlu sie transportasi jika himpunan hendak mengadakan kegiatan diluar?
Pun kalau ada yang bercita-cita menjadi pebisnis sukses, mengapa tak sejak sekarang belajar menjadi sie dana usaha? Atau malah membantu warga memulai usaha dengan berinvestasi membantu permodalannya.
Kalau ada yang pandai komunikasi dan bergaul kok tidak mencoba melobi kaum kaya untuk membayar infaq dan zakat untuk diserahkan ke lembaga sosial hingga disalurkan mereka yang membutuhkannya?
Yang bisa mengaji walau tak terlalu lancar, bisa membantu memberantas buta huruf walau hanya mengajar iqro'
Begitu banyak yang bisa kita lakukan. Bagaimanapun bentuk dan kemasannya, jika niat lillahi ta'ala, ketahuilah ini bernama dakwah. Buahnya pahala. Muaranya surga.
Pun ada yang agak ‘pelit’ (baca: hati-hati) soal uang. Ada jabatan bendahara organisasi menanti tuk menjadi kontribusi.
Pun ketika ada seseorang yang suka jajan, dialah referansi sie konsumsi kepanitiaan untuk mencari konsumsi terlezat dan termurah.
Pun ketika ada seseorang yang suka bertualang, dia referensi dan surveyor sopir, bukanlah kita perlu sie transportasi jika himpunan hendak mengadakan kegiatan diluar?
Pun kalau ada yang bercita-cita menjadi pebisnis sukses, mengapa tak sejak sekarang belajar menjadi sie dana usaha? Atau malah membantu warga memulai usaha dengan berinvestasi membantu permodalannya.
Kalau ada yang pandai komunikasi dan bergaul kok tidak mencoba melobi kaum kaya untuk membayar infaq dan zakat untuk diserahkan ke lembaga sosial hingga disalurkan mereka yang membutuhkannya?
Yang bisa mengaji walau tak terlalu lancar, bisa membantu memberantas buta huruf walau hanya mengajar iqro'
Begitu banyak yang bisa kita lakukan. Bagaimanapun bentuk dan kemasannya, jika niat lillahi ta'ala, ketahuilah ini bernama dakwah. Buahnya pahala. Muaranya surga.
“Hai orang yang berkemul selimut! Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabb-mu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah! Dan perbuatan dosa tinggalkanlah! Dan janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabb-mu, bersabarlah! (QS. Al Muddatstir 1-7).
Mereka Sudah, Bagaimana Dengan Kita
Mari kita tengoklah ke belakang. Investasi Ustman bin Affan ra telah memakmurkan seluruh Madinah. Enterpreneurship Abdurrahman bin Auf ra telah membangun keseimbangan pasar yang sebelumnya dikungkung hegemoni Yahudi Madinah. Keuletan petani seperti Abu Thalhah ra telah menjamin ketahanan pangan Madinah. Kemahiran Asy Syifa’ binti Abdillah ra telah menjaga kesehatan penduduk Madinah. Administrasi ala Umar bin Al Khaththab membuat negerinya sentosa. Kejelian accounting seorang Abu Ubaidah ra telah menjaminkan keadilan dan pemeratan ekonomi masyarakat. Kelihaian perang Khalid bin Walid ra telah membuka wilayah-wilayah baru. Kecerdikan diplomasi Amr ibn Al Ash ra telah menaklukkan banyak tanah tanpa pertumpahan darah.
Lalu di sekitar kita?
Kegiatan di sebuah TPA yang dikelola mahasiswa |
Relawan Cakrawala Baca, Pembinaan Pendidikan di daerah terpencil |
Dokumentasi Relawan Telkom Mengajar di Sebuah Sekolah Dasar |
Desa Binaan, Prakarsa BEM IT Telkom |
dan lain sebagainya
Berkontribusi itu menyenangkan. Membantu kita mendapatkan pemaknaan atas apa yang kita telah dapatkan. Membantu kita menjaga ilmu yang kita dapatkan. Memperdalam dan memahami bukan sekadar menghafal.
Berbagai lelah mengkaji dasar teorema dan ratusan kali percobaan alat berbuah manis ketika teman-teman Robotika menjadi juara. Pun dengan pengorbanan para langganan PIMNAS yang memutar otak, memancing ide kreatif untuk bisa berguna untuk sekitarnya. Para juara GEMASTIK, INAICTA dan kompetisi lainnya pun pasti merasakan.
Prestasi Lab |
Imagine Cup |
Ayo cari tahu apa yang belum kita tahu. Belajar yang kita belum bisa. Salurkan buah pikiran yang belum tersalurkan. Kemukakan ide dan gagasan untuk perubahan. Wujudkan karya yang belum kita wujudkan. Amalkan segala yang kita bisa tahu tahu. Sekecil apapun. Sekecil apapun...
Mari kerjakan semuanya yang kau bisa sampai batas kelelahan menghampiri. Malam ini, saat kita rasakan pegal di punggung, ngilu di kaki, dan nyeri di sendi, berbaringlah bertafakkur di tempat tidur. Bermuhasabah-lah merilekskan tubuh. Rasakan kenyamanan istirahat yang sangat.
Dan sebuah poin kontribusi adalah aktualisasi nyata dari keilmuan itu akan menjaga kita bisa bisa berguna dimanapun dan kapanpun kita berada
dikembangkan dari "Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim" Bab Memintal Seutas Benang, Judulnya "Kontribusi", Salim A. Fillah, 2006, cetakan I 2007, hlm. 151-154)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar