Halaman

Assalamualaikum, welcome

Sebuah eksplorasi hati...

Rabu, 06 April 2011

Sebuah Kado Istimewa

“Dibawa ke rumah sakit? Dimana?”

“Di Surabaya. Di Jember sudah tidak sanggup lagi menangani”

“Lalu bagaimana kondisinya sekarang?”

“Alhamdulillah sudah ditangani dengan baik. Doakan ya Nak, semoga kakek cepat sembuh”. Ucapan lirihmu membuatku trenyuh. Baru beberapa bulan lalu, ya aku ingat jelas kau dan kakek melepas kepergianku. Menatapku dan mengecup kedua pipiku. “Yang baik-baik ya disana”, pintamu. Begitu pula kakek, di saat kondisinya yang lemah masih saja memberi wejangan dan doa.

Baru beberapa bulan lalu, bahkan aroma Bandung masih abu-abu untukku. Tapi agaknya rindu ini terkumpul menjadi satu. Padahal jelas beberapa bulan sebelum kepergianku. Kakek selalu rajin bersepeda di hari minggu, mengantarmu jalan-jalan ke alun-alun tuk melatih kakimu yang sempat terkena stroke beberapa tahun lalu, atau rutin menyirami tanaman anggrek dan lainnya yang selalu kau rawat sepenuh hati di kebun kecil di samping rumahmu.

Kakek kini lemah. Tak lagi bisa menghadiri pengajian di masjid tempatnya selalu rutin beribadah, apalagi menemani hari-harimu yang penuh warna, mengantar sepupuku pergi les seperti biasa. Pasti kau terpukul mengetahuinya. Apalagi tahu-tahu keadaan kakek sampai harus dirujuk keluar Jember yang dulu kau bilang lebih baik dari Lumajang.

“Jatuh?”

“Iya. Sekarang sudah dirawat di Rumah Sakit juga.”

Ucapan anakmu yang melahirkanku itu membuatku tak habis pikir. Mengapa kau paksakan membunuh letihmu dengan senantiasa tengah malam berdzikir. Itukah kekuatan cinta yang selama ini telah terukir?

Masalah dana yang awalnya masih bisa dipenuhi patungan anak-anakmu mulai bermasalah. Tulangmu bergeser saat kau jatuh. Sementara kakek juga bukannya makin sembuh. Untunglah perdebatan kecil antara anak-anakmu dengan anak-anak kandung kakek sedikit memberi harapan baru. Walau sempat tangis terpancar karena anak-anak kakek agak enggan ikut berperan membantu.

Anak-anakmu kembali kebingungan. Situasi dilematis muncul ke permukaan. Ruang inapmu dijadikan satu dengan kakek akan membuat mereka mudah menjaga bergantian. Tapi, kau akan kehilangan motivasi tuk cepat sembuh karena nyatanya penyakit kakek lebih parah darimu. Benjolan itu ternyata kanker, bukan benjolan biasa yang selalu kau rasa bisa ditanggulangi dengan pijat rutin kepada seorang spesialis sebelum kakek makin melemah.

Kanker itu bukan penyakit biasa yang bisa sembuh dengan penanganan cepat. Begitulah nyatanya sehingga anak-anakmu memutuskan di kamar berbeda kalian dirawat. Hari demi hari, kondisimu dan kakek masing-masing mulai membaik. Dan kakek mulai dirawat di rumah anak-anaknya, sedang kau dipulangkan ke Lumajang karena anak-anakmu juga tak bisa meninggalkan pekerjaan terlalu lama.

Libur jelang lebaran, aku pun pulang. Melepas kepenatan selama enam bulan juga rindu yang tak tertahankan. Kau sambut dengan sukacita walau ku tahu dari kejauhan, kau memendam sedih yang teramat dalam. Kakek hanya bisa kau hubungi jarak jauh. Seseorang yang biasa ada disampingmu, kini teramat jauh disana sedang melawan penyakitnya.

Sementara kakimu yang harus dioperasi membuatmu kakimu ditanam logam yang kau sendiripun sebenarnya membencinya. Kau tak bisa berjalan seperti biasa. Apalagi agaknya kau terlalu memikirkan kondisi kakek hingga kau pun enggan berlatih melangkah. Ya, bunga-bunga di taman yang layu pun menyiratkan demikian adanya.

Hari lebaran keluarga berkumpul seperti tahun-tahun biasanya di rumahmu. Bermaaf-maafan dan saling berbagi kebahagiaan. Tapi kali ini tidak ku temukan. Apalagi setelah mendengar berita kondisi kakek memburuk perlahan. Walau sebenarnya sudah ada anak-anak kandungnya yang merawatnya disana.

Kondisi kakek jauh lebih buruk daripada saat sebelum dirujuk ke Surabaya. Sementara, anak-anakmu tak bisa berbuat apa-apa karena jarak Lumajang ke tempatnya lumayan jauh dan memakan waktu pula. Kemoterapi dilakukan, dan anak-anakmu merahasiakan opsi itu karena sejak awal kau telah mengetahui resikonya yang membahayakan.

Sementara ada juga pihak keluarga yang mengusulkan agar kakek dibawa saja pulang ke Lumajang. Itupun seperti permintaanmu sendiri setelah membongkar rahasia yang anak-anakmu pendam. Biar meninggal di sampingmu dengan tenang, dan kau pun bisa menemuinya disaat terakhir sebelum ajalnya datang.

“Pokoknya bawa pulang saja. Dia satu-satunya lelaki yang setia, dan menemaniku sejak masa sulit”, begitu pintamu dengan nada rengekan yang belum pernah ku jumpa. Ya memang benar adanya. Kau selalu saja bersikap tegar di depan semuanya. Tapi jauh di dalam hatimu, kau rapuh. Bagaimanapun kau perempuan biasa dengan kesabaran luar biasa tapi tetap membutuhkan seseorang yang dicintai di sampingmu selamanya.

Dia memang bukan laki-laki yang sama yang mengalirkan darahnya ke anak-anakmu hingga terkait pula denganku. Bukan dia. Bukan cinta pertamamu yang kau harap kan jadi cinta terakhirmu. Bukan laki-laki pujaanmu yang akhirnya menikahi perempuan lain di saat hartanya melimpah ruah dan kesuksesan digenggam dimana-mana. Meninggalkanmu dengan anak-anak kecil yang masih sekolah dan membutuhkan banyak dana.

Bukan. Bukan dia yang membuatmu kecewa dan sakit hati. Membuat anak-anakmu terancam kehilangan masa depan, setelah sebelumnya semuanya terjamin dengan rapi. Bukan dia yang membuat anak-anakmu terpaksa kuliah dengan keadaan serba terbatas dan penuh derita. Tapi dialah yang selalu menemanimu setelah kau buka warung untuk menghidupi anak-anakmu. Membesarkanmu hingga akhirnya aku pun terlahir dari rahim salah satu anak yang kau besarkan dengan sungguh-sungguh.

Air matamu mengucur deras, diikuti air mata anak-anakmu yang membuatku memilih keluar kamarmu karena tak kuat situasi yang ada. Sementara menantumu dan beberapa anakmu sejak pagi sudah menjemput kakek tuk dibawa pulang menemuimu.

“Innalillahi wainnailaihi rojiun. Telah meninggal ....”

Pesan itu membuat tangisan pecah seketika anggota keluarga yang ada di rumahmu. Suasana haru bertumpah ruah. Tapi semua menutupinya, takut kau tak bisa menerima. Apalagi kondisi kesehatanmu yang juga kurang stabil agaknya.

Jenazah datang sementara para pelayat berdatangan. Diikuti teman-teman pengajian kakek yang juga hendak membantu prosesi memandikan. Di balik kamar, aku hanya bisa mendengar tangismu pecah. Ditemani adik-adik dan kakakmu kau disana, kau mencoba tegar tapi tetap tak percaya terhadap semua keadaan. Walaupun sebelumnya sempat terucap, “aku rela dan ikhlas sudah”, dari bibirmu karena semuanya masih merahasiakan bahwa kakek sudah dipanggil ke pangkuan Allah disana. Tapi tetap saja tak bisa dipungkiri, tangisanmu itu tak bisa menyembunyikan kepedihanmu yang mendalam. Ratapanmu tak bisa mengobati rindumu dan juga kepedihan yang dirasakan anak-anakmu yang juga tak kuasa menahan air mata malam itu.


Mendiang alm Kakek dan Nenek

Kakek dikuburkan pagi harinya. Saat itu ku lihat kau sudah mulai lebih tenang daripada malam hari sebelumnya. Kepergiannya menyisakan segenap luka dan duka bagi semuanya. Tak hanya dirimu, anak-anakmu yang juga mendapat sosok pengganti ayah, serta aku dan cucumu lainnya yang mendapat sosok kakek dan mengenalnya.

Sekarang kau masih menjalani terapi penyembuhan. Kau sudah mulai berlatih berjalan. Berjalan meski kini hanya tersisa kenangan. Tak ada lagi dia yang selalu menemanimu, di saat pekerjaan menyibukkan anak-anakmu, juga sekolah yang membuat cucu-cucumu jarang mengunjungimu.

Cucu terbesarmu sudah sembilan belas tahun kini. Tepat disaat aku menulis ini. Tepat disaat kau menelponku tadi, dan kau ucap harapanmu kepadaku agar senantiasa berjalan dalam naungannya, mewujudkan harapan orang tua dan menjadi contoh bagi cucu-cucumu lainnya. Kado istimewaku adalah menjadi cucumu, menjadi anak yang terlahir dari anakmu.



Bandung, 5 April 2011

Ditulis dengan berlinang airmata



by Raffa Muhammad

Senin, 04 April 2011

Petuah Sederhana


Ujian nasional kian dekat. Sekolah manapun pasti akan meningkatkan kesiapan siswanya dengan kompak. Tugas dikurangi, dan penjelasan ditambah hingga semua mengerti. Tak ada penyesalan di akhir nanti, semuanya berharap begitu tanpa kecuali.


Tapi tidak, saat itu entah mengapa tugas di SMA ku tak kunjung tamat. Semuanya ada dan terus ada dengan alasan memang target pembelajaran yang membuat hari serasa kiamat. Bayangkan, ada tugas membuat film, membuat laporan percobaan, membuat maket rumah, dan beberapa laporan serta tugas tambahan yang membuat waktu serasa cepat. Pulang sekolah jam dua, sudah harus melanjutkan jadwal les disana sini untuk UAN dan SNMPTN yang kian dekat.

Malam, jika ogah-ogahan belajar, bisa dipastikan esok sekolah akan ketinggalan. Maka malam pun memaksakan tuk tetap belajar meski mata seberat beras kiloan. Mencicil tugas juga bisa dilakukan, tapi apa daya kadang malas juga berdatangan. Bangun pagi pun diharamkan kesiangan, dilanjut les pagi di sekolah yang memang diprogramkan setiap tahunnya.

Begitu setiap harinya, membuat akhir pekan semua masalah dilupakan untuk berhura-hura. Begitulah hingga akhirnya, UAN kian dekat dan mendekat sementara deadline tugas juga tak kalah semakin singkat. Sementara hasil juga tak bisa dibilang sempurna karena kadang malas menjadi penghadang utama.

Hari itu, semua disibukkan diskusi mata pelajaran bahasa Indonesia dimana esok akan didiskusikan tugas kelompok minggu lalu. Aku termasuk yang kalang kabut, tugas minggu lalu tapi hingga sehari jelang dikumpulkan belum sama sekali disentuh. Resah dan gelisah bercampur begitu rupa tatkala membaca UAN akan lebih sulit dari sebelumnya. Akhirnya sore itu ku putuskan ke rumah guru bahasa Indonesiaku yang kebetulan tak jauh dari rumahku. Tujuannya sederhana, ingin berkeluh kesah karena kebetulan guru yang satu ini sosok yang terbuka dan ramah terhadap muridnya.

Ku kendarai sepeda, dan menuju ke kompleks perumahan dimana guruku tinggal. Aku disambut hangat dengan senyum dan sapa, dan akhirnya ku jelaskan maksud kedatanganku kesana.

“Baru pulang mas”, tanyanya seraya tangannya mengisyaratkan tuk menyilahkanku duduk.

“Iya Bu, belum sempat ganti baju. Tadi nyicil ngerjakan tugas film Bu”, jawabku.

“Memang belum selesai? Bukankah sebulan jelang UAN, tugas sudah harus ditiadakan?”, tanyanya pelan.

“Iya sih, tapi ya gitulah Bu, banyak ulangan, try out dan tugas lainnya”, balasku. “Ibu pilek?”

“Iya mas, saya juga agak meriang rasanya. Kemarin sudah minta dikerokin sama adik tapi tetap nggak enak rasanya”

“Ya sambil istirahat saja Bu”

“Mau istirahat gimana mas”, dia menghentikan bicaranya. Diambilnya sesuatu dari balik meja di depanku.

“Ini lihat”, diperlihatkannya beberapa tumpukan kertas. Seperti hasil ujian yang dibungkus rapi dengan beberapa coretan di depan.

“Apa ini Bu?”

“Yang ini hasil ujian semester kalian. Ada tiga kelas. Sementara yang lain hasil ujian Widya Gama” jelasnya sambil menunjuk dan membolak-satu persatu. Ibu Guruku ini mengajar tiga kelas di sekolahku. Widya Gama adalah perguruan tinggi swasta di kota kecilku, tempatnya juga mengajar di sela waktu.

“Ini dikoreksi semua?”, tanyaku heran. Ku lihat perlahan, tumpukan itu pasti berisi banyak lembaran-lembaran.

“Nah itu mas. Belum selesai ngoreksi, tadi saya sudah dipanggil Pak Marin disuruh buat soal try out minggu depan. ‘Nggak Pak Marin. Saya sudah banyak tanggungan’, ‘ Bu Moel, untuk bahasa Indonesia anak-anak, saya percayakan sama Bu Moel’, serunya. “Nggak didenger protes saya”, akunya.

“Ya sudah Bu, try outnya Ibu acak aja soal tahun lalu”

“Nggak mas”, akunya tegas. Mukanya menyiratkan kesungguhan penolakannya terhadap ideku itu.

“Saya nggak mau kalian menjadi generasi yang terkorbankan”, tambahnya.

Dikisahkannya kisah masa kecilnya yang hanya sekolah dengan guru-guru terbatas. Guru Fisika merangkap jadi guru Kewarganegaraan, guru olahraga merangkap guru Bahasa Indonesia dan beberapa guru lainnya yang juga melakukan hal yang sama. Akibatnya jelas, disiplin ilmu yang berbeda membuat penjelasan kadang kala itu itu saja.

“Misalnya untuk menyontohkan penggunaan majas personifikasi selalu saja ‘nyiur melambai di tepi pantai’. Ditanya lagi di lain hari, jawabnya sama tak berganti, seakan contoh lain nggak dia ketahui lagi. Karena itu saya selalu buatkan tipe soal baru, yang tentunya masih mengacu ke Ujian Nasional nanti,”ujarnya.

Memang setelah kuingat, try out yang sudah ada bacaan di soal bahasa Indonesia selalu baru dan berbeda. Jika pelajaran lain bisa ada yang sama dengan soal ujian nasional lama, tipe dan bacaan di soal try out bahasa Indonesia selalu pertama dijumpai saat itu juga.

“Ya kalau gitu, koreksinya aja minta bantuan orang lain Bu. Kan Ibu bisa buat kunci jawaban sehingga bisa ....”

“Nggak bisa mas, bentar ya saya ambilkan minum”, selanya sambil melangkahkan kakinya ke arah kulkas di ruang tengah rumahnya.

Sementara ku lihat hasil koreksi Ibu beberapa, dan ternyata semuanya tak hanya dikoreksi begitu saja. Dibetulkan satu persatu yang salah, maka pantaslah akan membutuhkan waktu lama.

“Ibu ngoreksinya gini...?”, tanyaku heran

“Jika nggak gitu, mereka nggak akan tahu mengapa Ibu menganggapnya salah. Kalau yang pilihan ganda, Ibu pun harus tahu dimana letak kelemahan siswa. Jadi bisa dijelaskan lagi materi yang kiranya kurang dipahami”, tuturnya.

“Tapi kan lama Bu...”, kata-kataku dijawabnya dengan senyuman lembut darinya. “Ya dicicil mas, setelah Isya, hingga jam sembilan. Sebelum shubuh hingga shubuh dan berangkat memberikan les pagi. Juga di sela-sela sebelum mengajar di Widya Gama sore harinya”

Aku terdiam. “Betapa padatnya agenda Bu Moel ini”, pikirku. Jauh lebih padat dari agendaku yang terbilang memang kewajibanku. Agendanya adalah pilihannya. Guruku ini, adalah orang yang sama yang mengajar Ibuku dan Paman serta Bibiku. Jadi bisa diketahui di usia senjanya, sebenarnya materi bukanlah tujuan utamanya menyibukkan diri di dunia pendidikan yang membuatnya sibuk setiap harinya. “Ya Allah, aku kesini mau berkeluh kesah padahal hari hari beliau pasti jauh lebih berat dariku. Sementara aku ini masih muda, dan beliau sudah terbilang tua, apakah pantas begini adanya?”, ujarku dalam hati.

“Kamu kesini ada apa?”, pertanyaannya membuyarkan lamunanku yang membawaku ke perasaan bersalah.

“Hmm tidak ada Bu, cuma ingin silaturahmi saja”, jawabku dengan meringis menutupi kebohonganku. Aku pun meminta izin pulang karena hari sudah sore. Malamnya aku kerjakan tugas itu semalaman dengan semangat penuh. Gelisah tadi pun hilang sebelum dikeluhkan sudah terobati dengan kisah semangat yang menyuntik segenap raga. Hilang oleh sebuah petuah sederhana yang tersirat dari untaian kisah penuh makna dari guruku tercinta.


Raffa Muhammad


Kisah Lama Sebelum Kuliah