Halaman

Assalamualaikum, welcome

Sebuah eksplorasi hati...

Senin, 12 Agustus 2013

When It's Been Too Worth

Well, ini adalah kisah nyata kedua yang kudapat setelah mendapatkan inspirasi disini dari kisah hidup seorang tetangga di Lumajang. 

TRUE STORY :) 

Ujung diantara ujung yang paling ujung nikmat dunia memang merasakan bahagia. Tanpanya, harta yang ada, sehat yang dirasa, dan waktu yang lapang terasa hampa. Baru beberapa bulan lalu keluarganya berduka. Ibunya kini menemani Sang Ayah dipanggil sang kuasa dengan penyakit yang cukup lama dilawan di sisa-sisa akhir hidupnya, diabetes.

Tak berhenti sampai disitu, dua orang kakaknya, serta seorang adiknya juga didiagnosa memiliki kadar gula yang juga bermasalah. Seketika ia pun berkaca. Dilihatnya tampilan tubuhnya sendiri.

"Allahu Rabbi", pikirnya dalam hati. Ia masih ingat betul perjuangannya hari itu. Ketika hari dimana ia belum diangkat menjadi salah satu pendidik resmi. Ia rela kesana kemari meninggalkan anak istri, ke luar kota beberapa hari, kembali lagi dan lagi ikut seminar, pelatihan, dan berbagai acara yang dijalani dari kegiatan utamanya ikut sebagai pengajar sebuah bimbingan belajar di kota kecil ini.

Dan kini, perjuangan demi perjuangan yang berlalu telah terjawab sudah. Perlahan, kesejahteraan keluarga membaik dengan diangkatnya ia beserta sang istri sebagai guru tetap (PNS). Rumah yang dahulunya kecil, ia bisa renovasi hingga kini megah. Kendaraan yang dulunya seadanya bisa ia ganti hingga kini menjadi mewah. Dan perlahan-lahan kenikmatan yang ia damba bisa ia tuai dengan kerja kerasnya. Keluarganya pun makin harmonis, dengan seorang putra dan dua orang putri cantik yang menghiasinya.

Tapi sungguh, bayang bayang penyakit gula yang mematikan ini menghantuinya. Setelah dicek ternyata memang sama seperti saudara saudarinya, ia memiliki kecenderungan itu. Faktor turunan (genetik) memang mempunyai peranan penting terhadap berkembangnya penyakit diabetes pada seseorang. Selain itu lingkungan juga berpengaruh. Kesejahteraan telah membuatnya memiliki berat badan yang cukup gemuk.

Terkadang, banyak orang beranggapan sangat menyebalkan ketika memiliki materi tapi kita tidak bisa menikmatinya secara maksimal. Dengan dalih itulah beragam macam kenikmatan mereka upayakan. Tetapi karena itu pula justru terkadang silaunya dalam silaunya kenikmatan, kesehatan tergadaikan. Jika memang maut menjemput, maka dokter terbaik pun hanya bisa terdiam bukan?

Dan ternyata dia belajar memahaminya pelan-pelan. Dia mencoba yakinkan dirinya, bahwa dia tak akan diam melawan ancaman penyakitnya. Dia tak tahu memang kapan ajalnya datang, tapi ia ingin setidaknya ketika saat itu tiba ia bisa melihat buah hatinya menggapai cita-cita mereka. Maka ia pun berusaha. Melawan dirinya sendiri. Melawan segala nikmat yang harusnya halal, dan perlahan ia haramkan demi kesehatan.

Dia belajar mengubah pola hidupnya. Dari mulai olahraga rutin secara ringan, hingga jogging selepas shubuh datang. Agar bisa tepat waktu lari pagi, dia pun mulai membiasakan diri jamaah shubuh di masjid. Perlahan, ia pun merasakan nikmatnya berjamaah. Dan sejak saat itu ia rutin berjamaah.

Untuk mengecek perkembangan tubuhnya, ia pun rutin memeriksa darahnya. Mengatur makanan yang dilahapnya. Sekalipun ia bisa membeli, ia atur porsi secukupnya. Ia tahan dirinya dengan puasa sunnah.

Tahukah kini bagaimana kondisinya?
Dia semakin bugar. Berat badannya turun. Kadar gulanya cukup bagus dan teratur. Dia jauh terkesan kekar dibanding sebelumnya yang bisa disebut tambun. Dan tahukah kawan, Ramadhan kali ini, adalah Ramadhan pertamanya menjadi imam tarawih di musholla kecil sekitar rumahku, bergantian jadwal dengan para imam lainnya. Perlahan ia sering berjamaah, ia pun dipercaya menjadi imam. Karena asalnya memang cukup memilii dasar agama di keluarganya, menjadi da'i baru di RT kami pun tidak masalah.

Ketika kenikmatan itu begitu berharga
Kawan, ketika kita pikirkan. Mungkin ada yang memilih jalan yang berbeda jika memilih menjadi dia. Dengan kesejahteraan yang ada, beberapa mungkin enggan memilih menahan diri dari nikmatnya makanan dan berlepas dari lelahnya mengolah badan. Pasalnya, dokter terbaik bisa mereka datangkan. Obat terbaik bisa terbeli. Namun apa daya, obat terbaik dan dokter terbaik pun tidak akan bisa menyembuhkan, ketika raga ini sudah tidak kuat menahan beban.



Tidak selalu orang yang memilih sepertinya akan berakhir baik memang. Namun Allah tidak akan pernah mengkhianati perjuangan seorang hamba-Nya bukan? Umur Allah yang tentukan. Namun kekuatan raga tuk bertahan, kita bisa ikhtiarkan.

Setidaknya, sosok di atas benar-benar mengisahkan ketika kenikmatan yang ia dapati benar-benar ia syukuri (dalam hal ini kejahteraan) yakni dengan ikhtiar menjaga kesehatan, maka setidaknya tubuhnya bisa makin bugar, dan salah satu bonusnya ia bisa merasakan manisnya iman.


Wallahu a'lam.









Sabtu, 10 Agustus 2013

Cinta Realistis

Mencintai itu sederhana, laksana kunci menemukan gemboknya, saling melengkapi, bukan sekadar menemani. Lalu, bagaimanakah caranya?

Dari Bandung beberapa bulan lalu, kabar tentangnya terdengar sayup-sayup. Dia terkena musibah katanya. Ketika hendak ke luar rumah, sebuah kendaraan menyerempetnya. Tersungkur tak berdaya, ia pun menjadi santapan kendaraan di belakangnya. Braaak, orang-orang berlarian panik mendekatinya. Darah bercucuran.

Dia baru beberapa tahun tinggal di rumah itu. Sebuah bangunan sederhana, di lingkungan yang cukup padat. Tidak ada halaman, keluar pintu rumah sudah jalanan. Bersama seorang pujaan hati yang dinikahinya, ia dikaruniai seorang Tara, bayi mungil yang memang memiliki senyum tiada tara. Pagi itu, ia berniat mengemong Tara, tetapi tidak ada yang tahu kapan musibah akan tiba. Dan na'asnya musibah itu menimpanya.

Whatever happens, happens

Dengan kecepatan tinggi yang ada sang pengemudi mengaku khilaf, ia berjanji tanggung jawab. Saat aparat kepolisian pun dilibatkan, namun demi mempercepat urusan akhirnya diambil jalur kekeluargaan. Perlahan makin tak pasti, pihak keluarga tak kunjung mendapat biaya pengobatan yang dijanjikan. Antara iya dan tidak, kepolisian pun tampak tak berdaya, apalagi kasus serupa yang tidak sedikit adanya. Proses lama, berbelit, dan akhirnya pihak keluarga menyerah. I'tikad baik yang disangsikan berujung pemakluman mengetahui sang pengemudi berasal dari keluarga yang tidak cukup berada.

Sementara beberapa pekan koma, dan menjalani serangakaian operasi dan pengobatan, akhirnya kelopak matanya kembali terbuka. Namun apa daya ketika luka yang diderita cukup parah. Hilang ingatan sebagian, dan luka di bagian kaki dan lengan. Jangankan tentang Tara, beberapa keluarganya saja tak lagi ia ingat dalam memori. Seperti sinetron, dan sayangnya ini bukan cerita khayalan yang berakhir selalu bahagia dengan skenario sutradara yang bisa ditebak sebelumnya.

Entah parade cobaan atau justru pintu keselamatan dari Sang Khaliq, sang istri merasa tak ada lagi harapan. Begitu pula keluarga besar yang ternyata sama tak kuasa menerima keadaan. Dan akhirnya jalan itu dipilih, perceraian. Tara tak akan pernah membayangkan memiliki orang tua terpisah sementara ia belum bisa berkata-kata. Hanya sedikit langkah dan tangis sesekali ekspresi yang dimilikinya. 

Ramadhan kali ini alhamdulillah kepulanganku ke kampung halaman bisa mengunjunginya hingga tahu ceritanya pasti. Dia mulai pulih, bisa duduk sendiri di kursi. Namun untuk berjalan masih butuh bantuan. Tidak ada lagi bayangan Tara yang tiba-tiba hilang ketika digendongnya dan dari belakang disambar kendaraan. Atau sang istri yang akhirnya memilih jalan perpisahan dengan alasan ketidakmampuan memberikan kewajiban nafkah lahir batin. 

Banyak yang menyayangkan. Usia muda memang bisa dijadikan ajang aji mumpung. Mumpung masih cantik, masih ada yang tertarik. Mumpung masih muda, janda tidak apalah. Mumpung masih muda, cinta? Sudah kelaut saja.

Tetapi apa sang perempuan sepenuhnya salah? Entahlah. Mungkin cinta yang mereka bangun tidak sekuat film-film romantis. Atau mungkin justru fenomena ini yang realistis. Lalu bagaimana jika ini terjadi denganku atau denganmu kawan? Pengen ga sih dapet pasangan yang susah seneng bareng bukan seneng doank tapi pas susah bye bye sayang..?

Absolutely.

Lalu bagaimana?

Satu diantara nasihat Malaikat Jibril kepada Rasulullah dalam hadist ialah, "Cintailah siapa saja yang engkau senangi namun sesungguhnya engkau PASTI berpisah dengannya"

Dan mungkin makna perpisahan disini bukan hanya perpisahan raga berupa, namun juga kenikmatan lainnya mulai materi, maupun fisik yang bisa tercabut entah perlahan, ataupun seketika. Lalu siapkah kita tetap mencinta? Atau makna realistis membutakan segalanya?




Tara tidak sendiri. Banyak Tara-Tara lain di negeri ini. Namun sedih rasanya ketika tahu dia tetanggaku sendiri


Lumajang, 11 Agustus 2013
3 Ramadhan 1434 H

Raffa Muhammad,