Halaman

Assalamualaikum, welcome

Sebuah eksplorasi hati...

Sabtu, 27 November 2010

Masih Iseng Isengkah Menulis?


Iseng-iseng, itulah kata-kata yang ku gunakan tuk menjawab pertanyaan Kak Edo Segara dalam Workshop dan Training Jurnalistik di IT Telkom Bandung yang berujung hadiah buku yang bertitel “Menulis, Tradisi Intelektual Muslim”. Buku itu berisi banyak motif para penulis mengenai alasan mereka untuk menulis, dengan berbagai sudut pandang. Yang paling mengejutkan bagiku adalah karya dalam buku itu yang sudah tak asing lagi, termasuk beberapa penulis yang sering disebut Kak Edo. Ya, mereka adalah pengguna Multiply tempatku bernaung tuk belajar menulis selama ini. Sebut saja Kak Helvy Tiana Rosa dan Akhi Dirman Al Amin. Percaya atau tidak saya baru tahu mereka telah menelurkan karya mereka ke penerbit hingga karyanya masuk toko buku. Saking jarangnya ke toko buku sampe nggak tahu hehehe

“Jika berawal dari sekedar iseng-iseng hasilnya juga akan iseng-iseng. Cobalah untuk serius”, seru Kak Edo menambahkan. Tapi memang itu faktanya, saya sekalipun tak memiliki obsesi ataupun mimpi untuk memulai belajar tentang dunia tulis menulis. Menulis itupun hanya berawal dari sebuah keinginan mendownload musik gratis di Multiply. Saat itu Multiply adalah situs yang sangat lengkap dengan koleksi lagu MP3 terbaru sebelum akhirnya dibersihkan semua karena pihak pengelola tidak mau dianggap mendukung pembajakan. Pembersihan itupun menggiring saya melihat berbagai sisi lain Multiply yang ternyata memiliki komunitas blogging besar. Dari situlah awal saya belajar menulis, belajar dari para MP’ers lain, sebutan untuk pengguna Multiply yang notabene berasal dari berbagai kalangan.

Ya iseng-iseng saja, apakah itu salah? Tak ada yang salah dari sebuah keisengan. Tapi jikalau keisengan itu bisa diubah menjadi sebuah keseriusan tentulah akan lebih bermanfaat bagi kita. Kak Edo dalam materinya menuturkan keisengan hanya motif yang dilakukan untuk mengisi waktu luang, dalam artian menulis tuk sekadar main main.

Tapi sebagai penulis awam tentunya menulis bukanlah sesuatu yang mudah. Adakalanya inspirasi datang di saat tertentu saja. Misalkan pada saya sendiri, untuk membuat sebuah karya yang saya anggap my best entah berupa opini, puisi ataupun prosa hanya bisa di kondisi tertentu. Misalkan jika karya yang ingin dibuat tentunya bertema kesedihan, rindu, pokoknya mellow harus dibuat di suasana hening, dingin, lapar atau sedang merasakan rindu ataupun sedih yang teramat sangat. Pernah kala SMA dulu saat merasakan patah hati maklumlah anak muda hehehe, produktifitas berpuitis ria justru naik.

Hal ini sangat miris, mengingat seharusnya penulis harus bisa mengimajinasikan apa yang ada di benaknya dan menuangkannya dalam sebuah karya. Tapi saya pun hanya selevel penulis “on mood”. Jika dipaksakan untuk membuat karya di momen yang tidak sesuai, hasilnya pun tak seperti harapan. Pernah tujuan awal ingin membuat puisi kesedihan tentang bencana, malah berujung puisi bersemangat.

Mungkin di dunia ini juga ada yang mengalami hal seperti saya, tapi boleh jadi hanya saya yang agak nyeleneh dalam merasakan hal ini. Tapi dalam Workshop Ahad kemarin saya sudah menemukan jawabannya. Pembicara kedua dalam Workshop adalah Dedi Setiawan, ketua FLP Bandung yang menyambung pemberian motivasi menulis oleh Kak Edo.

Jawabannya adalah mengenai niat awal. Niat iseng-iseng tadilah yang bermasalah. Memang sebenarnya, iseng iseng ataupun serius akan sama-sama menghasilkan karya. Namun jika dibandingkan hasilnya akan berbeda pada satu hal, yaitu kualitas. Totalitas dalam berkarya akan menghasilkan sesuatu yang maksimal atau bisa disebut terbaik dari kita. Mungkin tak pernah terlintas dalam benak kita bagaimana bentuk karya terbaik kita, yang mana ataupun kapan bisa kita dapati. Jawabnya satu, saat kita sudah berani, mau dan berkemauan menulis tuk menghasilkan karya terbaik kita.
Jangan terlalu tinggi, kuatkan pondasi… perlahan tapi pasti… merayap dan naik tanpa sangsi..
Siapapun kita entah kita mengakuinya atau tidak, kita adalah penulis. Sejak kecil menulis adalah rutinitas yang kita kerjakan. Mungkin hanya mayat yang tersisa, tulang belulang yang terkubur, dan do’a sanak famili yang mengalir kala kita tlah tiada. Tapi karya kita kan tetap ada. Menembus waktu yang tak mungkin kita tembus. Melewati gerbang yang tak bisa kita buka.


Sebuah catatan kecil dari Workshop dan Pelatihan Jurnalistik
Raffa Muhammad

Kamis, 25 November 2010

Kapankah Bisa Seperti Itu?


Baru saja membaca beberapa Ebook lama yang belum sempat terbaca. Kebetulan kebanyakan adalah karya Kak Asma Nadia. Rentetan kata demi kata yang tersusun indah dibalut dengan hikmah yang tersirat ataupun tersurat di dalamnya memang bisa menghipnotis pembacanya.

Sempat terlintas di benak, kapan ya jari jemari ini bisa memainkan keyboard komputer tuk menghasilkan rangkaian indah semacam itu. Mungkin teman-teman pasti pernah mengalaminya. Memang, terkesan sekali jika rasa minder boleh jadi bergelayut karena selama ini belum bisa memenuhi harapan diri sendiri.

"Kapankah Bisa Seperti Itu?"

Aku pernah mengalaminya beberapa hari ini. Jujur saja. Tak bisa dipungkiri ataupun disangkal. Bahkan tak ada alasan untuk itu. Memang, menikmati karya orang lain bisa menginspirasi, memotivasi dan menabuhkan genderang kepada syaraf otak tuk segera merangai kata secara kreatif. Tapi kadangkala, bisa saja sebaliknya. Sebut saja ketika hendak mengikuti sebuah acara kompetisi menulis, seperti Lomba Cipta Puisi, Flash Fiction atau sekadar mengikuti Arisan Kata Multiply.

Melihat hasil karya orang lain sebelum menghasilkan karya memang sebuah opsi. Tapi seperti tadi, terhipnotis olehnya bisa mengendurkan semangat pula karena salah menyikapi. Salah? Dimanakah letak kesalahan itu?

Saya akan mencoba mengilustrasikan. Sheila On 7 adalah band yang telah ada sejak zaman 90'an dan telah menjadi salah satu band fenomenal yang banyak menginspirasi musisi lain. Tapi pernahkah kita membayangkan seandainya semua calon musisi yang terhipnotis lirik dan lagu-lagu indah S07 memilih mengurungkan niatnya berkarya hanya karena belum merasa selevel dengan mereka tuk memasuki dapur rekaman? Apa jadinya bila itu terjadi? Bisa dibayangkan tak akan ada karya lain lagi hingga sekarang. Semua berpendapat dialah yang terbaik, lalu buat apa berkarya lagi. Membuat sesuatu yang di bawah level hanya akan mempermalukan diri sendiri.

Tapi apa yang membuat mereka (calon musisi yang terhipnotis S07) tetap berkarya meski tidak ada jaminan penerimaan oleh publik? Jawabnya adalah karena mereka tidak berpikir "Kapankah bisa seperti itu", tetapi justru berprinsip "Inilah Giliranku". Tak sepeduli setenar apapun idola mereka, mereka terus berkarya dengan cara, gaya dan jalan mereka masing-masing.

"Inilah giliranku"

Begitu pula dengan karya tulis-menulis ataupun yang lainnya. Jika masih ada pemikiran "Kapankah bisa seperti itu" di dalam diri, sekalipun telah terpatri dalam relung hati tapi marilah kita sholat berjamaah. Nah lho. Marilah kita ubah sedikit demi sedikit pola pemikiran kita. Saya menyebut kita disini, karena saya sendiri juga kadangkala mengalami fenomena yang sama. Saya menuliskan ini bukan karena saya merasa hebat, sok tahu, ataupun karena saya pun bukan siapa siapa. Makhluk ingusan yang masih perlu banyak belajar dari Anda

"Dunia Pasti Berputar"

Dunia pasti berputar, ibarat roda yang membuat kita kadangkala bisa berada di bawah ataupun di atas. Ibarat giliran pada kita sebagai penikmat sebuah karya, pasti ada giliran kita sesekali berperan sebagai pembuat karya tuk bisa dinikmati orang lain. Tapi kapan giliran itu tiba? Jika saat membaca ini Anda masih bisa merasakan bernafas, menghirup oksigen memasuki tubuh Anda secara segar di saat itulah kesempatan Anda memulai. Saya merasakan kesempatan itu, karenanya saya menulis ini.

Tak peduli bagaimana jenis karya tulisan kita, juga gaya rangkaian kata yang kita hasilkan. Ketahuilah kita memiliki ciri khas masing-masing. Seperti namanya itulah sesuatu yang khas. Tak bisa dicari di orang lain. Jikalau mirip pastilah ada sedikit perbedaan yang dijumpai jika ditelaah lebih lanjut.

Apakah salah mengadopsi ciri khas orang lain? Tidak ada yang salah dengan itu. Mengadopsi pun tak ada jaminan tuk menghasilkan sesuatu yang sama, karena jika karya yang dihasilkan memang dari hati pastilah ada perbedaan. Tapi perlu dicatat sesuatu yang sama pasti akan selalu dibandingkan orang lain.

Abiku selalu mengagumi gaya menyanyi Ridho Rhoma. Beliau memang penggemar dangdut sejak dulu. Pernah aku bertanya mengapa mengagumi Ridho? Ridho adalah sosok yang memilih gayanya sendiri dan berani untuk melakukannya. Memang, tak ada kesalahan bilamana Ridho menyanyi dangdut layaknya sang Ayahanda karena memang Bang Rhoma adalah Raja Dangdut yang fenomenal dan menginspirasi banyak pedangdut, apalagi Ridho adalah anaknya sendiri. Tapi dia lebih memilih berspekulasi menggunakan gaya Dangdut-Pop. Itulah yang membuat Abiku kagum.

"Menjadi Diri Sendiri Itulah yang Terbaik"

Sebuah jargon lawas memang, menjadi diri sendiri itulah yang terbaik. Yang perlu dicermati, bukan bagaimanakah diri kita sendiri yang kita idamkan, karena kita yakinlah bahwa kita sedang melangkah tuk menemuinya. Maka ayolah tetap melangkah dalam kepercayaan dan perjuangan tinggi.









Raffa Muhammad

Sabtu, 06 November 2010

Pedoman Sederhana Memasuki Dunia Perkuliahan


Memasuki dunia perkuliahan ibarat memasuki mall, hypermarket atau semacamnya. Berbagai macam hal akan kita jumpai, berbagai kalangan kan kita temui, berbagai halangan kan kita dapati. Segalanya ada. Tergantung kita bagaimana memilih. Memang banyak yang negatif, tapi tak sedikit yang positif.

Bersyukurlah jika kita termasuk orang yang bisa menuntut ilmu di bangku perkuliahan yang jauh dari tempat kita berasal. Disitulah masa terindah kan rasakan. Masa – masa awal dimana kita merasakan kebebasan, sekaligus masa – masa dimana tanggung jawab besar berada di pundak kita. Di saat inilah takkan ada lagi orang tua yang selalu mengingatkan, membantu dan mengarahkan kita. Bahkan bagi yang kuliah di kota besar, tak kan banyak lagi didapati teman yang bisa menjadi sahabat yang bisa mengingatkan di kala suka, dan pelipur di kala lara. 

Dosenpun jauh berbeda dengan guru yang biasa kita temui di sekolah yang mana cenderung lebih “care” terhadap anak didiknya.

Lalu bagaimanakah harusnya kita melangkah?

Jika dirujuk dalam sebuah hadist
Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya (perbuatan baik) akan menghapusnya (perbuatan buruk). Dan berperilakulah terhadap sesama manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad dan al Tirmidzi, beliau menghasankannya).

Jadi our future is really on our hand. Semuanya bergantung pada kita. Menjadi sosok seperti Azzam dalam film(bukan sinetron)KCB yang cerdas, sukses tetapi tetap tawadhu’ bukanlah hal yang impossible. Tinggal kita apakah mau memilah dan memilih apa yang baik bagi kita sesuai tuntunanNya.

Segala kekhawatiran termasuk di dalamnya tentang pergaulan di kota yang cenderung “bebas” akan sirna. Biarlah pergaulan mereka tak Islami. Jadikan diri lebih Islami dulu hingga nanti siap tuk membuat perubahan terhadap yang kurang Islami.

Tapi ingatlah satu hal, tetaplah waspada dan waspada. Sebelum saya berangkat ke Bandung tuk kuliah kedua nenek saya dari tempat yang berbeda mengingatkan satu hal yang sama. Agar berhati-hati terhadap wanita. Agaknya lirik lagu The Changcuters “Wanita racun dunia, karena dia bisa butakan semua” benar adanya. Mungkin nenek saya telah menyadari beliau pun pernah menjadi racun bagi kakek saya dulu hehehe

Penampilan bisa menipu. Tutur kata bisa menghasud. Tingkah laku bisa mengelabui. Tapi semuanya jangan menghentikan langkah tuk selalu khusnudzon terhadap orang lain. Tetap ramah, arif dan suka membantu. Insya Allah akan dimudahkan jalan kita menuntut ilmu di tanah perantauan, tanah orang, daerah yang asing dengan keseharian kita.

Selain itu, tetap harus kita evaluasi perjalanan kita. Tentunya sebelumnya harus ada target. Jangan tanggung-tanggung, targetkan “cumlaude” mengingat persaingan di dunia kerja makin sengit. Analisislah ada target yang belum tercapai ataupun target yang tercapai atau bahkan melebihi target sembari menyempurnakan langkah tuk mencapai target itu. Semua itulah pandangan visioner yang paling membedakan mahasiswa dan siswa.

“Jangan bangga dapat IPK tinggi tanpa pemahaman tinggi pula”. Begitulah kata-kata yang pernah ku baca. Memang saat mahasiswa semuanya berbeda karena tanggung jawab kita makin besar. Sedikit saja kurang pemahaman bisa jadi mendzolimi diri kita dan orang lain karena aplikasi dari ilmu yang kita dapatkan akan diuji dengan pekerjaan yang kita nanti. Ibarat dokter yang melakukan malpraktek, apapun pekerjaan akan fatal jika tak didasari ilmu yang mumpuni.

Hmm…

Saya sebenarnya juga mahasiswa baru, baru bermetamorfosa dari siswa biasa. Tulisan ini bukan bermaksud sok tahu tapi adalah rangkaian hasil interview dari kakak kelas juga hasil mentoring dan liqo’. Mohon maaf jika ada kekurangan. Moga bermanfaat.

Surat Cinta Untuk (Mantan) Calon Pacarku


Assalamu’alaikum wr. Wb.

Salam sejahteraku untukmu, wahai wanita yang tlah dipilihkanNya tuk kucintai. Bagaimana kabarmu? Sehat bukan? Semoga langit cerah masih kau bisa nikmati disana walau awan gelap terkadang silih berganti menghampiri.

Alhamdulillah jika memang kau baik saja disana. Setelah sekian lama akhirnya kuberanikan diri menuliskan surat ini. Lama memang. Aku pun tak tahu mengapa, aku menjadi berani. Setidaknya kini. Padahal tak ada jaminan kau akan membacanya. Maka maafkanlah kelancangan diriku jika ini justru mengganggumu.

Masa remajaku memang sangat indah. Indah karena saat mulai merasakan rasa indah itu engakaulah yang dipilihkanNya untukku. Balutan jilbabmu, dihiasi sikap ramahmu dan manis senyummu seakan mengalihkan duniaku. Kata – katamu selalu terngiang dalam benakku. Terukir dan terpatri dalam memoriku. Bahkan momen pertemuan denganmu selalu kunanti dan kunanti. Tak bisa ku hindari walau tlah ku coba tuk menghindari. Tak bisa ku berdalih karena begitu adanya dalam diri. Detak jantung mengencang walau bukan di dalam medan perang. Hingga salah kata dan tingkah terjadi di depanmu karena duniaku teralihkan olehmu.


Seperti layaknya remaja kebanyakan aku pun awalnya ingin memadu kasih denganmu. Mengisi hari-hari sepiku dengan tawa indahmu. Menikmati setiap kebersamaanku denganmu. Aku tahu saat orang-orang lain mendekatimu, mengungkapkan perasaannya kepadamu. Hingga akhirnya mereka pun menanti jawabanmu. Tapi tahukah engkau disaat itu aku pun juga was-was menanti jawabanmu atas mereka? Menanti dengan secuil harapan dalam angan. Sebuah angan kecil yang terselip dalam kalbu. Namun akhirnya lega juga saat tiada satu pun dari mereka yang kau terima. Seakan harapan itu masih ada. Aku tak tahu alasanmu, aku memang merasa tak perlu mencari tahu.
Bukannya aku tidak melakukan apapun. Bukannya aku tak mencoba menghadirkan kesempatan. Bukannya pula bersikap pengecut tuk mengungkapkan perasaan ini kepadamu. Konyol memang, bahkan aku tak melakukannya walaupun sebenarnya tak mesti pula kau kan menerimaku. Tapi cukuplah kau ketahui alasanku. Sebuah alasan sederhana, tapi sangat besar artinya bagiku.
Ketahuilah jika aku hanya takut. Ketakutan ini menyulapku menjadi risau, gundah dan tak beraturan.

Tapi bukan takut kepadamu. Bukan pada mereka yang juga memendam perasaan kepadamu. Bukan pula kepada orang tuamu. Tapi ketakutanku hanya satu, pada yang Maha Cinta yang memberikanku kesempatan tuk mencinta. Atas rahmatNya hingga kini aku masih menghela nafas, menikmati indahnya alam dan berjuang meraih mimpiku. Aku pun tahu pastilah kau punya mimpi itu juga. Mimpi yang hendak kau raih, dan membahagiakan sekitarmu. Maka tak bisalah kita mengindahkan laranganNya. Aku percaya dan ku yakin engkau percaya, Dia kan memberikan kita yang terbaik. Selagi kita masih beriman kepadaNya, beramal sholeh serta berikhtiar mengarungi hidup. Maka tak pantaslah aku melakukan sesuatu sebelum waktunya. Yang malah menjerumuskan pada keburukan.


Terlebih aku tak lebih dari seorang yang masih bergantung kepada orang tuaku. Akulah harapan mereka. Betapa durhakanya jika tuk memenuhi harapan mereka saja tak bisa. Sementara pengorbanan mereka begitu besarnya kepadaku.

Kini waktu tlah cukup lama berlalu. Seiring jarak dan waktu yang memisahkan kita, pasti telah banyak hal kau lewati. Banyak hal yang ku tak ketahui tentangmu seperti dulu. Mungkin kau akan atau bahkan telah bertemu seseorang sesuai idamanmu. Seorang yang memenuhi segala kriteriamu sehingga ideal tuk disisimu hingga kelak jadi pemimpin rumah tanggamu. Seseorang yang kan mendampingimu mengarungi hidup dan menjadi ayah dari anak-anakmu.


Sejujurnya aku tak berharap banyak tuk menjadi orang itu. Walau sebenarnya memang Terlebih lagi kau pantas mendapat lebih baik dariku. Tapi ketahuilah apabila memang takdirNya kan menyatukan kita, disaat itu ku kan siap sedia. Aku kan belajar dan terus berbenah. Hingga saatnya nanti tatkala takdirNya tlah terlaksana aku tlah siap kembali menjadi pacarmu. Bukan hanya sekadar pacarmu, tapi pendamping di tiap hari-harimu. Dan kita pun bebas berpacaran secara halal dengan mensyukuri nikmat mencinta yang tlah diberikanNya dengan semestinya.

Hanya itu yang ingin ku sampaikan. Semoga hari-harimu selalu dalam naungannya di tiap langkah kebaikanmu.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.