Halaman

Assalamualaikum, welcome

Sebuah eksplorasi hati...

Jumat, 21 Oktober 2011

Menerawang Bayang-Bayang

Bandung menampakkan malam yang dingin seperti biasa. Sedingin embun yang selalu yang terjaga di malam-malam menemaniku akhir-akhir ini. Senandung pagi hari demi hari ke depan akan berbeda. Ya, minggu depan adalah minggu ujian. Minggu yang akan sangat menentukan, bagaimana perjuangan di semester ini akan diarahkan.

Tetapi terkadang, musuh utama bukan datang diantara ilalang dan semak belukar, ataupun jurang di tengah perjalanan. Justru diri inilah menjadi penghalang. Ketika rencana memang dibukukan dan sesiap raga ini melaksanakan, ada saja hal yang membuat sang waktu seperti berputar lebih cepat meninggalkan.

Aku harus belajar, dan itu keharusan yang aku lakukan. Seketika kata-kata itu seraya hidup menggetar tetapi mudah goyah dan merintih lemah. “Ah ngantuk”, “Ah bosan”, “Ah besok saja”.

Masih teringat liburan lalu, raga ini berdiri gagah diantara mata-mata kecil yang memandang. Mulut ini berteriak lantang, menyusupi pemikiran mereka dengan motivasi yang membakar. Motivasi? Mengapa sekarang justru kehilangan konsistensi untuk termotivasi? “Bagaimana aku bisa begitu dahulu?”

Ah entahlah.

Menerawang bayang-bayang, mengingat masa lalu penuh kenangan terkadang memang berguna. Aku membuka catatan lama, tepat dimana puluhan draft naskah tanpa ending cerita menyesakkan mata. Beralih ke catatan yang sudah pernah terpasang. membacanya satu persatu. Tersenyum. “Bagaimana bisa aku membuat begitu dahulu?”.

Sebuah pesan masuk di ponselku. “Mas ini endorsementnya”, begitu tertulis awalnya. Hingga teringat bahwa proyek besar menjadi panitia Lomba Puisi yang kemarin dipegang bukan mimpi. Bukan mimpi pula akun facebookku tiba-tiba menerima ratusan permintaan pertemanan dan email dipenuhi ratusan naskah besarta pertanyaan dari peserta. Diri ini juga akhirnya berkesempatan berhubungan dengan mereka dengan orang-orang tenar dan berpengalaman di bidang sastra. “Bagaimana bisa?”

Ternyata, diantara semua jawabannya semua bermula dari alasan bahwa aku menyukainya. Bahkan meski sulit pun terkadang hati ini takkan enggan mengalah. Bahkan ketika otak ini sudah merengek lemah dan lelah bersambut raga yang terserang hawa kantuk sebegitu dahsyatnya, aku tetap menyukainya. Kuliah di jurusan yang amat kusuka, di kampus yang kusuka, di kota yang kusuka. Memiliki hobi menulis meski sangat malas membaca. Menjalani takdirNya yang selalu ku syukuri adanya. Aku suka. Pulang malam dari lab, mabit dan berbagai aktivitas di luar kuliah. Aku menyukainya.

Seketika mengingatnya. Bagaimana aku bisa dahulu begini dan begitu. Jawabnya memang karena memang aku suka. Berlelah tetapi menikmati ibarat waktu tak terasa berlalu. Jadi apakah ketika bermalasan aku menikmatinya? Mungkin juga begitu kita semua kawan. Menikmati disaat diri kita sedang terpuruk, hingga akhirnya lama kita untuk bangkit. Tidak membenci di saat kita futur hingga enggan memperbaiki.

Menerawang bayang-bayang, apakah yang kita impikan malam itu? Malam dimana kisah ini bermula. Ketika kau rasakan udara sekitarmu berubah, tak seperti biasa. Malam dimana kau terjaga, memikirkan apa yang akan terjadi ketika esok mentari menyapa. Apa yang kau pikirkan kawan?

Apakah kau memikirkan bahwa kau akan mendapat kemudahan? Kau akan membuat mereka yang menyayangimu menjadi bangga dan mengelukanmu di akhir kisah? Kau akan dengan segera menggunakan waktumu untuk ini dan itu mencapai target dan sesegera mungkin meraih malam-malammu yang lain? Demikiankah?

Segalanya memang terkadang terasa tak mudah dan diri ini tak bisa menerima. Tetapi dari semua itu, terawanglah bayang-bayangmu. Ketika kau berani memutar kisah ini tuk jadi catatan sejarah hidupmu, ketika kau putuskan langkah ini tuk mengisi waktu-waktumu. Kau tersenyum, kau berharap cemas, kau bahkan mungkin takut. Tetapi kau bersiap untuk semuanya. Bertanya kemana-mana, mencari informasi sedemikian rupa. Kau mencipta bayang-bayang nan elok rupanya. Dan ketika kini bayang-bayangmu kini hampir mati, apakah kau akan meninggalkannya sendiri?

Aku meninggalkannya kawan. Di antara tumpukan jerami aku menyiramkan minyak tanah dan membiarkan diri ini membakarnya. Itulah kenapa aku seringkali gusar ketika malam. Aku merindukan bagaimana aku dahulu berpijak, menatap hari dan berjuang seakan bayang-bayang ini telah memprediksikan.

Tetapi kini, aku telah mendapatkannya kembali. Aku membuatnya dengan harapan, dan keyakinan bahwa memang sesuatu yang sulit diraih akan lebih mudah dijaga nanti. Lalu, bagaimana denganmu?

Rabu, 19 Oktober 2011

Ikut Aksi Tanpa Refleksi, Apa Kata Dunia?



Mahasiswa, makhluk berpendidikan yang masih saja bisa dibilang langka di negeri kita. Kemiskinan yang menjerat dimana-mana dan biaya pendidikan yang memang menjulang takkan pernah dijangkau setiap generasi muda. Tak pelak status mahasiswa boleh saja dibilang membanggakan jika dilihat secara seksama.

Tetapi kadangkala status ini juga cukup membuat hati kecewa. Tengok mereka yang duduk di singgasana kekuasaan, banyak dari mereka dulu juga mahasiswa vokal, menyuarakan perubahan, tetapi sama saja ketika sudah masa mereka menerima giliran. Korupsi, dan berbagai penyelewengan ibarat hal yang tak tertahankan. Idealisme terbeli dengan harga yang mungkin tak bisa disetarakan. Semua dianggap masa lalu, dan masa kini adalah sebuah kepentingan.

Juga lain halnya dengan prestasi yang diukir mahasiswa Indonesia tercinta. Beraneka rupa, dari yang tawuran masal hingga memang membanggakan bangsa di mata dunia. Dan kita harus menyadari, bangsa ini adalah bangsa yang besar, bangsa yang memiliki harapan besar dan membutuhkan orang-orang yang memang bisa memberikan pengorbanan besar bukan untuk sekadar hal fana semacam kekuasaan, ataupun tanda simaptik dari orang.

Anda mahasiswa, Anda pemuda, lalu apa? Terlepas dari status mahasiswa Anda, menjadi mahasiswa bukan sekadar untuk bergaya dengan almamater yang Anda banggakan di depan kaca, juga bukan untuk berteaterikal seakan Anda pahlawan pembawa perubahan. Please, sadarlah, mereka juga melakukan hal yang sama.

Mereka runtuhkan tirani demi kekuasaan tertinggi yang katanya untuk rakyat dan dari rakyat. Dan kini mereka bahkan lupa setiap hari yang mereka makan berasal dari rakyat. Rakyat yang merintih di tengah kekayaan negeri ini, rakyat yang menangis di antara janji-janji pemikat yang tak lain bak nyanyian berkarat.

Anda itu berpendidikan. Bukan mereka yang ikut aksi dengan bayaran. Atau mereka yang memang mahasiswa abal-abal, berdendang ria mengatakan, “Inilah aku, kaum intelektual di negeri ini. Akan membawa perubahan. Akan menebar kesejahteraan. Inilah aku”

Sebuah kata-kata yang amat membanggakan bagi saya pribadi sekaligus sindiran pahit datang dari seorang Bima Arya, politikus muda yang dulunya sempat berposisi sebagai pengamat tenar di TV swasta, ketika awal menginjakkan kaki dengan status mahasiswa, “Pemuda sekarang itu banyak yang teriak perubahan, tetapi jika diserahi wewenang tidak memiliki kecakapan.” Berkoar-koar bak singa kelaparan tanpa ada arahan. Pertanggungjawaban? Nol besar. Apakah itu yang Anda inginkan? Menjadi sekian diantara mereka, mantan agen perubahan yang akan segera tergilas perubahan?

Anda akan hilang kawan, hanya menjadi terkamanan generasi muda selanjutnya yang akan melanjutkan aksi tusuk belakang. Mensimfonikan kemerdekaan, tetapi sama saja tidak bermoral. Anda mahasiswa? Maka, beraksilah dengan sebenar-benar tujuan mulia. Jangan bernada Anda bisa, tetapi tiada juga memiliki noda. Jangan berlagak Anda cerdas, tetapi berperilaku kurang waras. Jangan berkata mereka salah tetapi Anda juga tak mampu lebih baik.


Ikut aksi tanpa misi,

demo sana dan disini,

tetapi diam hati nurani,

ketika amanah diemban sendiri tiada perubahan berarti.

Penuhi almari dengan setumpuk prestasi,

buktikan diri mampu berkreasi,

berguna bagi siapa saja yang disayangi,

bukan hanya sekadar cari sensasi.

Refleksikan aksimu

Dengan semangat pantang ragu

Giat berprestasi di tiap denyut nadimu

Disertai tanggung jawab yang tak hanya melagu


Raffa Muhammad

Telecommunication Engineering 2010,

Telkom Institute Of Technology