Halaman

Assalamualaikum, welcome

Sebuah eksplorasi hati...

Sabtu, 10 Agustus 2013

Cinta Realistis

Mencintai itu sederhana, laksana kunci menemukan gemboknya, saling melengkapi, bukan sekadar menemani. Lalu, bagaimanakah caranya?

Dari Bandung beberapa bulan lalu, kabar tentangnya terdengar sayup-sayup. Dia terkena musibah katanya. Ketika hendak ke luar rumah, sebuah kendaraan menyerempetnya. Tersungkur tak berdaya, ia pun menjadi santapan kendaraan di belakangnya. Braaak, orang-orang berlarian panik mendekatinya. Darah bercucuran.

Dia baru beberapa tahun tinggal di rumah itu. Sebuah bangunan sederhana, di lingkungan yang cukup padat. Tidak ada halaman, keluar pintu rumah sudah jalanan. Bersama seorang pujaan hati yang dinikahinya, ia dikaruniai seorang Tara, bayi mungil yang memang memiliki senyum tiada tara. Pagi itu, ia berniat mengemong Tara, tetapi tidak ada yang tahu kapan musibah akan tiba. Dan na'asnya musibah itu menimpanya.

Whatever happens, happens

Dengan kecepatan tinggi yang ada sang pengemudi mengaku khilaf, ia berjanji tanggung jawab. Saat aparat kepolisian pun dilibatkan, namun demi mempercepat urusan akhirnya diambil jalur kekeluargaan. Perlahan makin tak pasti, pihak keluarga tak kunjung mendapat biaya pengobatan yang dijanjikan. Antara iya dan tidak, kepolisian pun tampak tak berdaya, apalagi kasus serupa yang tidak sedikit adanya. Proses lama, berbelit, dan akhirnya pihak keluarga menyerah. I'tikad baik yang disangsikan berujung pemakluman mengetahui sang pengemudi berasal dari keluarga yang tidak cukup berada.

Sementara beberapa pekan koma, dan menjalani serangakaian operasi dan pengobatan, akhirnya kelopak matanya kembali terbuka. Namun apa daya ketika luka yang diderita cukup parah. Hilang ingatan sebagian, dan luka di bagian kaki dan lengan. Jangankan tentang Tara, beberapa keluarganya saja tak lagi ia ingat dalam memori. Seperti sinetron, dan sayangnya ini bukan cerita khayalan yang berakhir selalu bahagia dengan skenario sutradara yang bisa ditebak sebelumnya.

Entah parade cobaan atau justru pintu keselamatan dari Sang Khaliq, sang istri merasa tak ada lagi harapan. Begitu pula keluarga besar yang ternyata sama tak kuasa menerima keadaan. Dan akhirnya jalan itu dipilih, perceraian. Tara tak akan pernah membayangkan memiliki orang tua terpisah sementara ia belum bisa berkata-kata. Hanya sedikit langkah dan tangis sesekali ekspresi yang dimilikinya. 

Ramadhan kali ini alhamdulillah kepulanganku ke kampung halaman bisa mengunjunginya hingga tahu ceritanya pasti. Dia mulai pulih, bisa duduk sendiri di kursi. Namun untuk berjalan masih butuh bantuan. Tidak ada lagi bayangan Tara yang tiba-tiba hilang ketika digendongnya dan dari belakang disambar kendaraan. Atau sang istri yang akhirnya memilih jalan perpisahan dengan alasan ketidakmampuan memberikan kewajiban nafkah lahir batin. 

Banyak yang menyayangkan. Usia muda memang bisa dijadikan ajang aji mumpung. Mumpung masih cantik, masih ada yang tertarik. Mumpung masih muda, janda tidak apalah. Mumpung masih muda, cinta? Sudah kelaut saja.

Tetapi apa sang perempuan sepenuhnya salah? Entahlah. Mungkin cinta yang mereka bangun tidak sekuat film-film romantis. Atau mungkin justru fenomena ini yang realistis. Lalu bagaimana jika ini terjadi denganku atau denganmu kawan? Pengen ga sih dapet pasangan yang susah seneng bareng bukan seneng doank tapi pas susah bye bye sayang..?

Absolutely.

Lalu bagaimana?

Satu diantara nasihat Malaikat Jibril kepada Rasulullah dalam hadist ialah, "Cintailah siapa saja yang engkau senangi namun sesungguhnya engkau PASTI berpisah dengannya"

Dan mungkin makna perpisahan disini bukan hanya perpisahan raga berupa, namun juga kenikmatan lainnya mulai materi, maupun fisik yang bisa tercabut entah perlahan, ataupun seketika. Lalu siapkah kita tetap mencinta? Atau makna realistis membutakan segalanya?




Tara tidak sendiri. Banyak Tara-Tara lain di negeri ini. Namun sedih rasanya ketika tahu dia tetanggaku sendiri


Lumajang, 11 Agustus 2013
3 Ramadhan 1434 H

Raffa Muhammad,

Tidak ada komentar: