Halaman

Assalamualaikum, welcome

Sebuah eksplorasi hati...

Minggu, 06 November 2011

Pentingnya Berorganisasi Sejak Dini


Curhat dikit, saya adalah mahasiswa baru yang dulunya saat sekolah tidak pernah berorganisasi. Mengikuti organisasi atau kepanitiaan ibarat menambah pekerjaan tanpa bayaran. Tidak ada manfaatnya. Buang – buang waktu dan tenaga. Bahkan bisa memicu stres jika jadwal yang padat serta tak bisa membagi waktu dengan tugas tugas yang ada. Itulah pemahaman saya selama ini dan mungkin kebanyakan siswa sekolah. Tapi, benarkah demikian?

Tidak. Menyibukkan diri dalam hal yang demikian ternyata bukan seperti menegakkan benang basah. Telah banyak orang membuktikannya. Melakoni peran-peran sulit dengan jabatan penuh tanggung jawab adalah sebuah investasi diri. Percayalah, suatu saat investasi itu akan terakumulasi sehingga menciptakan diri kita dengan pribadi yang tak pernah kita duga diawal. Kita akan memiliki sesuatu yang tidak akan pernah diajarkan dosen ataupun guru semasa sekolah. Sebaliknya kita akan diajarkan oleh guru terbaik sepanjang hidup kita, yaitu pengalaman.

Pengalaman demi pengalaman akan membentuk pribadi kita ke arah positif. Dari situlah kita akan menguasai apa yang disebut softskill. Softskill adalah kemampuan yang takkan pernah kita dapatkan dari buku, teori ataupun litelatur manapun. Karena hal itu hanya bisa kita petik dengan mencoba, belajar dan melakukan.



Suatu ketika saya mengikuti sebuah seminar dengan pembicara Arya Bima, seorang pemuda yang sebelum terjun di dunia politik sering tampil sebagai pengamat dan pembicara di program parodi rakyat Metro TV dan TV One. Beliau menceritakan alasan mengapa memilih terjun ke dunia politik, menjadi aktor yang kerapkali terjebak dalam sistem kotor hingga menjadi koruptor.

Alasannya sederhana, di usianya yang relatif muda sebagai politikus beliau ingin mendapatkan apapun yang belum pernah didapatkannya selama ini sebagai pengamat politik. Ya, political sofskill. Beliau tidak akan pernah merasakan dijegal lawan politik, pahitnya persaingan politik, memimpin orang lain di dunia politik yang memiliki tujuan beragam. Bukan bermaksud ingin merasakan saja, tapi mendapat kemampuan mengatasi hal semacam itu. Karena menurut beliau, menjadi seorang pemimpin bukan hanya tentang pandai dalam teoritis, tapi juga cakap dan bijak dalam memimpin.

Kita mau tidak mau adalah seorang pemimpin nanti. Lelaki bagi keluarganya. Perempuan bagi pribadinya. Jika tak bisa kita arahkan diri ini menggapai tujuan kita di dalam naungan yang haq tentulah ending kisah kita akan sengsara.

“ Tidak ada pelaut ulung yang dilahirkan dari samudera yang tenang, tapi ia akan dilahirkan dari samudera yang penuh terpaan badai, gelombang dan topan”. (D.Farhan Aulawi)

Masa-masa remaja seringkali disebut masa-masa paling indah. Dan kenyataannyapandangan tersebut seringkali membutakan hati dan mempersempit pemikiran pemuda. Padahal di masa itulahmasa yang paling menentukan kita ke depan. Masa dimana visi ke depan menjadi acuan. Bukannya malah sekadar bersenang-senang. Mari jadikan hari ini adalah impian kita di hari kemarin, dan impian hari ini adalah kenyataan di hari esok.

Tentang berorganisasi hendaknya kita bisa arif. Pilihlah organisasi, himpunan atau kepanitiaan yang bisa memberikan sesuatu kepada kita. Jika bisa malah menjadikan kita lebih mengingatNya seperti Rohis. Tapi sesekali mengikuti yang lain juga boleh tapi tetaplah “Stay On The Line” karena dunia kemahasiswaan rentan akan hal yang malah menjerumuskan kita ke arah negatif.

So, it’s time to learn about professionalism and be the professional. It’s not disco lazy time but chance to be agent of changing. Dunia perkuliahan adalah dunia pembelajaran yang penuh akan kesempatan berorganisasi. Don’t miss it.



Sumber:


1. Hasil Tadabbur di kosan saat gak ada hiburan


2. Hasil PDKT (Pengenalan Dunia Kampus Telekomunikasi) semacam OSPEK di kampus


3. Hasil interview dan pengalaman pribadi

Kamis, 03 November 2011

Ku Petik Rindu Di Setiap Do'amu



Hawa dingin nan beriring. Tak terasa jejak-jejak kaki ini telah lama membumi. Melewati hari demi hari hingga kini seperempat semester tiga telah dilewati. Dan detik demi detik penuh pengorbanan yang silih berganti, takkan hanya menjadi kisah abadi. Ini kisahku. Kisah tentang jiwa yang rapuh. Melewati kehidupan mahasiswa dengan tekad yang masih abu-abu.

Deru semangat di saat itu, masih sayup-sayup terdengar syahdu. Ku kecup tanganmu, dan kurasakan hangatnya kasih sayang diantara bait-bait kata terakhirmu ketika melepasku. “Hati-hati”, seakan itu kata mujarab itu kau ucap dan selalu kuingat dalam memoriku. Mengharap keselamatan, dan tiada hal yang tak diinginkan terjadi kepadaku.

Aku yang rapuh, namun suaramu dari jauh yang selalu menjadi penguat hatiku. Aku tak menemukan kata-kata terbaik tuk melukiskan bahagiaku. Aku mencoba melakukan yang terbaik, untukmu, semua keluarga, dan sahabat yang selalu mendukungku.

Dan ketika langit senja tak lagi cerah, ada kalanya juga diri ini terbelah. Di antara kemalasan yang menjadi, prestasi yang terjal tuk didaki, dan konsistensi yang terus digali, ada harap kalian disana yang selalu percaya padaku. Percaya bahwa tiap tetes keringat yang kau dan ia lakukan untukku takkan sia-sia, sekadar menjadi pelengkap kisah dan tak sedikitpun memberikan asa. Dan ketahuilah, jika hal itu menjadi kenyataan, betapa penyesalan akan tiba. Bahkan mungkin takkan bisa termaafkan diri ini, yang sama saja menjadi beban tanpa memberi sesuatu yang berarti.

Aku memang belum bisa membuatmu bangga, dengan nilai-nilai di atas rata-rata, ataupun selaksa hal positif yang membelalakkan mata. Bahkan, aku lebih sering melagukan keluh nan kesahku ketika lewat senandung manja. Tetapi tak sedikitpun itu membuatmu menolakku ketika menghubungimu.

Aku membelitmu dengan masalah, yang tak bisa ku selesaikan walau diri ini seharusnya bisa lebih bersikap dewasa. Padahal, berkali lipat masalah pasti tlah kau jumpai disana. Duniamu yang membuat duniaku juga ada. Duniamu yang menjadi penyokong duniaku tuk tetap ada. Tetapi tetap, itu tak membuatmu menghindariku.

Dan suatu ketika, petir menyambar dan diri ini terjerembab dalam impian hambar. Aku menyalahkanmu ketika itu. Menyalahkan pilihan yang tlah kita sepakati bersama dan restu yang tlah kau beri untukku. Padahal kau pasti tahu potensiku tak setinggi langit yang ingin kuraih dan tak secepat kilat yang ingin kulangkahi. Tetapi kau tetap mempercayaiku.

Dan diantara sepertiga malam-malam ketika doamu terhempas syahdu, diri ini tetap saja terlelap membatu. Tak sedikitpun kuasa tuk terjaga dan membalas balik doamu kepada-Nya. Dan disana, kau tetap tiada lelah mengirim do’amu. Mengharap Sang Kuasa memberikan diri ini hidayah, dan senantiasa dalam naungan jalan-Nya tuk terhindar dari bahaya. Tiada lelah.



Kontemplasi Hati


Berkalang rasa nan penuh syahdu
Menatap sendu yang temaram mengelebat merdu
Merongrong sunyi ketika sanubari membeku
Hanyut dalam kontemplasi peretas rindu


Berterik mentari, bermalam purnama 
Hati terjerembab, tiada tahu masalah mendekat
Namun secuil kata bersemilir indah
Penyatu kepingan semangat tuk kembali merekat padat


Dan ketika...
Sepertiga malammu menjadi saksi di hadapan-Nya
Dan alunan penuh cinta kau haturkan setulus jiwa
Maka bagaimana diri bisa mendusta,
Bahwa usaha belumlah jua semaksimal yang bisa dilakukan
Namun sejuta keluh kesah yang terlanjur terlontarkan

Kontemplasi hati ini..
Kan buktikan semuanya lebih baik lagi...