Halaman

Assalamualaikum, welcome

Sebuah eksplorasi hati...

Rabu, 02 Februari 2011

Kepada Malam Aku Bercerita

“Kondisimu jauh lebih baik dari Om Marwan dulu le”, ujar nenek tadi sore. Berkali kali memang orang mengatakan itu kepadaku. Dari mulai nenek, tante Yenti, hingga Abi dan Umi. Ya, kondisiku jauh lebih baik. Tak terbelit masalah keuangan, makan pun cukup tak pernah kelaparan, tak sedikitpun perpecahan keluarga yang membayang.

Jika dibandingkan dengan Om Marwan, aku memang jauh. Dia memang langganan juara semasa SMA, melanjutkan tradisi kakak-kakaknya sebelumnya. Dan aku generasi setelahnya, memang di SMA yang sama bersekolah, tak kuasa mengukir sesuatu yang “wah”. Hanya biasa. Bahkan masuk kesana pun hanya sekadar keberuntungan yang tak terkira.

IP semester pertama yang kurang nol koma nol lima mencapai tiga buktinya saat kini kuliah. Aku tidak beruntung, walau sudah berusaha. Dan itulah hasilnya. Kecewa? Tentu iya. Dengan berbagai jaminan fasilitas, aku tak bisa menjalankan peran sesungguhnya. Berbeda dengan mereka, sembari kerja sambilan prestasi masih digenggam tuk dipersembahkan kepada orang tua.

Sebenarnya musuhku hanya satu. Saat keinginan sudah direncanakan digapai, dengan langkah ini dan itu musuh itu datang menyerbu. Aku ingin perbaiki seranganku. Tapi apa daya kala musuhku adalah diriku sendiri.

Saat memenuhi target belajar, tak kuat rasanya. Parah memang. Tak sampai tiga jam, aku pasti sudah KO oleh bosan. Apakah ini sikap pemalas? Entahlah. Tapi saat jelang hari H, seakan penyakit itu lenyap dengan sendirinya.

Konsentrasi bisa penuh berjam jam, tapi apa daya. IQ yang pas-pasan tak mendukung sistem kebut-kebutan seperti ini. Hasilnya takkan maksimal.

Andai aku pandai pasti aku bisa. Belajar berkualitas tanpa cepat bosan ataupun terserang kantuk hingga hasilnya pun memuaskan. Jadilah tak perlu sering apalagi dengan prekuensi tinggi. Jadilah itu belajar cerdas, bukan belajar keras.

Tapi IQ pas-pasan ini menjadi kendala tersendiri. Jadilah hanya bisa belajar keras.

“Sudah malas, bodoh pula.” Parah kali itu kata-kata. Jika malas tapi pandai, bolehlah. Tapi ini, bagaimanakah?

Setidaknya aku ingin, “walau bodoh masih [agak] rajin”. Karena terdengar masih mending. hehehe

Tapi bagaimana bisa rajin jika belajar tak kurang dari 2 jam saja udah nggak tahan. Ada saja yang jadi ganjalan.

Aku iri dengan banyak kawan. Misal, sepupuku yang tahan belajar habis maghrib hingga jam sepuluh malam. Itupun sore masih ikutan beljar di les-lesan. Dia tahan berjam-jam di depan buku pelajaran. Hasilnya pun menggembirakan, hingga pernah menang olimpiade matematika tingkat kabupaten.

Bayangkan. Itulah kekuatan konsistensi pikiran. Dan aku tak memilikinya.

Tapi, bukan kamusku jika menyerah dengan keadaan yang ada. “Tak ada yang sia-sia”, sama seperti kata kakak mentorku tercinta. Semester lalu sudah ku buktikan walau masih belum bisa jadi bukti nyata.

Matematika yang dulu sewaktu SMA selalu (baca always) remedi, kemarin sudah mulai bertemu titik terang hingga dapat B di semester pertama kuliah. Ajaiblah, apalagi itu jauh lebih murni dari hasil SMA. Walau jika lebih giat lagi nilai A bukan sekadar wacana.

Ah sudahlah. Harus lebih baik semester depan. Kemarin sempat patah arang hingga merengek ingin diberi opsi ikut kembali ujian STAN. Tapi penyakit lainku masih ada, "Suka padahal tak Bisa". Beda dengan kebanyakan orang yang menyukai sesuatu dimana mereka ahli di dalamnya. Bahkan ikut olimpiade fisika, tak pernah menang dan hanya partisipan juga masih tetap saja "suka". Jadilah STAN hanya tak lebih dari rencana orang tua, karena aku telah terlanjur suka di bidang ini.

Ku tutup ceritaku kepada malam dengan asa indah. Yang tak hanya di pelupuk mata, tapi hingga ke hati biar selalu terjaga.



Lumajang, 2 Februari 2011


Catatan Aneh Sebelum Kembali Ke Tanah Perantauan

Selasa, 01 Februari 2011

Hari Ini Ku Lepaskan Kau Dari Hatiku


Uraian Fiksi.

Terinspirasi Sebuah Lomba Yang Tak Jadi Ku Ikuti.

30 Januari dini hari, aku terbangun sama seperti dua tahun belakangan ini. Entah karena kalender di telepon genggamku yang terlanjur ku set untuk mengingatkan diri, atau mungkin aku yang terlalu munafik untuk mengakui masih saja ada rasa itu di hati.

Pikiranku sendiri tak bisa bertoleransi dengan janjiku pada diri sendiri ketika pesan pesan singkatmu yang perlahan ku baca ulang. Entah sudah berapa lama itu ku simpan. Tanpa tujuan. Tapi aku ingat momen itu, saat tiap bunyi pesan darimu di selalu ku tunggu. Dag Dig Dug...

“Aku tak berubah, sama seperti dulu”, ungkapmu kala itu. Aku hanya bisa membaca pesan singkatmu itu dengan senyum. Dingin malam yang menusuk pula membangkitkan kerinduan lama yang sudah ranum.

"Aku malah sudah berubah”, balasku saat itu. Ya, aku memang berubah, tapi tak sepenuhnya berubah. Seperti Surabaya yang selalu saja kau anggap indah kala petang menyapa. Akan tetap Surabaya walau polusi udara merenggut udara segarnya.

Perubahanku, aku membanggakannya. Walau terbesit di benakku akan keraguanmu dari nada rangkaian indah kata-kata. “Maaf aku sok tahu”, entah berapa kali ku ucap itu kepadamu. Aku memang tak seperti dulu, selalu aktif mencari kabarmu tuk selalu berusaha ada saat kau butuh. Dari teman-teman dekatmu, ataupun status facebook milikmu, selalu ku dapati info terbaru. Dengan itu, aku punya alasan menghubungimu. Tidak hanya sekadar basa basi menanyakan kabar terbaru. Tapi untuk meringankan beban pikiranmu, walau aku pun tahu sepatah kata dari pesanku tak cukup berarti untukmu.

Tapi sejujurnya, dari semua itu aku ingin menemuimu. Setidaknya niat kecil itu terbesit kala ku langkahkan kakiku menyusuri stasiun dengan sendu. Namun hingga saat terakhir liburanku, aku tak bisa mengatakan itu kepadamu. Jangankan mengajakmu bertemu, sikapmu yang mendingin saja sudah membuat lidahku kelu. Tapi aku tak ingin banyak mengeluh. Aku tahu, mungkin takdir tak membuat rasaku ini menjadi rasamu.

Hari ini, ku lepaskan kau dari hatiku.


--------------------

“Fa, kamu sekarang ama siapa?”, berbagai pertanyaan yang kerap kali mengganggu. Mengganggu, karena akan mengingatkanku pada dirimu. Menelisik kenangan lama yang telah kau isyaratkan tuk kau tutupi dengan kenangan barumu yang mungkin jauh lebih indah. Indah? Aku hanya bisa menerka. Tatkala dirimu yang tak lagi terbuka, bagaimana aku tahu hatimu sedang terluka.

“Bukannya kamu sedang dekat sama si anu, si itu ...” , begitu ucapan penolakanmu dua tahun silam kau ungkapkan. Padahal sudah jelas, tanpa secercah kesangsian yang menggilas tiap kata yang ku retas. Tapi tidak bagimu.

“Fa, kamu pulang sama siapa?”

“Sendirian”

“Boleh nebeng ya...”

“Hmm, gimana ya.. Baiklah”

Percakapan yang seringkali menghadangku. Dan kau pasti tahu aku tak kuasa menolak permintaan bantuan teman-temanku. Walau aku selalu berharap kau tak pernah melihatku jika begitu. Kau tahu itu, atau mungkin memang tak sekalipun mau tahu. Entahlah. Tapi tahukah kau saat itu? Aku hanya tak ingin dianggap baik hanya kepadamu, hanya karena kau adalah yang spesial di hatiku.

Mereka teman-temanku. Dan aku tak ingin mereka kehilanganku hanya karenamu.

Dan itulah juga kenapa hari ini, ku lepaskan kau dari hatiku.

Aku ingin seperti Pras, tokoh dalam novel Istana Kedua karya Asma Nadia. Tahukah kau, dia tak pernah jatuh cinta. Atau boleh dikatakan setidaknya dia membelenggu hatinya untuk memiliki rasa indah. Bahkan dikisahkan diapun hingga dianggap kuno oleh rekan di kampusnya. Padahal tujuannya satu, tujuan mulia dengan penuh pengorbanan di dalamnya. Dia menyadari betul sulitnya bersikap setia. Karenanya, dia putuskan cinta pertamanya hanya untuk pendamping hidupnya. Agar tak terbesit sisa-sisa rasa dengan yang lain di luar sana.

Awalnya aku tak kuasa mengikuti jejak Pras. Dia membukukan tiap untaian cintanya, bait-bait indah dari rasa kepada seseorang yang tidaklah tahu siapa dan dimana. Hingga tiba saatnya, buku itu diserahkan pada permaisuri yang dipinangnya. Buku itupun menjadi saksi setianya.

Aku terlanjur, memiliki rasa ini untukmu. Itu masalah utamaku. Bagaimana mencegah keterlanjuran itu?

Pras memang tak lebih dari tokoh novel. Yang ada dalam sebuah imajinasi keren. Tapi tidak. Dimana pun Pangeran harus melawan sesuatu yang jahat sebelum menyelamatkan Puteri idamannya. Dan jika sesuatu yang jahat itu adalah diriku sendiri aku pun rela untuk itu. Termasuk jika rasa kepadamu itulah yang harus ku lucuti dengan nyanyian kebangkitanku.

“Aku ingin seperti Pras. Bukan karena dia memilih istana kedua, tapi dia hanya membuat kata-kata indah penuh cinta hanya tuk seorang saja”, itu yang ada di benakku saat membaca novel itu.

Dan tahukah kau, aku memang sudah berubah. Keinginanku, adalah kamus dalam prinsipku yang akan ku ikuti selagi maut belum jua merenggut waktuku.

Karena itu, hari ini ku lepaskan kau dari hatiku.