Jika dibandingkan dengan Om Marwan, aku memang jauh. Dia memang langganan juara semasa SMA, melanjutkan tradisi kakak-kakaknya sebelumnya. Dan aku generasi setelahnya, memang di SMA yang sama bersekolah, tak kuasa mengukir sesuatu yang “wah”. Hanya biasa. Bahkan masuk kesana pun hanya sekadar keberuntungan yang tak terkira.
IP semester pertama yang kurang nol koma nol lima mencapai tiga buktinya saat kini kuliah. Aku tidak beruntung, walau sudah berusaha. Dan itulah hasilnya. Kecewa? Tentu iya. Dengan berbagai jaminan fasilitas, aku tak bisa menjalankan peran sesungguhnya. Berbeda dengan mereka, sembari kerja sambilan prestasi masih digenggam tuk dipersembahkan kepada orang tua.
Sebenarnya musuhku hanya satu. Saat keinginan sudah direncanakan digapai, dengan langkah ini dan itu musuh itu datang menyerbu. Aku ingin perbaiki seranganku. Tapi apa daya kala musuhku adalah diriku sendiri.
Saat memenuhi target belajar, tak kuat rasanya. Parah memang. Tak sampai tiga jam, aku pasti sudah KO oleh bosan. Apakah ini sikap pemalas? Entahlah. Tapi saat jelang hari H, seakan penyakit itu lenyap dengan sendirinya.
Konsentrasi bisa penuh berjam jam, tapi apa daya. IQ yang pas-pasan tak mendukung sistem kebut-kebutan seperti ini. Hasilnya takkan maksimal.
Andai aku pandai pasti aku bisa. Belajar berkualitas tanpa cepat bosan ataupun terserang kantuk hingga hasilnya pun memuaskan. Jadilah tak perlu sering apalagi dengan prekuensi tinggi. Jadilah itu belajar cerdas, bukan belajar keras.
Tapi IQ pas-pasan ini menjadi kendala tersendiri. Jadilah hanya bisa belajar keras.
“Sudah malas, bodoh pula.” Parah kali itu kata-kata. Jika malas tapi pandai, bolehlah. Tapi ini, bagaimanakah?
Setidaknya aku ingin, “walau bodoh masih [agak] rajin”. Karena terdengar masih mending. hehehe
Tapi bagaimana bisa rajin jika belajar tak kurang dari 2 jam saja udah nggak tahan. Ada saja yang jadi ganjalan.
Aku iri dengan banyak kawan. Misal, sepupuku yang tahan belajar habis maghrib hingga jam sepuluh malam. Itupun sore masih ikutan beljar di les-lesan. Dia tahan berjam-jam di depan buku pelajaran. Hasilnya pun menggembirakan, hingga pernah menang olimpiade matematika tingkat kabupaten.
Bayangkan. Itulah kekuatan konsistensi pikiran. Dan aku tak memilikinya.
Tapi, bukan kamusku jika menyerah dengan keadaan yang ada. “Tak ada yang sia-sia”, sama seperti kata kakak mentorku tercinta. Semester lalu sudah ku buktikan walau masih belum bisa jadi bukti nyata.
Matematika yang dulu sewaktu SMA selalu (baca always) remedi, kemarin sudah mulai bertemu titik terang hingga dapat B di semester pertama kuliah. Ajaiblah, apalagi itu jauh lebih murni dari hasil SMA. Walau jika lebih giat lagi nilai A bukan sekadar wacana.
Ah sudahlah. Harus lebih baik semester depan. Kemarin sempat patah arang hingga merengek ingin diberi opsi ikut kembali ujian STAN. Tapi penyakit lainku masih ada, "Suka padahal tak Bisa". Beda dengan kebanyakan orang yang menyukai sesuatu dimana mereka ahli di dalamnya. Bahkan ikut olimpiade fisika, tak pernah menang dan hanya partisipan juga masih tetap saja "suka". Jadilah STAN hanya tak lebih dari rencana orang tua, karena aku telah terlanjur suka di bidang ini.
Ku tutup ceritaku kepada malam dengan asa indah. Yang tak hanya di pelupuk mata, tapi hingga ke hati biar selalu terjaga.
Lumajang, 2 Februari 2011
Catatan Aneh Sebelum Kembali Ke Tanah Perantauan
“Sudah malas, bodoh pula.” Parah kali itu kata-kata. Jika malas tapi pandai, bolehlah. Tapi ini, bagaimanakah?
Setidaknya aku ingin, “walau bodoh masih [agak] rajin”. Karena terdengar masih mending. hehehe
Tapi bagaimana bisa rajin jika belajar tak kurang dari 2 jam saja udah nggak tahan. Ada saja yang jadi ganjalan.
Aku iri dengan banyak kawan. Misal, sepupuku yang tahan belajar habis maghrib hingga jam sepuluh malam. Itupun sore masih ikutan beljar di les-lesan. Dia tahan berjam-jam di depan buku pelajaran. Hasilnya pun menggembirakan, hingga pernah menang olimpiade matematika tingkat kabupaten.
Bayangkan. Itulah kekuatan konsistensi pikiran. Dan aku tak memilikinya.
Tapi, bukan kamusku jika menyerah dengan keadaan yang ada. “Tak ada yang sia-sia”, sama seperti kata kakak mentorku tercinta. Semester lalu sudah ku buktikan walau masih belum bisa jadi bukti nyata.
Matematika yang dulu sewaktu SMA selalu (baca always) remedi, kemarin sudah mulai bertemu titik terang hingga dapat B di semester pertama kuliah. Ajaiblah, apalagi itu jauh lebih murni dari hasil SMA. Walau jika lebih giat lagi nilai A bukan sekadar wacana.
Ah sudahlah. Harus lebih baik semester depan. Kemarin sempat patah arang hingga merengek ingin diberi opsi ikut kembali ujian STAN. Tapi penyakit lainku masih ada, "Suka padahal tak Bisa". Beda dengan kebanyakan orang yang menyukai sesuatu dimana mereka ahli di dalamnya. Bahkan ikut olimpiade fisika, tak pernah menang dan hanya partisipan juga masih tetap saja "suka". Jadilah STAN hanya tak lebih dari rencana orang tua, karena aku telah terlanjur suka di bidang ini.
Ku tutup ceritaku kepada malam dengan asa indah. Yang tak hanya di pelupuk mata, tapi hingga ke hati biar selalu terjaga.
Lumajang, 2 Februari 2011
Catatan Aneh Sebelum Kembali Ke Tanah Perantauan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar