Halaman

Assalamualaikum, welcome

Sebuah eksplorasi hati...

Selasa, 21 Desember 2010

Andai Ada Hari Ayah


Hari Ibu adalah hari ini, tepat di 22 Desember. Mungkin sangat berkesan sekali sosok ibu di benaknya. Sangat berkesan. Jauh berbeda dengan Ayah. Jadi apalah arti Ayah andai ada hari Ayah untuknya. Ayah. Hanya sebatas sebutankah atau hanya gelar? Apa semua Ayah pantas menjadi Ayah?



Sebut saja Rasyid, bocah kelas lima SD yang kebetulan sering mengaji bersamaku dan mampir ke kosku juga. Ketika itu, untuk ke sekian kalinya dia datang. Dan entah mengapa dia akhirnya menceritakan kisah yang menurutku hanya ada dalam sinetron.

“Aku kangen dengan adikku kak”, ucapnya lirih.

“Kakak juga. Memang adikmu dimana? Kok nggak kamu kunjungi saja?”

“Tapi adikku sedang bersama Ayah kak. Dan Ibu nggak mau kembali ke sana”.

Aku heran. Apa salahnya jika bersama Ayah? Sebegitu menakutkankah sosok Ayah baginya? Sementara dia pun melanjutkan kisahnya. Kisah yang sebelumnya belum pantas diketahui anak seumurannya. Tapi apa daya. Siapa yang mau ia salahkan? Dia hanya rindu adiknya, bukan Ayahnya.

Dari ceritanya, dia ternyata datang ke Bandung di bulan yang sama denganku yaitu Agustus. Asalnya dari Lampung. Anehnya, dia sudah mahir berbahasa sunda, hingga saat ngaji pun kadang mengucap “fa” jadi “pa” seperti kebanyakan orang sunda. Disini memang banyak anak kecil. Dan ia sering bermain dengan mereka. Sekali lagi hanya satu alasannya. Rindu kepada adik dan teman sebayanya, bukan lagi kepada Ayah.

“Tapi adik saya mungkin diajari yang nggak baik sama Ayah kak, itu masalahnya”, akunya polos.

Dari situlah kisah sebenarnya terungkap jua. Mengenai alasan kepindahannya ke Bandung, yang dengan sengaja meninggalkan adik perempuannya yang cantik itu nan jauh disana. Alasannya terpaksa. Ya terpaksa, bagaimana tidak dia meninggalkan adik yang sangat disayanginya nan jauh disana.

“Ketika itu Ayah marah Kak, sepulang Ibu, saya dan adik dari pasar. Ayah sedang mabuk. Bau minuman keras. Dia menuduh Ibu dari hotel. Lantas dia pukuli Ibu dan memarahinya”.

Mataku terbelalak ketika itu. Tak bisa juga menghela napas, mendengar celotehan Rasyid tentang Ayahnya. Dari mata bocah ini ternyata tersimpan kenangan kekerasan dan kepedihan yang begitu nyata. Aku pun tak berniat menanyakan maksud dari hotel itu apa. Aku tahu jika aku menjadi dia aku pasti mencari tahu mengapa hanya dituduh dari hotel saja lantas dipukuli. Dan itu tak baik untuk diketahui anak seumurannya.

“Lalu ?”

“Saat dini hari Ibu membangunkan saya kak. “Ayo ikut Ibu ke suatu tempat”, katanya. Saat Ayah dan Adik juga terlelap. Memar-memar Ibu pun masih ada. Ibu mengajak saya pergi hingga ke Bandung sini”.

Mengapa kabur? Niat hati ingin menanyakan ini, tapi bisa dipastikan sosok Ayah yang sedemikian rupa hingga ditakuti sang Ibu pastilah sudah berkali kali melakukan kekerasan. Bisa diyakini pula, Ibu pun sudah tak kuat lagi. Apalagi saat ditanya mengapa tidak kembali kesana dan mengajak serta adik, Rasyid hanya berkata, “Ibu sudah tak mau lagi menginjakkan kaki disana kak”.

‘Nah bagaimana adikmu?”, tanyaku penasaran.

“Adik ditinggal kak. Dia masih kecil dan terlelap tidur. Saat itu aku bilang ke Ibu, “ Bu, adik gimana? Masak ditinggal?” dan ia hanya hanya menjawab, “Kasihan, adikmu masih kecil dan sedang tidur”. Aku nggak tahu jika akan diajak pindah, cuma dikira hanya pergi ke suatu tempat saja”.

Memang, menurutku untuk membawa anak sekecil Rasyid saja mungkin sudah sulit, bagaimana bisa membawa balita. Sangat beresiko.

“Moga aja, nenek bisa menjaga adik ya kak”.

Aku mengangguk. Juga tak langsung tersentak yang mengingatkanku pada sosok adik-adikku yang manis di rumah. Aku juga kangen mereka. Kangen sekali.

“Mengapa Ayah bisa sejahat itu Kak?”, tanya dia.

Aku terdiam sejenak. Ingin hati ini merangkaikan kata dan mengucap bahwa tak semua Ayah begitu adanya. Tapi itu hanya akan membuat dia membenci sosok Ayahnya, menanamkan rasa iri dalam hatinya kepada Ayah-Ayah yang lain dan mungkin mendendam. Aku tak mau itu.

“Rasyid, kakak tahu kamu kangen banget sama adik kamu. Mungkin jauh lebih kangen daripada rasa kangen kakak ke adik-adik kakak sendiri. Tapi kamu harus tahu satu hal, dan kamu harus ingat ini”.

“Apa itu kak”

“Kamu tahu nggak mengapa kamu diajak Ibu kesini. Mengapa tidak Ibu kamu pergi sendiri saja?”

“Mengapa?”

“Karena kamu adalah harapan Ibumu. Kamu yang dia harap bisa mewakili dia mengambil kembali adik. Mungkin Ibu kamu sudah tidak kuat lagi Ras”.

“Tapi saya masih kecil kak”.

“Kakak tahu. Kamu belum bisa apa-apa sekarang. Karena itu cepatlah dewasa dan rajinlah belajar. Kakak yakin suatu saat nanti tiba saatnya kamu mengambil kembali adik kamu. Adik kamu pasti sangat kangen sama kakak sepertimu. Apalagi kakak laki-laki yang sayang kepadanya sepertimu”.

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mataku sudah cukup berkaca-kaca. Aku pun tak mau sok bijak. Entah mengapa, malam itu sendu sekali suasananya. Aku pun menyuruhnya pulang karena sudah terlalu larut. Berlanjut, aku pun terpaku dalam lamunan kisahnya.

“Ayah, aku beruntung terlahir sebagai anakmu. Tanpa kehedakNya agar kau nikahi Ibu, aku tak ada. Apalagi memiliki Ayah sebaik dirimu, yang rela membanting tulang sedemikian rupa untuk anak-anakmu”, pikirku.

Aku tak berharap Rasyid memikirkan hal yang sama. Sosok Ayah kami berbeda. Jauh berbeda. Andai ada Hari Ayah, mungkin hanya akan menyakitinya. Membuka kenangan pahitnya tentang Ayah. Mempertebal rindunya kepada adiknya.

“Rasyid andai ada hari ayah, apakah yang kau pikirkan kawan?”.

Aku tak bisa berbuat banyak untuk membantu. Hanya satu hal, menemaninya sebagai murobbi di TPA. Itu saja. Ya Allah mudahkanlah jalan anak ini. Juga jalanku tuk senantiasa bersama naunganMu. Amien.




Sabtu, 27 November 2010

Masih Iseng Isengkah Menulis?


Iseng-iseng, itulah kata-kata yang ku gunakan tuk menjawab pertanyaan Kak Edo Segara dalam Workshop dan Training Jurnalistik di IT Telkom Bandung yang berujung hadiah buku yang bertitel “Menulis, Tradisi Intelektual Muslim”. Buku itu berisi banyak motif para penulis mengenai alasan mereka untuk menulis, dengan berbagai sudut pandang. Yang paling mengejutkan bagiku adalah karya dalam buku itu yang sudah tak asing lagi, termasuk beberapa penulis yang sering disebut Kak Edo. Ya, mereka adalah pengguna Multiply tempatku bernaung tuk belajar menulis selama ini. Sebut saja Kak Helvy Tiana Rosa dan Akhi Dirman Al Amin. Percaya atau tidak saya baru tahu mereka telah menelurkan karya mereka ke penerbit hingga karyanya masuk toko buku. Saking jarangnya ke toko buku sampe nggak tahu hehehe

“Jika berawal dari sekedar iseng-iseng hasilnya juga akan iseng-iseng. Cobalah untuk serius”, seru Kak Edo menambahkan. Tapi memang itu faktanya, saya sekalipun tak memiliki obsesi ataupun mimpi untuk memulai belajar tentang dunia tulis menulis. Menulis itupun hanya berawal dari sebuah keinginan mendownload musik gratis di Multiply. Saat itu Multiply adalah situs yang sangat lengkap dengan koleksi lagu MP3 terbaru sebelum akhirnya dibersihkan semua karena pihak pengelola tidak mau dianggap mendukung pembajakan. Pembersihan itupun menggiring saya melihat berbagai sisi lain Multiply yang ternyata memiliki komunitas blogging besar. Dari situlah awal saya belajar menulis, belajar dari para MP’ers lain, sebutan untuk pengguna Multiply yang notabene berasal dari berbagai kalangan.

Ya iseng-iseng saja, apakah itu salah? Tak ada yang salah dari sebuah keisengan. Tapi jikalau keisengan itu bisa diubah menjadi sebuah keseriusan tentulah akan lebih bermanfaat bagi kita. Kak Edo dalam materinya menuturkan keisengan hanya motif yang dilakukan untuk mengisi waktu luang, dalam artian menulis tuk sekadar main main.

Tapi sebagai penulis awam tentunya menulis bukanlah sesuatu yang mudah. Adakalanya inspirasi datang di saat tertentu saja. Misalkan pada saya sendiri, untuk membuat sebuah karya yang saya anggap my best entah berupa opini, puisi ataupun prosa hanya bisa di kondisi tertentu. Misalkan jika karya yang ingin dibuat tentunya bertema kesedihan, rindu, pokoknya mellow harus dibuat di suasana hening, dingin, lapar atau sedang merasakan rindu ataupun sedih yang teramat sangat. Pernah kala SMA dulu saat merasakan patah hati maklumlah anak muda hehehe, produktifitas berpuitis ria justru naik.

Hal ini sangat miris, mengingat seharusnya penulis harus bisa mengimajinasikan apa yang ada di benaknya dan menuangkannya dalam sebuah karya. Tapi saya pun hanya selevel penulis “on mood”. Jika dipaksakan untuk membuat karya di momen yang tidak sesuai, hasilnya pun tak seperti harapan. Pernah tujuan awal ingin membuat puisi kesedihan tentang bencana, malah berujung puisi bersemangat.

Mungkin di dunia ini juga ada yang mengalami hal seperti saya, tapi boleh jadi hanya saya yang agak nyeleneh dalam merasakan hal ini. Tapi dalam Workshop Ahad kemarin saya sudah menemukan jawabannya. Pembicara kedua dalam Workshop adalah Dedi Setiawan, ketua FLP Bandung yang menyambung pemberian motivasi menulis oleh Kak Edo.

Jawabannya adalah mengenai niat awal. Niat iseng-iseng tadilah yang bermasalah. Memang sebenarnya, iseng iseng ataupun serius akan sama-sama menghasilkan karya. Namun jika dibandingkan hasilnya akan berbeda pada satu hal, yaitu kualitas. Totalitas dalam berkarya akan menghasilkan sesuatu yang maksimal atau bisa disebut terbaik dari kita. Mungkin tak pernah terlintas dalam benak kita bagaimana bentuk karya terbaik kita, yang mana ataupun kapan bisa kita dapati. Jawabnya satu, saat kita sudah berani, mau dan berkemauan menulis tuk menghasilkan karya terbaik kita.
Jangan terlalu tinggi, kuatkan pondasi… perlahan tapi pasti… merayap dan naik tanpa sangsi..
Siapapun kita entah kita mengakuinya atau tidak, kita adalah penulis. Sejak kecil menulis adalah rutinitas yang kita kerjakan. Mungkin hanya mayat yang tersisa, tulang belulang yang terkubur, dan do’a sanak famili yang mengalir kala kita tlah tiada. Tapi karya kita kan tetap ada. Menembus waktu yang tak mungkin kita tembus. Melewati gerbang yang tak bisa kita buka.


Sebuah catatan kecil dari Workshop dan Pelatihan Jurnalistik
Raffa Muhammad

Kamis, 25 November 2010

Kapankah Bisa Seperti Itu?


Baru saja membaca beberapa Ebook lama yang belum sempat terbaca. Kebetulan kebanyakan adalah karya Kak Asma Nadia. Rentetan kata demi kata yang tersusun indah dibalut dengan hikmah yang tersirat ataupun tersurat di dalamnya memang bisa menghipnotis pembacanya.

Sempat terlintas di benak, kapan ya jari jemari ini bisa memainkan keyboard komputer tuk menghasilkan rangkaian indah semacam itu. Mungkin teman-teman pasti pernah mengalaminya. Memang, terkesan sekali jika rasa minder boleh jadi bergelayut karena selama ini belum bisa memenuhi harapan diri sendiri.

"Kapankah Bisa Seperti Itu?"

Aku pernah mengalaminya beberapa hari ini. Jujur saja. Tak bisa dipungkiri ataupun disangkal. Bahkan tak ada alasan untuk itu. Memang, menikmati karya orang lain bisa menginspirasi, memotivasi dan menabuhkan genderang kepada syaraf otak tuk segera merangai kata secara kreatif. Tapi kadangkala, bisa saja sebaliknya. Sebut saja ketika hendak mengikuti sebuah acara kompetisi menulis, seperti Lomba Cipta Puisi, Flash Fiction atau sekadar mengikuti Arisan Kata Multiply.

Melihat hasil karya orang lain sebelum menghasilkan karya memang sebuah opsi. Tapi seperti tadi, terhipnotis olehnya bisa mengendurkan semangat pula karena salah menyikapi. Salah? Dimanakah letak kesalahan itu?

Saya akan mencoba mengilustrasikan. Sheila On 7 adalah band yang telah ada sejak zaman 90'an dan telah menjadi salah satu band fenomenal yang banyak menginspirasi musisi lain. Tapi pernahkah kita membayangkan seandainya semua calon musisi yang terhipnotis lirik dan lagu-lagu indah S07 memilih mengurungkan niatnya berkarya hanya karena belum merasa selevel dengan mereka tuk memasuki dapur rekaman? Apa jadinya bila itu terjadi? Bisa dibayangkan tak akan ada karya lain lagi hingga sekarang. Semua berpendapat dialah yang terbaik, lalu buat apa berkarya lagi. Membuat sesuatu yang di bawah level hanya akan mempermalukan diri sendiri.

Tapi apa yang membuat mereka (calon musisi yang terhipnotis S07) tetap berkarya meski tidak ada jaminan penerimaan oleh publik? Jawabnya adalah karena mereka tidak berpikir "Kapankah bisa seperti itu", tetapi justru berprinsip "Inilah Giliranku". Tak sepeduli setenar apapun idola mereka, mereka terus berkarya dengan cara, gaya dan jalan mereka masing-masing.

"Inilah giliranku"

Begitu pula dengan karya tulis-menulis ataupun yang lainnya. Jika masih ada pemikiran "Kapankah bisa seperti itu" di dalam diri, sekalipun telah terpatri dalam relung hati tapi marilah kita sholat berjamaah. Nah lho. Marilah kita ubah sedikit demi sedikit pola pemikiran kita. Saya menyebut kita disini, karena saya sendiri juga kadangkala mengalami fenomena yang sama. Saya menuliskan ini bukan karena saya merasa hebat, sok tahu, ataupun karena saya pun bukan siapa siapa. Makhluk ingusan yang masih perlu banyak belajar dari Anda

"Dunia Pasti Berputar"

Dunia pasti berputar, ibarat roda yang membuat kita kadangkala bisa berada di bawah ataupun di atas. Ibarat giliran pada kita sebagai penikmat sebuah karya, pasti ada giliran kita sesekali berperan sebagai pembuat karya tuk bisa dinikmati orang lain. Tapi kapan giliran itu tiba? Jika saat membaca ini Anda masih bisa merasakan bernafas, menghirup oksigen memasuki tubuh Anda secara segar di saat itulah kesempatan Anda memulai. Saya merasakan kesempatan itu, karenanya saya menulis ini.

Tak peduli bagaimana jenis karya tulisan kita, juga gaya rangkaian kata yang kita hasilkan. Ketahuilah kita memiliki ciri khas masing-masing. Seperti namanya itulah sesuatu yang khas. Tak bisa dicari di orang lain. Jikalau mirip pastilah ada sedikit perbedaan yang dijumpai jika ditelaah lebih lanjut.

Apakah salah mengadopsi ciri khas orang lain? Tidak ada yang salah dengan itu. Mengadopsi pun tak ada jaminan tuk menghasilkan sesuatu yang sama, karena jika karya yang dihasilkan memang dari hati pastilah ada perbedaan. Tapi perlu dicatat sesuatu yang sama pasti akan selalu dibandingkan orang lain.

Abiku selalu mengagumi gaya menyanyi Ridho Rhoma. Beliau memang penggemar dangdut sejak dulu. Pernah aku bertanya mengapa mengagumi Ridho? Ridho adalah sosok yang memilih gayanya sendiri dan berani untuk melakukannya. Memang, tak ada kesalahan bilamana Ridho menyanyi dangdut layaknya sang Ayahanda karena memang Bang Rhoma adalah Raja Dangdut yang fenomenal dan menginspirasi banyak pedangdut, apalagi Ridho adalah anaknya sendiri. Tapi dia lebih memilih berspekulasi menggunakan gaya Dangdut-Pop. Itulah yang membuat Abiku kagum.

"Menjadi Diri Sendiri Itulah yang Terbaik"

Sebuah jargon lawas memang, menjadi diri sendiri itulah yang terbaik. Yang perlu dicermati, bukan bagaimanakah diri kita sendiri yang kita idamkan, karena kita yakinlah bahwa kita sedang melangkah tuk menemuinya. Maka ayolah tetap melangkah dalam kepercayaan dan perjuangan tinggi.









Raffa Muhammad

Sabtu, 06 November 2010

Pedoman Sederhana Memasuki Dunia Perkuliahan


Memasuki dunia perkuliahan ibarat memasuki mall, hypermarket atau semacamnya. Berbagai macam hal akan kita jumpai, berbagai kalangan kan kita temui, berbagai halangan kan kita dapati. Segalanya ada. Tergantung kita bagaimana memilih. Memang banyak yang negatif, tapi tak sedikit yang positif.

Bersyukurlah jika kita termasuk orang yang bisa menuntut ilmu di bangku perkuliahan yang jauh dari tempat kita berasal. Disitulah masa terindah kan rasakan. Masa – masa awal dimana kita merasakan kebebasan, sekaligus masa – masa dimana tanggung jawab besar berada di pundak kita. Di saat inilah takkan ada lagi orang tua yang selalu mengingatkan, membantu dan mengarahkan kita. Bahkan bagi yang kuliah di kota besar, tak kan banyak lagi didapati teman yang bisa menjadi sahabat yang bisa mengingatkan di kala suka, dan pelipur di kala lara. 

Dosenpun jauh berbeda dengan guru yang biasa kita temui di sekolah yang mana cenderung lebih “care” terhadap anak didiknya.

Lalu bagaimanakah harusnya kita melangkah?

Jika dirujuk dalam sebuah hadist
Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya (perbuatan baik) akan menghapusnya (perbuatan buruk). Dan berperilakulah terhadap sesama manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad dan al Tirmidzi, beliau menghasankannya).

Jadi our future is really on our hand. Semuanya bergantung pada kita. Menjadi sosok seperti Azzam dalam film(bukan sinetron)KCB yang cerdas, sukses tetapi tetap tawadhu’ bukanlah hal yang impossible. Tinggal kita apakah mau memilah dan memilih apa yang baik bagi kita sesuai tuntunanNya.

Segala kekhawatiran termasuk di dalamnya tentang pergaulan di kota yang cenderung “bebas” akan sirna. Biarlah pergaulan mereka tak Islami. Jadikan diri lebih Islami dulu hingga nanti siap tuk membuat perubahan terhadap yang kurang Islami.

Tapi ingatlah satu hal, tetaplah waspada dan waspada. Sebelum saya berangkat ke Bandung tuk kuliah kedua nenek saya dari tempat yang berbeda mengingatkan satu hal yang sama. Agar berhati-hati terhadap wanita. Agaknya lirik lagu The Changcuters “Wanita racun dunia, karena dia bisa butakan semua” benar adanya. Mungkin nenek saya telah menyadari beliau pun pernah menjadi racun bagi kakek saya dulu hehehe

Penampilan bisa menipu. Tutur kata bisa menghasud. Tingkah laku bisa mengelabui. Tapi semuanya jangan menghentikan langkah tuk selalu khusnudzon terhadap orang lain. Tetap ramah, arif dan suka membantu. Insya Allah akan dimudahkan jalan kita menuntut ilmu di tanah perantauan, tanah orang, daerah yang asing dengan keseharian kita.

Selain itu, tetap harus kita evaluasi perjalanan kita. Tentunya sebelumnya harus ada target. Jangan tanggung-tanggung, targetkan “cumlaude” mengingat persaingan di dunia kerja makin sengit. Analisislah ada target yang belum tercapai ataupun target yang tercapai atau bahkan melebihi target sembari menyempurnakan langkah tuk mencapai target itu. Semua itulah pandangan visioner yang paling membedakan mahasiswa dan siswa.

“Jangan bangga dapat IPK tinggi tanpa pemahaman tinggi pula”. Begitulah kata-kata yang pernah ku baca. Memang saat mahasiswa semuanya berbeda karena tanggung jawab kita makin besar. Sedikit saja kurang pemahaman bisa jadi mendzolimi diri kita dan orang lain karena aplikasi dari ilmu yang kita dapatkan akan diuji dengan pekerjaan yang kita nanti. Ibarat dokter yang melakukan malpraktek, apapun pekerjaan akan fatal jika tak didasari ilmu yang mumpuni.

Hmm…

Saya sebenarnya juga mahasiswa baru, baru bermetamorfosa dari siswa biasa. Tulisan ini bukan bermaksud sok tahu tapi adalah rangkaian hasil interview dari kakak kelas juga hasil mentoring dan liqo’. Mohon maaf jika ada kekurangan. Moga bermanfaat.

Surat Cinta Untuk (Mantan) Calon Pacarku


Assalamu’alaikum wr. Wb.

Salam sejahteraku untukmu, wahai wanita yang tlah dipilihkanNya tuk kucintai. Bagaimana kabarmu? Sehat bukan? Semoga langit cerah masih kau bisa nikmati disana walau awan gelap terkadang silih berganti menghampiri.

Alhamdulillah jika memang kau baik saja disana. Setelah sekian lama akhirnya kuberanikan diri menuliskan surat ini. Lama memang. Aku pun tak tahu mengapa, aku menjadi berani. Setidaknya kini. Padahal tak ada jaminan kau akan membacanya. Maka maafkanlah kelancangan diriku jika ini justru mengganggumu.

Masa remajaku memang sangat indah. Indah karena saat mulai merasakan rasa indah itu engakaulah yang dipilihkanNya untukku. Balutan jilbabmu, dihiasi sikap ramahmu dan manis senyummu seakan mengalihkan duniaku. Kata – katamu selalu terngiang dalam benakku. Terukir dan terpatri dalam memoriku. Bahkan momen pertemuan denganmu selalu kunanti dan kunanti. Tak bisa ku hindari walau tlah ku coba tuk menghindari. Tak bisa ku berdalih karena begitu adanya dalam diri. Detak jantung mengencang walau bukan di dalam medan perang. Hingga salah kata dan tingkah terjadi di depanmu karena duniaku teralihkan olehmu.


Seperti layaknya remaja kebanyakan aku pun awalnya ingin memadu kasih denganmu. Mengisi hari-hari sepiku dengan tawa indahmu. Menikmati setiap kebersamaanku denganmu. Aku tahu saat orang-orang lain mendekatimu, mengungkapkan perasaannya kepadamu. Hingga akhirnya mereka pun menanti jawabanmu. Tapi tahukah engkau disaat itu aku pun juga was-was menanti jawabanmu atas mereka? Menanti dengan secuil harapan dalam angan. Sebuah angan kecil yang terselip dalam kalbu. Namun akhirnya lega juga saat tiada satu pun dari mereka yang kau terima. Seakan harapan itu masih ada. Aku tak tahu alasanmu, aku memang merasa tak perlu mencari tahu.
Bukannya aku tidak melakukan apapun. Bukannya aku tak mencoba menghadirkan kesempatan. Bukannya pula bersikap pengecut tuk mengungkapkan perasaan ini kepadamu. Konyol memang, bahkan aku tak melakukannya walaupun sebenarnya tak mesti pula kau kan menerimaku. Tapi cukuplah kau ketahui alasanku. Sebuah alasan sederhana, tapi sangat besar artinya bagiku.
Ketahuilah jika aku hanya takut. Ketakutan ini menyulapku menjadi risau, gundah dan tak beraturan.

Tapi bukan takut kepadamu. Bukan pada mereka yang juga memendam perasaan kepadamu. Bukan pula kepada orang tuamu. Tapi ketakutanku hanya satu, pada yang Maha Cinta yang memberikanku kesempatan tuk mencinta. Atas rahmatNya hingga kini aku masih menghela nafas, menikmati indahnya alam dan berjuang meraih mimpiku. Aku pun tahu pastilah kau punya mimpi itu juga. Mimpi yang hendak kau raih, dan membahagiakan sekitarmu. Maka tak bisalah kita mengindahkan laranganNya. Aku percaya dan ku yakin engkau percaya, Dia kan memberikan kita yang terbaik. Selagi kita masih beriman kepadaNya, beramal sholeh serta berikhtiar mengarungi hidup. Maka tak pantaslah aku melakukan sesuatu sebelum waktunya. Yang malah menjerumuskan pada keburukan.


Terlebih aku tak lebih dari seorang yang masih bergantung kepada orang tuaku. Akulah harapan mereka. Betapa durhakanya jika tuk memenuhi harapan mereka saja tak bisa. Sementara pengorbanan mereka begitu besarnya kepadaku.

Kini waktu tlah cukup lama berlalu. Seiring jarak dan waktu yang memisahkan kita, pasti telah banyak hal kau lewati. Banyak hal yang ku tak ketahui tentangmu seperti dulu. Mungkin kau akan atau bahkan telah bertemu seseorang sesuai idamanmu. Seorang yang memenuhi segala kriteriamu sehingga ideal tuk disisimu hingga kelak jadi pemimpin rumah tanggamu. Seseorang yang kan mendampingimu mengarungi hidup dan menjadi ayah dari anak-anakmu.


Sejujurnya aku tak berharap banyak tuk menjadi orang itu. Walau sebenarnya memang Terlebih lagi kau pantas mendapat lebih baik dariku. Tapi ketahuilah apabila memang takdirNya kan menyatukan kita, disaat itu ku kan siap sedia. Aku kan belajar dan terus berbenah. Hingga saatnya nanti tatkala takdirNya tlah terlaksana aku tlah siap kembali menjadi pacarmu. Bukan hanya sekadar pacarmu, tapi pendamping di tiap hari-harimu. Dan kita pun bebas berpacaran secara halal dengan mensyukuri nikmat mencinta yang tlah diberikanNya dengan semestinya.

Hanya itu yang ingin ku sampaikan. Semoga hari-harimu selalu dalam naungannya di tiap langkah kebaikanmu.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Rabu, 06 Oktober 2010

Surat untukmu, Nak : Jadilah seseorang yang pantas…


Bandung, 6 Oktober 2010
Indah nian perangaimu
Tak bisa terbayangkan oleh diri ini
Tak bisa terangkai oleh lidah ini
Tak bisa terbesit sedikitpun dalam hati
Karena aku tahu engkaulah buah hatiku
Anugrah indah dariNya dan buah cinta dengan bundaimu
Assalamu’alaikum Wr Wb duhai anakku tercinta

Salam sejahtera untukmu wahai penerus keturunanku. Ku awali surat ini dengan sebait puisi sederhana. Tahukah engkau mengapa? Jikalau dengan hati kau baca itu pastilah kau ketahui betapa bersyukurnya diriku ketika Allah menganugrahkanmu kepada kami, Ayah dan bundamu. Ku tak bisa membayangkan rupamu, tangis manjamu, senyum indah di wajahmu membuatku bahagia tak terkira. Tapi seiring waktu berlalu, tangis tawa di nafasku, hitam putih dijalanku ku yakin engkaulah yang terbaik untukku.

Betapapun adanya dirimu, ku kan menerimamu setulus hatiku, mengayomimu sepenuh jiwaku dan melindungi dirimu dengan seluruh diriku. Memang ku dambakan dirimu terlahir sebagai laki-laki adanya sehingga bisa melindungi dan mengayomi adik-adikmu kelak, tapi jikalau perempuan itupun alhamdulillah karena ku yakin Dialah yang Maha tahu yang terbaik untukku.

Dambakan buah hati dari cinta suci
Terlahir bersih nan fitri
Penuh dengan potensi akhlaq terpuji
Cerminan akhlaqul karimah dalam diri
Calon seorang pemimpin sejati
Tak gentar kanan dan kiri
Pembela panji agama hingga mati

Kau lahir dari sebuah cinta suci anakku. Cintaku dan bundamu yang hanya karenaNya kami mencinta. Cinta dengan penuh ketulusan dan cinta dengan sepenuh jiwa bagaimana semestinya mencinta seperti sunnah RasulNya. Cinta yang tak sekadar turun dari mata ke hati, juga bukan berlandaskan materi ataupun penampilan diri.

Memang ketika ku tulis surat sederhana ini, ketahuilah masih tak terbayang siapa bundamu. Bahkan aku masih rapuh anakku. Masih seorang remaja mahasiswa semester pertama yang ceroboh dan kerap terjerumus dalam bahaya. Belum sekalipun pantas menjadi sosok Ayah untukmu ataupun pemimpin rumah tangga bagi bundamu tercinta.

Yang pasti, ku yakin kau pun lahir dengan hati bersih suci bak air teramat jernih tanpa satupun noda mau menghampiri. Dari sebuah rahim seorang wanita sholehah yang selalu tunduk pada Ilahi dan mengamalkan kehidupan Islami. Kau dipenuhi potensi dengan akhlaq terpuji yang ditakdirNya tuk digali. Bak sebuah tambang minyak di tengah gurun gersang yang panas. Kau berpeluang menjadi apapun yang kau ingini di dunia ini tentunya dengan Al Quran dan As Sunnah sebagai petunjuk diri.

Aku tak mau bertinggi kata
Tak mau berbukit kalimat
Ataupun bergunung paragraf
Tuk mengungkapkan harapanku kepadamu
Hanya sebuah pinta sederhana
Untukmu wahai ksatria mungilku
Jadilah seseorang yang pantas
Dicipta olehNya dan berbakti sebagaimana semestinya semua manusia dicipta
Menegakkan tiang-tiang agamaNya
Dengan sepenuh jiwa dan raga

Harapanku hanya sebatas makna puisi itu anakku. Tanpa berpuluh himbauan ini itu agar kau mau jadi seperti mauku. Cukuplah menjadi yang kau inginkan tentunya sesuai yang telah Allah gariskan halal tuk kau kerjakan. Masa depanmu pun ada di tanganmu. Semua bergantung padamu, bahkan nikmat iman dan Islam dariNya sekalipun. Aku tak kuasa selalu mengontrolmu. Tak kuasa mengetahui pola pikirmu, mempengaruhi akal sehatmu ataupun menggariskan keadaanmu di masa depan. Hanya sekadar mengarahkan dan mencontohkan, menasehati dengan hati dan melindungi dengan diri ini. Sebatas itu dan memang hanya bisa sebatas itu.

Anak Soleh Cahaya Mata
Buah Hati Belahan Jiwa
Terpancar Indah Dari Matanya
Cerminan Kalbu Yang Mulia
Jujur Lagi Periang Jua
Penegak Nilai-nilai Agama
Taat Pada Ayah dan Bunda
Anak Sholeh Yang Istimewa
Reff:
Dikala Ujian Tlah Tiba
Sabar Ia Menghadapinya
Dikala Nikmat Diterima
Puji Syukur Kepadanya
Firman Allah Ditegakkan
Sunnah Rasul Dijalankan
Cita-cita Perjuangan
Tujuannya

Aku suka menyenandungkan nasyid itu ketika bermuhasabah anakku. Ketika aku bersikap tak sewajarnya kepada sekitarku. Ketika Ayah dan Bundaku kesal melihat tingkahku. Ketika jalur kebenaran telah terlalu jauh ku tinggalkan. Aku pun berniat menyenandungkanmu nasyid serupa saat kau lahir nanti. Mengajarkanku tentang dunia dengan berbagai kenikmatan yang fana. Memperlihatkanmu kemunafikan yang ada dan peranmu tuk memberantasnya. Setelah sebelumnya masalah tauhid tlah kau pahami dengan seksama.

Ibarat kapal tanpa arahan mercusuar ketika malam
Layaknya berjalan dalam kegelapan tatkala tanpa penengaran
Sunyi senyap dan kau pun bisa hilang tanpa sebab
Kecuali kau pegang teguh tangan ini
Agar menuntunmu ke arah cahaya
Cahaya kenikmatan ketika mencinta hanya karenaNya

Bertanyalah anakku. Ketika tidak kau temui kebenaran dalam hatimu. Memicu kegundahan yang teramat menggelorakan dirimu tuk mengerti. Bertanya. Jikalau kau pun belum puas, aku kan berusaha mencari tahu dan perbaiki diri agar tak membuatmu diam. Berdiam dalam keluh kesah yang terpendam dengan ketidaktahuan makna hirarki hidup yang tak hakiki. Membuatmu diam dalam kegundahan, bertemankan sunyi dalam keramaian, dan bercengkerama dengan kehampaan.

Maka itu janganlah kau anggap ini Ayah biasamu, aku juga sahabatmu, tempatmu berkeluh kesah ketika masalah duniamu merisaukanmu. Begitu pula dengan bundamu jika memang kepadanya kau lebih merasa pas tuk mencurahkan isi hatimu.

Air mataku mengalir ketika kau terpejam dengan senyumku
Mungkin amarahku bisa membutakan hatiku
Memperburuk perangaiku
Menafikkan hatimu kepadaku
Tapi ketahuilah tangis ketakutanmu lebih merisaukanku
Kesedihanmu kan buatku bertemankan khawatir dalam waktuku
Maka ingatkanlah aku ketika lalai anakku
Seperti halnya ku ajarkan kau dulu
Tegurlah aku dan tuntun aku
Agar ku bisa senantiasa mencintaimu
Tak memaksakan egoku kepadamu
Seperti halnya ketika kau mencintaiku dengan baktimu dan hormatmu padaku

Tumbuhlah sebagai Muslim ksatria, yang gagah berani tanpa kenal lelah. Memang kebenaran makin ternistakan di dunia ini. Tapi janganlah gentar anakku. Sekalipun jangan. Karena ku yakin kau kan jadi seseorang yang pantas, pantas dicipta dan melakukan semestinya yang harus dilakukan seorang hamba kepada penciptaNya. Do’aku kan selalu ku panjatkan untukmu di tiap langkah kebaikanmu.