Halaman

Assalamualaikum, welcome

Sebuah eksplorasi hati...

Kamis, 25 November 2010

Kapankah Bisa Seperti Itu?


Baru saja membaca beberapa Ebook lama yang belum sempat terbaca. Kebetulan kebanyakan adalah karya Kak Asma Nadia. Rentetan kata demi kata yang tersusun indah dibalut dengan hikmah yang tersirat ataupun tersurat di dalamnya memang bisa menghipnotis pembacanya.

Sempat terlintas di benak, kapan ya jari jemari ini bisa memainkan keyboard komputer tuk menghasilkan rangkaian indah semacam itu. Mungkin teman-teman pasti pernah mengalaminya. Memang, terkesan sekali jika rasa minder boleh jadi bergelayut karena selama ini belum bisa memenuhi harapan diri sendiri.

"Kapankah Bisa Seperti Itu?"

Aku pernah mengalaminya beberapa hari ini. Jujur saja. Tak bisa dipungkiri ataupun disangkal. Bahkan tak ada alasan untuk itu. Memang, menikmati karya orang lain bisa menginspirasi, memotivasi dan menabuhkan genderang kepada syaraf otak tuk segera merangai kata secara kreatif. Tapi kadangkala, bisa saja sebaliknya. Sebut saja ketika hendak mengikuti sebuah acara kompetisi menulis, seperti Lomba Cipta Puisi, Flash Fiction atau sekadar mengikuti Arisan Kata Multiply.

Melihat hasil karya orang lain sebelum menghasilkan karya memang sebuah opsi. Tapi seperti tadi, terhipnotis olehnya bisa mengendurkan semangat pula karena salah menyikapi. Salah? Dimanakah letak kesalahan itu?

Saya akan mencoba mengilustrasikan. Sheila On 7 adalah band yang telah ada sejak zaman 90'an dan telah menjadi salah satu band fenomenal yang banyak menginspirasi musisi lain. Tapi pernahkah kita membayangkan seandainya semua calon musisi yang terhipnotis lirik dan lagu-lagu indah S07 memilih mengurungkan niatnya berkarya hanya karena belum merasa selevel dengan mereka tuk memasuki dapur rekaman? Apa jadinya bila itu terjadi? Bisa dibayangkan tak akan ada karya lain lagi hingga sekarang. Semua berpendapat dialah yang terbaik, lalu buat apa berkarya lagi. Membuat sesuatu yang di bawah level hanya akan mempermalukan diri sendiri.

Tapi apa yang membuat mereka (calon musisi yang terhipnotis S07) tetap berkarya meski tidak ada jaminan penerimaan oleh publik? Jawabnya adalah karena mereka tidak berpikir "Kapankah bisa seperti itu", tetapi justru berprinsip "Inilah Giliranku". Tak sepeduli setenar apapun idola mereka, mereka terus berkarya dengan cara, gaya dan jalan mereka masing-masing.

"Inilah giliranku"

Begitu pula dengan karya tulis-menulis ataupun yang lainnya. Jika masih ada pemikiran "Kapankah bisa seperti itu" di dalam diri, sekalipun telah terpatri dalam relung hati tapi marilah kita sholat berjamaah. Nah lho. Marilah kita ubah sedikit demi sedikit pola pemikiran kita. Saya menyebut kita disini, karena saya sendiri juga kadangkala mengalami fenomena yang sama. Saya menuliskan ini bukan karena saya merasa hebat, sok tahu, ataupun karena saya pun bukan siapa siapa. Makhluk ingusan yang masih perlu banyak belajar dari Anda

"Dunia Pasti Berputar"

Dunia pasti berputar, ibarat roda yang membuat kita kadangkala bisa berada di bawah ataupun di atas. Ibarat giliran pada kita sebagai penikmat sebuah karya, pasti ada giliran kita sesekali berperan sebagai pembuat karya tuk bisa dinikmati orang lain. Tapi kapan giliran itu tiba? Jika saat membaca ini Anda masih bisa merasakan bernafas, menghirup oksigen memasuki tubuh Anda secara segar di saat itulah kesempatan Anda memulai. Saya merasakan kesempatan itu, karenanya saya menulis ini.

Tak peduli bagaimana jenis karya tulisan kita, juga gaya rangkaian kata yang kita hasilkan. Ketahuilah kita memiliki ciri khas masing-masing. Seperti namanya itulah sesuatu yang khas. Tak bisa dicari di orang lain. Jikalau mirip pastilah ada sedikit perbedaan yang dijumpai jika ditelaah lebih lanjut.

Apakah salah mengadopsi ciri khas orang lain? Tidak ada yang salah dengan itu. Mengadopsi pun tak ada jaminan tuk menghasilkan sesuatu yang sama, karena jika karya yang dihasilkan memang dari hati pastilah ada perbedaan. Tapi perlu dicatat sesuatu yang sama pasti akan selalu dibandingkan orang lain.

Abiku selalu mengagumi gaya menyanyi Ridho Rhoma. Beliau memang penggemar dangdut sejak dulu. Pernah aku bertanya mengapa mengagumi Ridho? Ridho adalah sosok yang memilih gayanya sendiri dan berani untuk melakukannya. Memang, tak ada kesalahan bilamana Ridho menyanyi dangdut layaknya sang Ayahanda karena memang Bang Rhoma adalah Raja Dangdut yang fenomenal dan menginspirasi banyak pedangdut, apalagi Ridho adalah anaknya sendiri. Tapi dia lebih memilih berspekulasi menggunakan gaya Dangdut-Pop. Itulah yang membuat Abiku kagum.

"Menjadi Diri Sendiri Itulah yang Terbaik"

Sebuah jargon lawas memang, menjadi diri sendiri itulah yang terbaik. Yang perlu dicermati, bukan bagaimanakah diri kita sendiri yang kita idamkan, karena kita yakinlah bahwa kita sedang melangkah tuk menemuinya. Maka ayolah tetap melangkah dalam kepercayaan dan perjuangan tinggi.









Raffa Muhammad

Tidak ada komentar: