Halaman

Assalamualaikum, welcome

Sebuah eksplorasi hati...

Minggu, 06 November 2011

Pentingnya Berorganisasi Sejak Dini


Curhat dikit, saya adalah mahasiswa baru yang dulunya saat sekolah tidak pernah berorganisasi. Mengikuti organisasi atau kepanitiaan ibarat menambah pekerjaan tanpa bayaran. Tidak ada manfaatnya. Buang – buang waktu dan tenaga. Bahkan bisa memicu stres jika jadwal yang padat serta tak bisa membagi waktu dengan tugas tugas yang ada. Itulah pemahaman saya selama ini dan mungkin kebanyakan siswa sekolah. Tapi, benarkah demikian?

Tidak. Menyibukkan diri dalam hal yang demikian ternyata bukan seperti menegakkan benang basah. Telah banyak orang membuktikannya. Melakoni peran-peran sulit dengan jabatan penuh tanggung jawab adalah sebuah investasi diri. Percayalah, suatu saat investasi itu akan terakumulasi sehingga menciptakan diri kita dengan pribadi yang tak pernah kita duga diawal. Kita akan memiliki sesuatu yang tidak akan pernah diajarkan dosen ataupun guru semasa sekolah. Sebaliknya kita akan diajarkan oleh guru terbaik sepanjang hidup kita, yaitu pengalaman.

Pengalaman demi pengalaman akan membentuk pribadi kita ke arah positif. Dari situlah kita akan menguasai apa yang disebut softskill. Softskill adalah kemampuan yang takkan pernah kita dapatkan dari buku, teori ataupun litelatur manapun. Karena hal itu hanya bisa kita petik dengan mencoba, belajar dan melakukan.



Suatu ketika saya mengikuti sebuah seminar dengan pembicara Arya Bima, seorang pemuda yang sebelum terjun di dunia politik sering tampil sebagai pengamat dan pembicara di program parodi rakyat Metro TV dan TV One. Beliau menceritakan alasan mengapa memilih terjun ke dunia politik, menjadi aktor yang kerapkali terjebak dalam sistem kotor hingga menjadi koruptor.

Alasannya sederhana, di usianya yang relatif muda sebagai politikus beliau ingin mendapatkan apapun yang belum pernah didapatkannya selama ini sebagai pengamat politik. Ya, political sofskill. Beliau tidak akan pernah merasakan dijegal lawan politik, pahitnya persaingan politik, memimpin orang lain di dunia politik yang memiliki tujuan beragam. Bukan bermaksud ingin merasakan saja, tapi mendapat kemampuan mengatasi hal semacam itu. Karena menurut beliau, menjadi seorang pemimpin bukan hanya tentang pandai dalam teoritis, tapi juga cakap dan bijak dalam memimpin.

Kita mau tidak mau adalah seorang pemimpin nanti. Lelaki bagi keluarganya. Perempuan bagi pribadinya. Jika tak bisa kita arahkan diri ini menggapai tujuan kita di dalam naungan yang haq tentulah ending kisah kita akan sengsara.

“ Tidak ada pelaut ulung yang dilahirkan dari samudera yang tenang, tapi ia akan dilahirkan dari samudera yang penuh terpaan badai, gelombang dan topan”. (D.Farhan Aulawi)

Masa-masa remaja seringkali disebut masa-masa paling indah. Dan kenyataannyapandangan tersebut seringkali membutakan hati dan mempersempit pemikiran pemuda. Padahal di masa itulahmasa yang paling menentukan kita ke depan. Masa dimana visi ke depan menjadi acuan. Bukannya malah sekadar bersenang-senang. Mari jadikan hari ini adalah impian kita di hari kemarin, dan impian hari ini adalah kenyataan di hari esok.

Tentang berorganisasi hendaknya kita bisa arif. Pilihlah organisasi, himpunan atau kepanitiaan yang bisa memberikan sesuatu kepada kita. Jika bisa malah menjadikan kita lebih mengingatNya seperti Rohis. Tapi sesekali mengikuti yang lain juga boleh tapi tetaplah “Stay On The Line” karena dunia kemahasiswaan rentan akan hal yang malah menjerumuskan kita ke arah negatif.

So, it’s time to learn about professionalism and be the professional. It’s not disco lazy time but chance to be agent of changing. Dunia perkuliahan adalah dunia pembelajaran yang penuh akan kesempatan berorganisasi. Don’t miss it.



Sumber:


1. Hasil Tadabbur di kosan saat gak ada hiburan


2. Hasil PDKT (Pengenalan Dunia Kampus Telekomunikasi) semacam OSPEK di kampus


3. Hasil interview dan pengalaman pribadi

Kamis, 03 November 2011

Ku Petik Rindu Di Setiap Do'amu



Hawa dingin nan beriring. Tak terasa jejak-jejak kaki ini telah lama membumi. Melewati hari demi hari hingga kini seperempat semester tiga telah dilewati. Dan detik demi detik penuh pengorbanan yang silih berganti, takkan hanya menjadi kisah abadi. Ini kisahku. Kisah tentang jiwa yang rapuh. Melewati kehidupan mahasiswa dengan tekad yang masih abu-abu.

Deru semangat di saat itu, masih sayup-sayup terdengar syahdu. Ku kecup tanganmu, dan kurasakan hangatnya kasih sayang diantara bait-bait kata terakhirmu ketika melepasku. “Hati-hati”, seakan itu kata mujarab itu kau ucap dan selalu kuingat dalam memoriku. Mengharap keselamatan, dan tiada hal yang tak diinginkan terjadi kepadaku.

Aku yang rapuh, namun suaramu dari jauh yang selalu menjadi penguat hatiku. Aku tak menemukan kata-kata terbaik tuk melukiskan bahagiaku. Aku mencoba melakukan yang terbaik, untukmu, semua keluarga, dan sahabat yang selalu mendukungku.

Dan ketika langit senja tak lagi cerah, ada kalanya juga diri ini terbelah. Di antara kemalasan yang menjadi, prestasi yang terjal tuk didaki, dan konsistensi yang terus digali, ada harap kalian disana yang selalu percaya padaku. Percaya bahwa tiap tetes keringat yang kau dan ia lakukan untukku takkan sia-sia, sekadar menjadi pelengkap kisah dan tak sedikitpun memberikan asa. Dan ketahuilah, jika hal itu menjadi kenyataan, betapa penyesalan akan tiba. Bahkan mungkin takkan bisa termaafkan diri ini, yang sama saja menjadi beban tanpa memberi sesuatu yang berarti.

Aku memang belum bisa membuatmu bangga, dengan nilai-nilai di atas rata-rata, ataupun selaksa hal positif yang membelalakkan mata. Bahkan, aku lebih sering melagukan keluh nan kesahku ketika lewat senandung manja. Tetapi tak sedikitpun itu membuatmu menolakku ketika menghubungimu.

Aku membelitmu dengan masalah, yang tak bisa ku selesaikan walau diri ini seharusnya bisa lebih bersikap dewasa. Padahal, berkali lipat masalah pasti tlah kau jumpai disana. Duniamu yang membuat duniaku juga ada. Duniamu yang menjadi penyokong duniaku tuk tetap ada. Tetapi tetap, itu tak membuatmu menghindariku.

Dan suatu ketika, petir menyambar dan diri ini terjerembab dalam impian hambar. Aku menyalahkanmu ketika itu. Menyalahkan pilihan yang tlah kita sepakati bersama dan restu yang tlah kau beri untukku. Padahal kau pasti tahu potensiku tak setinggi langit yang ingin kuraih dan tak secepat kilat yang ingin kulangkahi. Tetapi kau tetap mempercayaiku.

Dan diantara sepertiga malam-malam ketika doamu terhempas syahdu, diri ini tetap saja terlelap membatu. Tak sedikitpun kuasa tuk terjaga dan membalas balik doamu kepada-Nya. Dan disana, kau tetap tiada lelah mengirim do’amu. Mengharap Sang Kuasa memberikan diri ini hidayah, dan senantiasa dalam naungan jalan-Nya tuk terhindar dari bahaya. Tiada lelah.



Kontemplasi Hati


Berkalang rasa nan penuh syahdu
Menatap sendu yang temaram mengelebat merdu
Merongrong sunyi ketika sanubari membeku
Hanyut dalam kontemplasi peretas rindu


Berterik mentari, bermalam purnama 
Hati terjerembab, tiada tahu masalah mendekat
Namun secuil kata bersemilir indah
Penyatu kepingan semangat tuk kembali merekat padat


Dan ketika...
Sepertiga malammu menjadi saksi di hadapan-Nya
Dan alunan penuh cinta kau haturkan setulus jiwa
Maka bagaimana diri bisa mendusta,
Bahwa usaha belumlah jua semaksimal yang bisa dilakukan
Namun sejuta keluh kesah yang terlanjur terlontarkan

Kontemplasi hati ini..
Kan buktikan semuanya lebih baik lagi...


Jumat, 21 Oktober 2011

Menerawang Bayang-Bayang

Bandung menampakkan malam yang dingin seperti biasa. Sedingin embun yang selalu yang terjaga di malam-malam menemaniku akhir-akhir ini. Senandung pagi hari demi hari ke depan akan berbeda. Ya, minggu depan adalah minggu ujian. Minggu yang akan sangat menentukan, bagaimana perjuangan di semester ini akan diarahkan.

Tetapi terkadang, musuh utama bukan datang diantara ilalang dan semak belukar, ataupun jurang di tengah perjalanan. Justru diri inilah menjadi penghalang. Ketika rencana memang dibukukan dan sesiap raga ini melaksanakan, ada saja hal yang membuat sang waktu seperti berputar lebih cepat meninggalkan.

Aku harus belajar, dan itu keharusan yang aku lakukan. Seketika kata-kata itu seraya hidup menggetar tetapi mudah goyah dan merintih lemah. “Ah ngantuk”, “Ah bosan”, “Ah besok saja”.

Masih teringat liburan lalu, raga ini berdiri gagah diantara mata-mata kecil yang memandang. Mulut ini berteriak lantang, menyusupi pemikiran mereka dengan motivasi yang membakar. Motivasi? Mengapa sekarang justru kehilangan konsistensi untuk termotivasi? “Bagaimana aku bisa begitu dahulu?”

Ah entahlah.

Menerawang bayang-bayang, mengingat masa lalu penuh kenangan terkadang memang berguna. Aku membuka catatan lama, tepat dimana puluhan draft naskah tanpa ending cerita menyesakkan mata. Beralih ke catatan yang sudah pernah terpasang. membacanya satu persatu. Tersenyum. “Bagaimana bisa aku membuat begitu dahulu?”.

Sebuah pesan masuk di ponselku. “Mas ini endorsementnya”, begitu tertulis awalnya. Hingga teringat bahwa proyek besar menjadi panitia Lomba Puisi yang kemarin dipegang bukan mimpi. Bukan mimpi pula akun facebookku tiba-tiba menerima ratusan permintaan pertemanan dan email dipenuhi ratusan naskah besarta pertanyaan dari peserta. Diri ini juga akhirnya berkesempatan berhubungan dengan mereka dengan orang-orang tenar dan berpengalaman di bidang sastra. “Bagaimana bisa?”

Ternyata, diantara semua jawabannya semua bermula dari alasan bahwa aku menyukainya. Bahkan meski sulit pun terkadang hati ini takkan enggan mengalah. Bahkan ketika otak ini sudah merengek lemah dan lelah bersambut raga yang terserang hawa kantuk sebegitu dahsyatnya, aku tetap menyukainya. Kuliah di jurusan yang amat kusuka, di kampus yang kusuka, di kota yang kusuka. Memiliki hobi menulis meski sangat malas membaca. Menjalani takdirNya yang selalu ku syukuri adanya. Aku suka. Pulang malam dari lab, mabit dan berbagai aktivitas di luar kuliah. Aku menyukainya.

Seketika mengingatnya. Bagaimana aku bisa dahulu begini dan begitu. Jawabnya memang karena memang aku suka. Berlelah tetapi menikmati ibarat waktu tak terasa berlalu. Jadi apakah ketika bermalasan aku menikmatinya? Mungkin juga begitu kita semua kawan. Menikmati disaat diri kita sedang terpuruk, hingga akhirnya lama kita untuk bangkit. Tidak membenci di saat kita futur hingga enggan memperbaiki.

Menerawang bayang-bayang, apakah yang kita impikan malam itu? Malam dimana kisah ini bermula. Ketika kau rasakan udara sekitarmu berubah, tak seperti biasa. Malam dimana kau terjaga, memikirkan apa yang akan terjadi ketika esok mentari menyapa. Apa yang kau pikirkan kawan?

Apakah kau memikirkan bahwa kau akan mendapat kemudahan? Kau akan membuat mereka yang menyayangimu menjadi bangga dan mengelukanmu di akhir kisah? Kau akan dengan segera menggunakan waktumu untuk ini dan itu mencapai target dan sesegera mungkin meraih malam-malammu yang lain? Demikiankah?

Segalanya memang terkadang terasa tak mudah dan diri ini tak bisa menerima. Tetapi dari semua itu, terawanglah bayang-bayangmu. Ketika kau berani memutar kisah ini tuk jadi catatan sejarah hidupmu, ketika kau putuskan langkah ini tuk mengisi waktu-waktumu. Kau tersenyum, kau berharap cemas, kau bahkan mungkin takut. Tetapi kau bersiap untuk semuanya. Bertanya kemana-mana, mencari informasi sedemikian rupa. Kau mencipta bayang-bayang nan elok rupanya. Dan ketika kini bayang-bayangmu kini hampir mati, apakah kau akan meninggalkannya sendiri?

Aku meninggalkannya kawan. Di antara tumpukan jerami aku menyiramkan minyak tanah dan membiarkan diri ini membakarnya. Itulah kenapa aku seringkali gusar ketika malam. Aku merindukan bagaimana aku dahulu berpijak, menatap hari dan berjuang seakan bayang-bayang ini telah memprediksikan.

Tetapi kini, aku telah mendapatkannya kembali. Aku membuatnya dengan harapan, dan keyakinan bahwa memang sesuatu yang sulit diraih akan lebih mudah dijaga nanti. Lalu, bagaimana denganmu?

Rabu, 19 Oktober 2011

Ikut Aksi Tanpa Refleksi, Apa Kata Dunia?



Mahasiswa, makhluk berpendidikan yang masih saja bisa dibilang langka di negeri kita. Kemiskinan yang menjerat dimana-mana dan biaya pendidikan yang memang menjulang takkan pernah dijangkau setiap generasi muda. Tak pelak status mahasiswa boleh saja dibilang membanggakan jika dilihat secara seksama.

Tetapi kadangkala status ini juga cukup membuat hati kecewa. Tengok mereka yang duduk di singgasana kekuasaan, banyak dari mereka dulu juga mahasiswa vokal, menyuarakan perubahan, tetapi sama saja ketika sudah masa mereka menerima giliran. Korupsi, dan berbagai penyelewengan ibarat hal yang tak tertahankan. Idealisme terbeli dengan harga yang mungkin tak bisa disetarakan. Semua dianggap masa lalu, dan masa kini adalah sebuah kepentingan.

Juga lain halnya dengan prestasi yang diukir mahasiswa Indonesia tercinta. Beraneka rupa, dari yang tawuran masal hingga memang membanggakan bangsa di mata dunia. Dan kita harus menyadari, bangsa ini adalah bangsa yang besar, bangsa yang memiliki harapan besar dan membutuhkan orang-orang yang memang bisa memberikan pengorbanan besar bukan untuk sekadar hal fana semacam kekuasaan, ataupun tanda simaptik dari orang.

Anda mahasiswa, Anda pemuda, lalu apa? Terlepas dari status mahasiswa Anda, menjadi mahasiswa bukan sekadar untuk bergaya dengan almamater yang Anda banggakan di depan kaca, juga bukan untuk berteaterikal seakan Anda pahlawan pembawa perubahan. Please, sadarlah, mereka juga melakukan hal yang sama.

Mereka runtuhkan tirani demi kekuasaan tertinggi yang katanya untuk rakyat dan dari rakyat. Dan kini mereka bahkan lupa setiap hari yang mereka makan berasal dari rakyat. Rakyat yang merintih di tengah kekayaan negeri ini, rakyat yang menangis di antara janji-janji pemikat yang tak lain bak nyanyian berkarat.

Anda itu berpendidikan. Bukan mereka yang ikut aksi dengan bayaran. Atau mereka yang memang mahasiswa abal-abal, berdendang ria mengatakan, “Inilah aku, kaum intelektual di negeri ini. Akan membawa perubahan. Akan menebar kesejahteraan. Inilah aku”

Sebuah kata-kata yang amat membanggakan bagi saya pribadi sekaligus sindiran pahit datang dari seorang Bima Arya, politikus muda yang dulunya sempat berposisi sebagai pengamat tenar di TV swasta, ketika awal menginjakkan kaki dengan status mahasiswa, “Pemuda sekarang itu banyak yang teriak perubahan, tetapi jika diserahi wewenang tidak memiliki kecakapan.” Berkoar-koar bak singa kelaparan tanpa ada arahan. Pertanggungjawaban? Nol besar. Apakah itu yang Anda inginkan? Menjadi sekian diantara mereka, mantan agen perubahan yang akan segera tergilas perubahan?

Anda akan hilang kawan, hanya menjadi terkamanan generasi muda selanjutnya yang akan melanjutkan aksi tusuk belakang. Mensimfonikan kemerdekaan, tetapi sama saja tidak bermoral. Anda mahasiswa? Maka, beraksilah dengan sebenar-benar tujuan mulia. Jangan bernada Anda bisa, tetapi tiada juga memiliki noda. Jangan berlagak Anda cerdas, tetapi berperilaku kurang waras. Jangan berkata mereka salah tetapi Anda juga tak mampu lebih baik.


Ikut aksi tanpa misi,

demo sana dan disini,

tetapi diam hati nurani,

ketika amanah diemban sendiri tiada perubahan berarti.

Penuhi almari dengan setumpuk prestasi,

buktikan diri mampu berkreasi,

berguna bagi siapa saja yang disayangi,

bukan hanya sekadar cari sensasi.

Refleksikan aksimu

Dengan semangat pantang ragu

Giat berprestasi di tiap denyut nadimu

Disertai tanggung jawab yang tak hanya melagu


Raffa Muhammad

Telecommunication Engineering 2010,

Telkom Institute Of Technology

Senin, 20 Juni 2011

Berpetualang Dengan Generasi Masa Depan



Detak-detik jam berlalu kian terasa. Sang waktu memang kan selalu terus berlalu tanpa ada halang waktu kuasa-Nya. Bersama nyanyiannya ku utarakan sebuah janji yang harusnya terlaksana. Aku pun menari riang gembira saat membayangkan semua kan berjalan seperti rencana.

Janji yang biasa disebut amanah karena hanya melaksanakan berniat untuk mendapat ridho-Nya memang mudah diucapkan tetapi kadang sulit dilaksanakan. Tubuh ini selalu bergetar ketika mendengar kata itu, amanah. Disaat lalai, maka amanah itu pun terbengkalai. Sang waktu pun takkan mau mendengar kita beralasan dengan santai. Alih-alih akan ada hati yang terdzolimi ketika malah sibuk urusan pribadi.

bernarsis ria



Ditemani tubuh yang mulai lunglai, aku membasuh muka dengan air wudhu’, membuang sisa-sisa lelah yang terlukis di wajahku. Hari ini agendaku padat, walau memang tak ada alasan untuk terlambat. Kuliah ini dan itu hingga harus mengemban amanah disini dan disitu.

“Kak Fikriii, Assalamualaikum”, sebuah suara mengawali rentetan suara-suara lainnya yang bersahutan memanggil namaku. Sajak sepi yang tadi mengalun merdu sirna tiba-tiba. Suara ini tak asing lagi, suara emas para generasi masa depan yang biasa ku temui di masjid tempat kami merangkai mimpi, menjadi generasi muslim sejati.

Jemariku mendekat ke arah pintu dan membukanya perlahan.“Kakak sholat dulu ya”, pintaku dengan nada ramah. Nada yang jika kupikir masih jarang tergambar dari kata maupun mimik wajah sebelum aku mengenal mereka.

Sambil menungguku melakukan tarian penghambaan kepada Tuhan, mereka bercakap ria seperti biasa. Tertawa bergurau hingga dinding sepi kostku menggema, merasakan keceriaan dan sukacita. Pastilah jemu ia berdiri tegak, menopang atap hingga ku bisa tidur dan beraktivitas dengan bahagia di bawah. Sementara tak ada keceriaan yang ku bagi dengannya. Malah raut penuh kesal dan nada kecewa ku lantunkan ketika pulang kuliah.

“Mau kemana ini kak?”

“Ke danau lagi aja kak”

“Keliling STT lagi”

“Bentar ya”, tanganku masih sibuk menyiapkan apa yang telah ku rencanakan tuk hari ini. Hari ini adalah hari minggu, hari yang sama sejak dua minggu lalu ku canangkan program tadabbur alam dan belajar Islam di luar. Belajar Islam memang sebuah kewajiban, dan usia sangat sayang jika hanya mengenal dunia saja yang takkan ada habisnya.

“Nanti kita main games”, ujarku.

“Horeee”, teriak mereka serempak kegirangan. Aku pun menuntun kaki-kaki kecil pembawa harapan besar itu melangkah keluar. Kampusku minggu sore tampak lengang. Waktu liburan yang tlah datang membuat aspal hanya sesekali menerima ciuman dari ban, sesuatu yang sudah terlalu sering ia rasakan ketika hari-hari sibuk jalanan Sukabirus berjalan.

Enam anak hari ini ikut, jumlah yang sama ketika dua minggu lalu semua mulai digelar. Bermula dari sesuatu yangSaat itu mereka menawarkan untuk tetap mengaji di hari minggu, hari dimana biasanya TPA kecil kami diliburkan. Namun, ternyata masjid digunakan untuk Ibu-Ibu pengajian, jadilah aku mengajak mereka keliling kampus dengan seorang pengajar.

Dan hari ini senja menyapa kami dengan ramah. Tak ada mendung sedikitpun terhampar di angkasa. Jadilah ku persiapkan semuanya dengan suka cita.

“Ko’ hanya berenam?”

“Lha emangnya mau berapa kak?’

“Kakak kira ada sepuluh atau lebih”, selorohku hingga membuat mereka geram. Bahkan si kecil Sri juga ikut-ikutan, meniru kata-kata kakaknya, Yuli yang mencoba protes karena aku berniat memanggil lainnya. Mereka berenam memang termasuk yang paling rajin diantara yang lain. Jadilah mereka terkesan kurang suka dengan yang lain karena hanya main-main dan membuat keributan saat mengaji.

“Lagian lama kak nunggunya. Mereka belum mandi, masih bau kayak kakak”, celetuk Erika.

“Iya kak, mereka juga banyak yang ke rumah Gilang. Dia hari ini disunat. Makanya khan ada dangdutan”, tambah Sundari.

Aku pun tak bisa berkata apa-apa lagi. Bisa-bisa tangis Sri pecah disini, bidadari paling mungil ini memiliki tangisan besar yang bisa membuatku panik karena pasti mengundang perhatian orang. Nanti aku dikira nyulik nih bayi, atau dikira macem-macem.



Dua pengajar lain datang hingga membuat acara kami lebih semarak lagi. Sebuah games kecil di depan gedung megah Learning Center, kebanggaan seantero kampusku. Dan senja kemballi menjadi saksi, pesona yang mulai perlahan tanpa ku sadar menghampiri. Aku menikmatinya. Aku mensyukurinya. Sebuah canda tawa, momen indah dengan mereka, para mujahid - mujahidah masa depan.

“Braak”, Dika jatuh dan menangis keras. Namun syukurlah ada Fantri, teman seperjuangan yang dengan sigap mengobati dan menenangkan laki-laki kelas dua sekolah dasar ini. Permainan merangkai huruf estafet akhirnya usai sudah. Terpaksa diganti tanpa merangkai huruf menjadi nama Nabi tanpa lari. Dan angin senja membuat suasana lebih meriah. Kertas-kertas yang ku gunting sebelumnya itu tertiup berhamburan, membuat mereka panik tetapi riang.

Dika dengan hasil mewarnainya



Itulah permainan yang tampaknya bisa maksimal. Permainan kedua hanya teka-teki silang. Revi dan Fantri membacakan soal. Aku sibuk menjadi pengawal Sri yang lincah menggodaku berlari menginjakkan kaki kecilnya di tangga LC. Dua kelompok tampaknya berat sebelah sehingga salah satu terlihat muram tanpa menikmatinya. Dan alhamdulillah semua berujung senyum di akhir cerita ketika hadiah dibagikan. Tak ada raut tangisan ataupun muram lagi bermunculan.

Petualangan kami berakhir disitu hari ini. Namun akan terus berlanjut lagi di lain kesempatan. Berlanjut dan berlanjut, hingga senja kan jemu melihat pesona mereka tumbuh dan menjadi generasi masa depan yang berilmu. Hari ini adalah hari terakhir bermain dengan mereka, sebelum kepulanganku ke tanah kelahiran tercinta selama tiga bulan lamanya. Aku pasti merindukan mereka. Sebuah kepastian yang terbersit ketika melihat senyum tulus mereka terbayang.

Sayonara, we’ll continue later!

Generasi Masa Depan (Della, Erika, Sri, Yuli, Sera)


“Jika mau ngajar maksimal, luruskan niatmu. Lalu tanamkan pada dirimu bahwa bukan mereka yang membutuhkanmu, namun kamu yang membutuhkan mereka. Akhirnya nikmati semua itu”.



Pesan murobbiku itu sangat jelas terpampang di benak. Walau belum sepenuhnya bisa terserak, namun akan terus berusaha selagi jantung ini masih berdetak.

Rabu, 06 April 2011

Sebuah Kado Istimewa

“Dibawa ke rumah sakit? Dimana?”

“Di Surabaya. Di Jember sudah tidak sanggup lagi menangani”

“Lalu bagaimana kondisinya sekarang?”

“Alhamdulillah sudah ditangani dengan baik. Doakan ya Nak, semoga kakek cepat sembuh”. Ucapan lirihmu membuatku trenyuh. Baru beberapa bulan lalu, ya aku ingat jelas kau dan kakek melepas kepergianku. Menatapku dan mengecup kedua pipiku. “Yang baik-baik ya disana”, pintamu. Begitu pula kakek, di saat kondisinya yang lemah masih saja memberi wejangan dan doa.

Baru beberapa bulan lalu, bahkan aroma Bandung masih abu-abu untukku. Tapi agaknya rindu ini terkumpul menjadi satu. Padahal jelas beberapa bulan sebelum kepergianku. Kakek selalu rajin bersepeda di hari minggu, mengantarmu jalan-jalan ke alun-alun tuk melatih kakimu yang sempat terkena stroke beberapa tahun lalu, atau rutin menyirami tanaman anggrek dan lainnya yang selalu kau rawat sepenuh hati di kebun kecil di samping rumahmu.

Kakek kini lemah. Tak lagi bisa menghadiri pengajian di masjid tempatnya selalu rutin beribadah, apalagi menemani hari-harimu yang penuh warna, mengantar sepupuku pergi les seperti biasa. Pasti kau terpukul mengetahuinya. Apalagi tahu-tahu keadaan kakek sampai harus dirujuk keluar Jember yang dulu kau bilang lebih baik dari Lumajang.

“Jatuh?”

“Iya. Sekarang sudah dirawat di Rumah Sakit juga.”

Ucapan anakmu yang melahirkanku itu membuatku tak habis pikir. Mengapa kau paksakan membunuh letihmu dengan senantiasa tengah malam berdzikir. Itukah kekuatan cinta yang selama ini telah terukir?

Masalah dana yang awalnya masih bisa dipenuhi patungan anak-anakmu mulai bermasalah. Tulangmu bergeser saat kau jatuh. Sementara kakek juga bukannya makin sembuh. Untunglah perdebatan kecil antara anak-anakmu dengan anak-anak kandung kakek sedikit memberi harapan baru. Walau sempat tangis terpancar karena anak-anak kakek agak enggan ikut berperan membantu.

Anak-anakmu kembali kebingungan. Situasi dilematis muncul ke permukaan. Ruang inapmu dijadikan satu dengan kakek akan membuat mereka mudah menjaga bergantian. Tapi, kau akan kehilangan motivasi tuk cepat sembuh karena nyatanya penyakit kakek lebih parah darimu. Benjolan itu ternyata kanker, bukan benjolan biasa yang selalu kau rasa bisa ditanggulangi dengan pijat rutin kepada seorang spesialis sebelum kakek makin melemah.

Kanker itu bukan penyakit biasa yang bisa sembuh dengan penanganan cepat. Begitulah nyatanya sehingga anak-anakmu memutuskan di kamar berbeda kalian dirawat. Hari demi hari, kondisimu dan kakek masing-masing mulai membaik. Dan kakek mulai dirawat di rumah anak-anaknya, sedang kau dipulangkan ke Lumajang karena anak-anakmu juga tak bisa meninggalkan pekerjaan terlalu lama.

Libur jelang lebaran, aku pun pulang. Melepas kepenatan selama enam bulan juga rindu yang tak tertahankan. Kau sambut dengan sukacita walau ku tahu dari kejauhan, kau memendam sedih yang teramat dalam. Kakek hanya bisa kau hubungi jarak jauh. Seseorang yang biasa ada disampingmu, kini teramat jauh disana sedang melawan penyakitnya.

Sementara kakimu yang harus dioperasi membuatmu kakimu ditanam logam yang kau sendiripun sebenarnya membencinya. Kau tak bisa berjalan seperti biasa. Apalagi agaknya kau terlalu memikirkan kondisi kakek hingga kau pun enggan berlatih melangkah. Ya, bunga-bunga di taman yang layu pun menyiratkan demikian adanya.

Hari lebaran keluarga berkumpul seperti tahun-tahun biasanya di rumahmu. Bermaaf-maafan dan saling berbagi kebahagiaan. Tapi kali ini tidak ku temukan. Apalagi setelah mendengar berita kondisi kakek memburuk perlahan. Walau sebenarnya sudah ada anak-anak kandungnya yang merawatnya disana.

Kondisi kakek jauh lebih buruk daripada saat sebelum dirujuk ke Surabaya. Sementara, anak-anakmu tak bisa berbuat apa-apa karena jarak Lumajang ke tempatnya lumayan jauh dan memakan waktu pula. Kemoterapi dilakukan, dan anak-anakmu merahasiakan opsi itu karena sejak awal kau telah mengetahui resikonya yang membahayakan.

Sementara ada juga pihak keluarga yang mengusulkan agar kakek dibawa saja pulang ke Lumajang. Itupun seperti permintaanmu sendiri setelah membongkar rahasia yang anak-anakmu pendam. Biar meninggal di sampingmu dengan tenang, dan kau pun bisa menemuinya disaat terakhir sebelum ajalnya datang.

“Pokoknya bawa pulang saja. Dia satu-satunya lelaki yang setia, dan menemaniku sejak masa sulit”, begitu pintamu dengan nada rengekan yang belum pernah ku jumpa. Ya memang benar adanya. Kau selalu saja bersikap tegar di depan semuanya. Tapi jauh di dalam hatimu, kau rapuh. Bagaimanapun kau perempuan biasa dengan kesabaran luar biasa tapi tetap membutuhkan seseorang yang dicintai di sampingmu selamanya.

Dia memang bukan laki-laki yang sama yang mengalirkan darahnya ke anak-anakmu hingga terkait pula denganku. Bukan dia. Bukan cinta pertamamu yang kau harap kan jadi cinta terakhirmu. Bukan laki-laki pujaanmu yang akhirnya menikahi perempuan lain di saat hartanya melimpah ruah dan kesuksesan digenggam dimana-mana. Meninggalkanmu dengan anak-anak kecil yang masih sekolah dan membutuhkan banyak dana.

Bukan. Bukan dia yang membuatmu kecewa dan sakit hati. Membuat anak-anakmu terancam kehilangan masa depan, setelah sebelumnya semuanya terjamin dengan rapi. Bukan dia yang membuat anak-anakmu terpaksa kuliah dengan keadaan serba terbatas dan penuh derita. Tapi dialah yang selalu menemanimu setelah kau buka warung untuk menghidupi anak-anakmu. Membesarkanmu hingga akhirnya aku pun terlahir dari rahim salah satu anak yang kau besarkan dengan sungguh-sungguh.

Air matamu mengucur deras, diikuti air mata anak-anakmu yang membuatku memilih keluar kamarmu karena tak kuat situasi yang ada. Sementara menantumu dan beberapa anakmu sejak pagi sudah menjemput kakek tuk dibawa pulang menemuimu.

“Innalillahi wainnailaihi rojiun. Telah meninggal ....”

Pesan itu membuat tangisan pecah seketika anggota keluarga yang ada di rumahmu. Suasana haru bertumpah ruah. Tapi semua menutupinya, takut kau tak bisa menerima. Apalagi kondisi kesehatanmu yang juga kurang stabil agaknya.

Jenazah datang sementara para pelayat berdatangan. Diikuti teman-teman pengajian kakek yang juga hendak membantu prosesi memandikan. Di balik kamar, aku hanya bisa mendengar tangismu pecah. Ditemani adik-adik dan kakakmu kau disana, kau mencoba tegar tapi tetap tak percaya terhadap semua keadaan. Walaupun sebelumnya sempat terucap, “aku rela dan ikhlas sudah”, dari bibirmu karena semuanya masih merahasiakan bahwa kakek sudah dipanggil ke pangkuan Allah disana. Tapi tetap saja tak bisa dipungkiri, tangisanmu itu tak bisa menyembunyikan kepedihanmu yang mendalam. Ratapanmu tak bisa mengobati rindumu dan juga kepedihan yang dirasakan anak-anakmu yang juga tak kuasa menahan air mata malam itu.


Mendiang alm Kakek dan Nenek

Kakek dikuburkan pagi harinya. Saat itu ku lihat kau sudah mulai lebih tenang daripada malam hari sebelumnya. Kepergiannya menyisakan segenap luka dan duka bagi semuanya. Tak hanya dirimu, anak-anakmu yang juga mendapat sosok pengganti ayah, serta aku dan cucumu lainnya yang mendapat sosok kakek dan mengenalnya.

Sekarang kau masih menjalani terapi penyembuhan. Kau sudah mulai berlatih berjalan. Berjalan meski kini hanya tersisa kenangan. Tak ada lagi dia yang selalu menemanimu, di saat pekerjaan menyibukkan anak-anakmu, juga sekolah yang membuat cucu-cucumu jarang mengunjungimu.

Cucu terbesarmu sudah sembilan belas tahun kini. Tepat disaat aku menulis ini. Tepat disaat kau menelponku tadi, dan kau ucap harapanmu kepadaku agar senantiasa berjalan dalam naungannya, mewujudkan harapan orang tua dan menjadi contoh bagi cucu-cucumu lainnya. Kado istimewaku adalah menjadi cucumu, menjadi anak yang terlahir dari anakmu.



Bandung, 5 April 2011

Ditulis dengan berlinang airmata



by Raffa Muhammad

Senin, 04 April 2011

Petuah Sederhana


Ujian nasional kian dekat. Sekolah manapun pasti akan meningkatkan kesiapan siswanya dengan kompak. Tugas dikurangi, dan penjelasan ditambah hingga semua mengerti. Tak ada penyesalan di akhir nanti, semuanya berharap begitu tanpa kecuali.


Tapi tidak, saat itu entah mengapa tugas di SMA ku tak kunjung tamat. Semuanya ada dan terus ada dengan alasan memang target pembelajaran yang membuat hari serasa kiamat. Bayangkan, ada tugas membuat film, membuat laporan percobaan, membuat maket rumah, dan beberapa laporan serta tugas tambahan yang membuat waktu serasa cepat. Pulang sekolah jam dua, sudah harus melanjutkan jadwal les disana sini untuk UAN dan SNMPTN yang kian dekat.

Malam, jika ogah-ogahan belajar, bisa dipastikan esok sekolah akan ketinggalan. Maka malam pun memaksakan tuk tetap belajar meski mata seberat beras kiloan. Mencicil tugas juga bisa dilakukan, tapi apa daya kadang malas juga berdatangan. Bangun pagi pun diharamkan kesiangan, dilanjut les pagi di sekolah yang memang diprogramkan setiap tahunnya.

Begitu setiap harinya, membuat akhir pekan semua masalah dilupakan untuk berhura-hura. Begitulah hingga akhirnya, UAN kian dekat dan mendekat sementara deadline tugas juga tak kalah semakin singkat. Sementara hasil juga tak bisa dibilang sempurna karena kadang malas menjadi penghadang utama.

Hari itu, semua disibukkan diskusi mata pelajaran bahasa Indonesia dimana esok akan didiskusikan tugas kelompok minggu lalu. Aku termasuk yang kalang kabut, tugas minggu lalu tapi hingga sehari jelang dikumpulkan belum sama sekali disentuh. Resah dan gelisah bercampur begitu rupa tatkala membaca UAN akan lebih sulit dari sebelumnya. Akhirnya sore itu ku putuskan ke rumah guru bahasa Indonesiaku yang kebetulan tak jauh dari rumahku. Tujuannya sederhana, ingin berkeluh kesah karena kebetulan guru yang satu ini sosok yang terbuka dan ramah terhadap muridnya.

Ku kendarai sepeda, dan menuju ke kompleks perumahan dimana guruku tinggal. Aku disambut hangat dengan senyum dan sapa, dan akhirnya ku jelaskan maksud kedatanganku kesana.

“Baru pulang mas”, tanyanya seraya tangannya mengisyaratkan tuk menyilahkanku duduk.

“Iya Bu, belum sempat ganti baju. Tadi nyicil ngerjakan tugas film Bu”, jawabku.

“Memang belum selesai? Bukankah sebulan jelang UAN, tugas sudah harus ditiadakan?”, tanyanya pelan.

“Iya sih, tapi ya gitulah Bu, banyak ulangan, try out dan tugas lainnya”, balasku. “Ibu pilek?”

“Iya mas, saya juga agak meriang rasanya. Kemarin sudah minta dikerokin sama adik tapi tetap nggak enak rasanya”

“Ya sambil istirahat saja Bu”

“Mau istirahat gimana mas”, dia menghentikan bicaranya. Diambilnya sesuatu dari balik meja di depanku.

“Ini lihat”, diperlihatkannya beberapa tumpukan kertas. Seperti hasil ujian yang dibungkus rapi dengan beberapa coretan di depan.

“Apa ini Bu?”

“Yang ini hasil ujian semester kalian. Ada tiga kelas. Sementara yang lain hasil ujian Widya Gama” jelasnya sambil menunjuk dan membolak-satu persatu. Ibu Guruku ini mengajar tiga kelas di sekolahku. Widya Gama adalah perguruan tinggi swasta di kota kecilku, tempatnya juga mengajar di sela waktu.

“Ini dikoreksi semua?”, tanyaku heran. Ku lihat perlahan, tumpukan itu pasti berisi banyak lembaran-lembaran.

“Nah itu mas. Belum selesai ngoreksi, tadi saya sudah dipanggil Pak Marin disuruh buat soal try out minggu depan. ‘Nggak Pak Marin. Saya sudah banyak tanggungan’, ‘ Bu Moel, untuk bahasa Indonesia anak-anak, saya percayakan sama Bu Moel’, serunya. “Nggak didenger protes saya”, akunya.

“Ya sudah Bu, try outnya Ibu acak aja soal tahun lalu”

“Nggak mas”, akunya tegas. Mukanya menyiratkan kesungguhan penolakannya terhadap ideku itu.

“Saya nggak mau kalian menjadi generasi yang terkorbankan”, tambahnya.

Dikisahkannya kisah masa kecilnya yang hanya sekolah dengan guru-guru terbatas. Guru Fisika merangkap jadi guru Kewarganegaraan, guru olahraga merangkap guru Bahasa Indonesia dan beberapa guru lainnya yang juga melakukan hal yang sama. Akibatnya jelas, disiplin ilmu yang berbeda membuat penjelasan kadang kala itu itu saja.

“Misalnya untuk menyontohkan penggunaan majas personifikasi selalu saja ‘nyiur melambai di tepi pantai’. Ditanya lagi di lain hari, jawabnya sama tak berganti, seakan contoh lain nggak dia ketahui lagi. Karena itu saya selalu buatkan tipe soal baru, yang tentunya masih mengacu ke Ujian Nasional nanti,”ujarnya.

Memang setelah kuingat, try out yang sudah ada bacaan di soal bahasa Indonesia selalu baru dan berbeda. Jika pelajaran lain bisa ada yang sama dengan soal ujian nasional lama, tipe dan bacaan di soal try out bahasa Indonesia selalu pertama dijumpai saat itu juga.

“Ya kalau gitu, koreksinya aja minta bantuan orang lain Bu. Kan Ibu bisa buat kunci jawaban sehingga bisa ....”

“Nggak bisa mas, bentar ya saya ambilkan minum”, selanya sambil melangkahkan kakinya ke arah kulkas di ruang tengah rumahnya.

Sementara ku lihat hasil koreksi Ibu beberapa, dan ternyata semuanya tak hanya dikoreksi begitu saja. Dibetulkan satu persatu yang salah, maka pantaslah akan membutuhkan waktu lama.

“Ibu ngoreksinya gini...?”, tanyaku heran

“Jika nggak gitu, mereka nggak akan tahu mengapa Ibu menganggapnya salah. Kalau yang pilihan ganda, Ibu pun harus tahu dimana letak kelemahan siswa. Jadi bisa dijelaskan lagi materi yang kiranya kurang dipahami”, tuturnya.

“Tapi kan lama Bu...”, kata-kataku dijawabnya dengan senyuman lembut darinya. “Ya dicicil mas, setelah Isya, hingga jam sembilan. Sebelum shubuh hingga shubuh dan berangkat memberikan les pagi. Juga di sela-sela sebelum mengajar di Widya Gama sore harinya”

Aku terdiam. “Betapa padatnya agenda Bu Moel ini”, pikirku. Jauh lebih padat dari agendaku yang terbilang memang kewajibanku. Agendanya adalah pilihannya. Guruku ini, adalah orang yang sama yang mengajar Ibuku dan Paman serta Bibiku. Jadi bisa diketahui di usia senjanya, sebenarnya materi bukanlah tujuan utamanya menyibukkan diri di dunia pendidikan yang membuatnya sibuk setiap harinya. “Ya Allah, aku kesini mau berkeluh kesah padahal hari hari beliau pasti jauh lebih berat dariku. Sementara aku ini masih muda, dan beliau sudah terbilang tua, apakah pantas begini adanya?”, ujarku dalam hati.

“Kamu kesini ada apa?”, pertanyaannya membuyarkan lamunanku yang membawaku ke perasaan bersalah.

“Hmm tidak ada Bu, cuma ingin silaturahmi saja”, jawabku dengan meringis menutupi kebohonganku. Aku pun meminta izin pulang karena hari sudah sore. Malamnya aku kerjakan tugas itu semalaman dengan semangat penuh. Gelisah tadi pun hilang sebelum dikeluhkan sudah terobati dengan kisah semangat yang menyuntik segenap raga. Hilang oleh sebuah petuah sederhana yang tersirat dari untaian kisah penuh makna dari guruku tercinta.


Raffa Muhammad


Kisah Lama Sebelum Kuliah

Selasa, 22 Maret 2011

Sang Waktu

Kokok ayam menjadi teman terbaikku, dengan embun pagi dan hawa dingin sebagai saksinya yang selalu menemaniku. Bersama nyanyian pagi, aku bergerak perlahan melewati temaram mentari yang mengejarku, di belakang, tertinggal menyertai angin yang menyapu jatuh dedaunan.

Terkadang langkahku pun berpacu dengan alunan nada waktu. Dan kokok ayam enggan menyapaku. Padahal, alunan itu senantiasa memercik keharuman yang turut serta menyemarakkan hari-hariku, memacu segenap jiwa dan raga ini untuk padu, bergerak maju dengan tujuan yang satu.

Dahulu, aku memang pengagum ketepatan waktu, menyertainya dalam tiap aktivitasku, dan memujanya sebagai bagian dari disiplin ilmu. Namun apa daya, sang waktu kadangkala meninggalkanku tanpa sedikitpun pertanda tuk menyuntik segala memori akan rencana di masa lalu. Langsung menjauh, sejauh mentari yang kian meninggi, dan kesejukan pagi yang sirna ditelan sunyi.

“Assalamu’alaikum akh, maaf ane izin terlambat ya”, Ku kirim langsung sementara selimut hangat masih melekat.

“Baru bangun ya akh? Udah sholat shubuh belum?”, balasnya menyindir. Dia seorang yang selalu mengingatkanku pada amanah yang ku pikul dengan rapuhnya iman. Dan kerapuhan itu bersaudara dengan kemalasan hingga akhirnya sebuah kewajiban boleh jadi dilalaikan di tengah jalan.

Aku bergegas. Tanpa menyapa sunyi di pelataran kamarku yang sepertinya tak acuh dengan kegelapan yang telah berganti secara total. Sekejap saja dan kaki ini kembali melewati tanah-tanah lumpur bekas hujan yang lama kering di tanah Parahiyangan yang terkenal berhawa dingin.

Mentari mempertegas posisinya. Sinarnya membawa segala rona makhluk fana memulai aktivitasnya. Berkomplot dengan waktu. Membuat sebuah awal dari perubahan, yang juga akhir dari penundaan sebuah perubahan.

Hari itu, sebuah syuro’ ku awali dengan sebuah keterlambatan, sebuah pelanggaran kecil terhadap amanah yang diberikan Tuhan. Pelanggaran besarnya, shubuh tak lagi sesuai waktu yang telah ditentukan.

Padahal, masih teringat jelas sebuah hadist Rasulullah, “Dua raka’at Shalat Shubuh lebih baik dari pada dunia dan seisinya.” Bayangkan, bagaimana bisa mengamalkan apabila suara penyeru kewajiban sudah tak bisa terdengar ketika terlelap di kala malam?

Sehari, dua hari hingga tak terhitung lagi. Sebuah kebiasaan itu kini menjadi budaya sehari hari. Kokok ayam dan merdunya suara adzan tak terdengar lagi. Embun pagi tak terasa segarnya kembali. Deburan dingin air kala shubuh kini sama saja dengan pagi menjelang siang hari. Pun mentari mengejek balik setelah sebelumnya selalu tertinggal di waktu pagi.

Akankah terus seperti itu?

Aku terus menerus bertanya pada sang waktu, yang juga berkawan mesra dengan kokok ayam yang tak pernah telat sembari adzan berkumandang jelang shubuh. Sapaan cintaku disapa balasan penuh kasih yang syahdu.

QS. al-An’am (6) : 131
Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.

Aku bangun dari tidurku. Mengusap wajah yang tadinya lelah mengeluh. Memulai dan memilih sebuah motivasi baru.Yang dulu sempat sirna dan menjadi masa lalu.

Sang waktu kembali menemaniku. Dalam sepi dan seiring ia berlalu, didendangkannya sebuah fakta bahwa hati ini tak jua bisa menyatu. Ingin ini dan itu. Tapi raga tak jua bisa memberikan apa yang terbaik. Ya Allah, ketika ada kesadaran mengapa kejenuhan menyeruak ke permukaan? Apakah memang tlah kau takdirkan waktu selalu mendahuluiku, menjadikan keterlambatan sebagai ciri khasku, dan membuat segala penyesalan di ujung karena persiapan yang kurang seperti angiin lalu?

Allahumma ya muqolibul qulub tsabit qalbi ‘ala diinika …
Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, 
tetapkanlah hati kami dalam agama-Mu
[HR. Muslim 2654, Ahmad 6533]

Ya Allah karuniakanlah kami hidayah-Mu agar senantiasa dapat memperbaiki diri…

Dan diantara tanda tanda kuasa-Nya, sang waktu menjadi kawan terbaikku. Harus. Ketika ditinggalnya aku di belakang, tak ada lagi kokok ayam, suasana pagi yang menyejukkan dan berbagai karunia Illahi kala pagi menjelang tuk bisa dirasakan. Tidak ada lagi. Karenanya, tak perlu ku memintanya menunggu. Mentari tuk tak menyapa dunia ini, sementara dalam lelapku semua menanti.

Aku harus bangun.


pemandangan pagi dari jendela kamarku nan jauh disana


Harus!

Minggu, 20 Maret 2011

"Kenalkan, Aku Mahasiswa! "


Akulah Nadia, mahasiswa semester tiga universitas negeri di Jakarta. Hidup di kota, dengan latar belakang lahir di daerah.

“Ah..........kok gosong ya bu ikannya”, celetukku pelan. Baru pulang, Ibu langsung menyuruhku memasak.

“Jangan melamun saat kerja neng” Ibu mengingatkan ku dengan sabar.

“Nggak kok bu, dari tadi perhatikan penggorengan kok,nggak melirik lainnya”, belaku dengan cengengesan.

“Ketahuan banget kamu lama nggak masak” balasnya menyindirku. Aku tersipu, seketika pembelaan kembali ku lakukan.

“Hmm, selama kos hampir dihitung dengan jari ngidupin kompor, ngunjungi dapur atau nyuci wajan”, balasku lantang.

Ibu bisa saja menebak rupanya. Maklumlah dia Ibuku yang mengenalku lebih dari siapapun di muka bumi ini.

“Ingat pepatah, alah bisa karena biasa. Lama sudah tidak biasa hampiri dapur dan kroni-kroninya, ya begini lah hasilnya. Makanya kenalan dulu dengan dapur. Sering-sering lagi lirik penggorenga maupun periuk. Say hello walau sekejap ke ulekan dan pisau dapur. Jangan lupa nyentuh bawang putih, bawang merah, cabe,merica apakah masih pedas rasanya. Cicipi lagi garam apakah masih asin di lidah. Khan sudah lama mereka tidak diacuhkan.

“Duh Ibu, khan udah pasti kalau yang begituan”, protesku.

Ibu tak menggubrisnya dan terus saja berceloteh ria, ibarat presenter sepakbola yang tak pernah kehabisan kata. “Andaikan semuanya itu bisa bicara pasti protes.....jangan sombong dong.....dulukan kita sahabat, hehehe” sindirnya.

Aku hanya bisa tersenyum malu. Ya, inilah aku. Dulu dapur ini sangat akrab denganku, seakrab Sponge Bob dengan spatulanya, ataupun Asma Nadia dengan penanya. Jangan tanya tentang masakanku, bahkan tetangga saja selalu memujiku ketika dicicipinya masakan buatanku.Tapi kini inilah masakanku. Bahkan Si Pussy, takkan mau melahap habis dengan aroma dan warnanya yang unik begitu.

Memang aku berubah sejak hatiku kembali jatuh cinta. Bawang, cabe, wajan, ulekan dan lainnya tergantikan dengan hadirnya laptop mungil cantik yang membuatku terpesona. Bangganya menjinjing laptop ke kampus, membawanya hingga ke pameran, bahkan mengitari mall berjam-jam.
Laptop selalu setia mengisi ransel yang bergelayut di punggungku seakan ikut menyuarakan ke dunia bahwa aku ini mahasiswa. Status sebagai yang membanggakan, di tengah masyarakat yang masih saja menganaktirikan pentingnya pendidikan.

“Jadi mahasiswa itu bikin tambah keren penampilan. Mahasiswa itu ”siswa yang mahal” tidak ada tingkatan status siswa yang lebih tinggi selain mahasiswa”perkataan temanku itu selalu kuingat. Walau sebenarnya menjadi mahasiswa adalah masa-masa awal menuju sekarat. Hal itu yang dikatakan dosen waliku di semester satu.

Terbuai dengan status mahasiswa.Itulah kebanyakan orang adanya. Ikut berbagai demonstrasi cuma karena ingin bergaya, dan sedikitpun tak mengerti esensinya. Juga organisasi dan kepanitiaan dengan semangat menggunung di awal, dan perlahan turun hingga tersisa di akhir kisah.

Akulah Nadia, mahasiswa semester tiga universitas negeri di Jakarta. Hidup di kota, dengan latar belakang kehidupan di daerah.

Menjadi mahasiswa di kota, dengan kebutuhan hidup yang mahal adanya adalah takdirku. Perut keroncongan, dan warung menjadi pilihan utamaku. Tak peduli, siang, malam ataupun pagi waktu itu. Penghematan adalah kamus hidupku. Kafe ataupun rumah makan? Jangan ditanyakan. Aku akan hanya datang jika mendapat traktiran teman.

Sebenarnya, kuliahku mendapat tantangan dari orang tuaku. Serupa dengan berjuta mahasiswa Indonesia lainnya, masalah utama ada pada biaya. Biaya kuliah yang tak bisa dijangkau masyarakat bawah, yang hanya akan menjadi sesuatu yang mewah. Sementara jaminan mendapat pekerjaan juga belum ada. Daripada menengok pengangguran walau bergelar berbagai macam, Ayahku lebih mendukungku untuk menikah.

“Tidak Yah”, tegasku saat itu menolaknya,”sekarang sudah bukan zaman Belanda. Perempuan pun memiliki prospek cerah jika memang melakukan yang terbaik dengan pendidikannya”, ujarku tegas. Kepalaku memang keras. Sekeras watak Ayahku yang sulit sekali diruntuhkan. Tapi aku terlanjur terpengaruh beberapa buku yang ku baca tentang mimpi dan usahaku tuk mewujudkannya.

Dan akhirnya aku kuliah juga. Walau restu Ayah ku dapatkan lewat telepon genggam dengan tangisan Ibu dan kakak perempuanku di belakangnya. Kemantapan sudah menyelimuti belantara hatiku adanya. Tabungan dan uang saku dari saudara-saudaraku menjadi bekalku.

Aku durhaka. Memang itulah yang ada di benak Ayah. Aku menyembunyikan niatanku kuliah, dan hanya tak memberi tahunya karena merasa sudah tahu hasilnya. Tapi alhamdulillah, kepulanganku saat semester satu waktu itu disambut Ayah dengan suka cita. Entah bagaimana dia berubah, dan memaafkanku dengan adanya pendirian keras dalam dirinya.

Akulah Nadia, mahasiswa semester tiga universitas negeri di Jakarta. Memiliki mimpi walaupun sumber daya tak mumpuni. Selain masalah keuangan, otakku menjadi pas-pasan ketika disandingkan dengan mahasiswa lainnya. Aku suka ini. Bertemu dengan mereka yang jauh lebih tinggi, memicu gelombang semangat berloncatan tuk meraih prestasi.

DI SMA, prestasiku memang tak membuat sejarah. Hanya sesekali juara kelas dan itupun tak bisa dikategorikan membanggakan untuk ukuran daerah. Olimpiade di tingkat Kabupaten hanya sekali kumenangi dan itu juga bukan bukti otakku cerah.

Sementara, mereka mahasiswa lain memiliki prestasi berbagai macam. Dari Olimpiade Nasional, hingga juara tingkat internasional yang menjadi langganan. Luar negeri, bukan lagi menjadi mimpi untuk dikunjungi, karena liburan sudah jadwalnya mereka transit secara rutin tanpa sangsi. Tak ada lagi masalah ini, itu yang hanya membebani. Fokus dengan berbagai penelitian yang mereka geluti, organisasi dan kepanitiaan yang mereka ingini. Jadilah kuliah tenang mereka alami.

Bagaimana denganku? Ibukota tak lagi ramah menyapa saat ku tahu biaya hidup disana yang ingin membuatku muntah. Untuk buang air kecil harus bersusah mengeluarkan biaya, bahkan orang sekarat pun harus rela memesan kuburan sebelum ajalnya tiba jika tak ingin kesusahan di hari H. Suasana yang amat berbeda dengan di daerah.

Aku tak memiliki otak cemerlang yang membuatku bisa menangkap semua materi tanpa persiapan. Untuk itu aku hanya bisa berjuang. Dengan segala tenaga tersisa sembari waktu luang untuk berjualan guna menambah penghasilan, ku gunakan laptop pemberian saudaraku untuk selalu mencari materi tambahan. Perpustakaan pun menjadi tempat langganan.

Aku memimpikan kuliah sejak lama. Sejak ku tahu Pamanku selalu ditolak kerja karena tak sampai lulus sekolah dasar. Juga beberapa tetanggaku yang hanya lulusan SMP, pulang dengan tangan hampa setelah merantau berbulan-bulan di kota. Menjadi TKI dan TKW? Setidaknya daerahku sudah tak lagi memutus keinginan itu. Sejak kasus warga kami yang disiksa hingga mati, situasi itu membuat tetua desa rapat dan melarang lagi ada warganya yang kerja di luar negeri. Lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang.

Akulah Nadia, seorang perempuan yang memilih kuliah dan meninggalkan daerahku tercinta.

Mimpiku kuliah pernah surut kala tahu pengangguran di negeri ini yang juga banyak dari kalangan almnus mahasiswa. Juga banyak berita mahasiswa kerjanya tawuran, mencipta kerusuhan tanpa sebanding dengan status pendidikan yang mereka emban ataupun biaya yang sudah orang tua mereka keluarkan.

Sementara prestasi mahasiswa menjadi pelipur kekecewaanku, berbagai mimpiku yang ternyata mensyaratkan gelar strata satu didapatkan memberi motivasi kepadaku. Itulah obat mujarabku. Menjadi mahasiswa, kian dekat dengan mimpiku tuk jadi seorang dokter yang bisa membuatku takkan lagi melihat tangis perempuan yang kehilangan bayinya saat anugrah itu hendak waktunya lahir. Cukup Ibuku yang terakhir ku lihat, dan suasana kelam kehilangan adik kecilku akan ku pendam dalam ingatan.

“Hanya karena tak ada biaya, dokter tak mau membantu persalinan. Kurang ajar !”, ku ingat kata-kata Ayahku saat itu. Kami berduka berbulan-bulan. Panen yang gagal, memicu tak ada persiapan saat Ibu hendak melahirkan. Seorang mantri di puskesmas yang akhirnya tak berbuat banyak karena tak ada peralatan untuk operasi adikku yang katanya sungsang. Rumah sakit masih jarang, adanya di kota seberan. Sementara tak ada lagi biaya karena gagal panen membuat bantuan tetangga juga tak menjawab keadaan.

Dukun beranak? Jangan tanyakan itu kawan. Keluargaku adalah keluarga muslim taat yang anti dengan apapun namanya yang bersekutu dengan jin dan tersesat. Syukurlah, nyawa Ibuku bisa tertolong melalui perantara sang mantri walau dengan peralatan seadanya.

Akulah Nadia, mahasiswa semester tiga universitas negeri di Jakarta. Hidup di kota, dengan latar belakang kehidupan di daerah.

Pernah saat itu seorang senior menyatakan cintanya. Balutan jilbabku tak kuasa menjawab bahwa prinsipku teguh kepada agama untuk tidak mendekati zina sebelum menikah. Untuk itu aku harus bersusah payah. Menjelaskan dengan penolakan halus walau sebenarnya ketampanan dan kecerdasannya memikat hatiku jua. Tapi maaf, aku mahasiswa dari daerah. Yang harus rela berkonflik dengan orang tua dulu sebelum bisa kuliah. Untuk itu ku kan tepis bagaimana sakit hatiku dirasa, agar tetap kuliah menjadi prioritas utama. Karena lahan pertanian yang keluargaku jual takkan pernah kembali jika kesuksesanku menjadi mimpi.

Akulah Nadia, mahasiswa yang masih jua tetap bangga menjadi mahasiswa.

“Pendidikan adalah tidak penting”, cuplikan film Alangkah Lucunya Negeri Ini itu membuatku tak bisa berkata apa-apa. Persis keadaan di disana. Kala pemuda hanya bangga lulus SD atau SMP dan akhirnya langsung menikah, melanjutkan pekerjaan orang tua seraya menikmati warisan yang ada. Begitu seterusnya. Hingga akhirnya kehijauan hutan kami sirna perlahan. Tertelan kebutuhan manusia yang tak kuasa melestarikan, tapi hanya ingin mendapatkan lebih dan lebih secara instan.

Daerahku kaya, untuk ukuran sebuah daerah. Disana ada pertambangan yang mulai dibuka sejak lama oleh perusahan yang entah namanya apa. Jadilah ada opsi lain, selain bekerja di ladang juga bisa menjadi karyawan pertambangan. Tapi entah mengapa tak ada perubahan. Sejak zaman buyutku hingga sekarang, angka kemiskinan masih saja tak bisa dibayangkan.

Daerahku? Ah tidak kawan. Semua daerah begitu di negeri ini. Memiliki mahasiswa di seluruh penjuru negeri tapi tak bisa membuat perubahan di daerahnya sendiri. Sarjana, gelar bergengsi itulah yang kini melekat pada para pemimpin di Bumi Pertiwi. Sarjana, Profesor, Doktor adalah juga mahasiswa yang pernah berjuang menyelesaikan skripsi, tesis dan disertasi. Pastilah mereka dulu lebih sulit kondisinya tuk memasuki bangku perguruan tinggi. Tapi dengan banyaknya angka korupsi, aku sendiri ragu apakah mereka pernah kuliah. Merasakan beratnya merangkai mimpi hingga dalam genggaman semua itu kini.

Akulah Nadia, mahasiswa dengan segala kekurangan yang ada tuk tetap melanjutkan kuliah. Tapi aku bangga menjadi mahasiswa, karena aku yakin perubahan itu bisa terlaksana, kala mahasiswa selalu bangga akan statusnya dan menjadi pelopor perubahan dimanapun mereka berada.




Cerpen ini ikut dalam Festival Fiksi Kompasiana 2011 dan ikut pula dibukukan.

Selasa, 15 Maret 2011

UN: Perubahan Dijanjikan, Perubahan Tak Kunjung Datang

Ujian Nasional, mengingatnya tak pelak membuka kenangan akan guru Biologiku semasa berbaju putih abu-abu. Kalimat yang tak panjang, tapi kencang dan lantang ia dengungkan. Menusuk, hingga terasa sampai ke tulang rusuk.

 “Kalian tidak perlu sebenarnya datang pagi-pagi kesini, bersusah payah mengikuti pelajaran tambahan jika hanya demi UN”, ujarnya tiba-tiba di kelasku. Kami pun terheran-heran, hingga pikiran negatif mulai bermunculan. Ada apa? Apakah tidak ikhlas berangkat pukul 06.00 demi mengajar? Memang, honor dari pelajaran tambahan persiapan UN tidaklah besar. Tapi program ini setidaknya cukup membantu para pelajar.

“Memang kenapa Pak?”, tanya seorang siswa pelan.

“Mas, sampeyan ini ko’ ya nanya kenapa? Jelaslah, UN kita hanya butuh itu”, tambahnya dengan logat jawa kental seraya menyindir dengan menunjuk seorang murid yang ternyata baru saja menggunakan telepon genggamnya diam-diam saat pelajaran.

“Kalian punya ini bukan?”, lantangnya dengan mengacungkan sebuah telepon genggam. Tak perlu ditanya, kantong siswa beratribut putih merah pun kerap berisikan benda itu sekarang. Sementara beberapa dari kami masih bingung, sungkan dan agak tersipu dengan kenyataan senjata perang telepon genggam bukannya pensil, penghapus ataupun buku-buku latihan.

“Dengan ini kalian tidak memerlukan belajar. Buang aja buku biologi kalian kalau mau...! Silahkan..! Jadi bagaimana?”, nadanya yang keras pun sontak memupus sisa-sisa wajah gurau di sebagian sudut ruang kelas. Atmosfer sangsi pun terlihat dari beberapa paras. Beberapa melihat kanan kiri selaras. Tetap saja tak tak satupun terlontar sebuah jawaban jelas.

“Kalau semua diam, artinya setuju”, nadanya merendah. “ Bagaimana kalau kita pulang saja sekarang. Saya lho juga masih ngantuk”, tambahnya seraya memasang tampang jenaka. Spontan, suasana panas pun mulai mencair segera.

“Jadi milih mana kalian ?”, nadanya kembali tinggi. Serentak pula seisi kelas mendadak kembali sepi.

“Milih belajar Pak”, sebuah suara mengawali diikuti serentak dengan perlahan oleh semua. Suara apakah ini? Suara hati? Ataukah sebatas suara diri yang merasa gengsi?

“Kalau begitu kalian berani nggak berjanji sama saya, UN nanti akan berusaha tidak mengandalkan orang lain?”, lanjutnya.

“Iya Pak”, kembali serentak semua menjawab. Lebih pelan kali ini. Maklumlah, ini berhubungan langsung dengan janji. Sebuah komitmen dari dalam diri. Tapi apalah artinya? Janji tinggal janji.

Sementara pelajaran tambahan tetap berjalan, jadwal try out UN pun bergilir tuk digelar. Namun Try Out berjalan jauh dari harapan. Bagaimana tidak? Dana Pemerintah Daerah dan pihak sekolah terkesan dihambur-hamburkan dengan simulasi UN yang ternyata juga penuh kecurangan. Curang? Bagaimana bisa UN yang tiap tahun digadang-gadang ada perubahan masih demikian?Apalagi ini hanya simulasi. Simulasi kecurangankah?

Try out digelar. Ditekankan sejak awal tuk berlaku jujur memang. Alasannya jelas, untuk mengukur kesiapan. Namun, tujuan pun tinggal tujuan. Akhirnya melenceng dari arahan. Miris kala tahu try out hanya banyak digunakan tuk berlatih melakukan kecurangan.

Berlatih? Jangan harap bisa spontan tanpa dibiasakan Bung! Sebenarnya kita patut bersyukur diberikan nurani yang membantu kala membedakan yang kotor dan bersih. Saat memilih yang kotor, nurani menolak, seraya diripun bergejolak dan kadangkala gemetar dan cucuran keringat tak dapat terelak. Pun dengan yang bersih, kadangkala iri hati menjangkiti, apalagi ketika hasil mengecewakan diraih. Itulah anomali yang terjadi.

Berbagai alasan mengemuka, dari mulai rasa malu akan nilai pas pasan yang dibuka, solidaritas dengan teman yang diasah di muka hingga persiapan mental di hadapan pengawas ujian agar peka. Alasan yang wajar jika ditelisik dengan pemikiran awam. Menghalalkan apapun demi tujuan. Merelakan nurani yang terkoyak menghapus kebenaran. Mereduksi jiwa yang ingin menggapai sebuah impian.

“Hey ini try out Bung”, begitulah candaku kepada seorang teman yang meminta jawaban. Perlahan mereka pun memaklumi. Dengan congkak aku bersenandung, yakin jawabanku pastilah benar tanpa rasa canggung. Benarkah? Aku bingung. Apalagi kemampuan pas-pasanku tak kuasa mendukung. Melihat teman lain menyontek ria, godaan pun tak terbendung. Tapi prinsip bukan sekadar kamus dalam folder benakku. Itu telah menjadi aplikasiku saat itu.

Kampanye try out jujur digelar sebelum itu. Persis seperti arahan pihak guru yang memang ingin mengukur kemampuan kami agar tak lagi ragu. Catatan Facebook menjadi alat utamaku, diskusi dan ajang curhat teman sekelas menjadi pendukungku dan akhirnya para teman dekatku pun perlahan mengikuti jejakku.

Hasil try out diumumkan. Tidak ada kejutan. Nilai parahku pun ditampilkan. Dikirimkan kepada orang tua yang akhirnya pun ku hilangkan. Inikah akibat sok pintar? Entahlah. Beberapa teman yang mengaku jujur pun terlihat murung dengan hasil muncul. Setidaknya bisa bangga dengan kejujuran yang ditegakkan, ayo bertahan. Seruan hati yang terbungkam.

Sementara beberapa yang mengimplementasikan try out sebagai sarana coba-coba kerja sama pun berjaya. Kini mereka melatih metode tak terbatas tuk berlatih mengelabui pengawas. Parahnya, saat itu pengawas pun hanya menganggap itu try out biasa. Padahal sebaliknya, atmosfer ujian nasional harus membahana. Bukan justru ujian kampungan yang hanya membuang dana, sekadar implementasi tanpa hasil program yang ada. Begitukah?

Di beberapa sekolah lain memang try out diperketat, tapi disalahgunakan pula tuk membuat sekat. Dengan sekat akan diketahui siapa saja yang berbakat dan nantinya bisa membantu mereka yang kemampuannya sekarat. Tak percaya? Jangan percaya, cukup saja anggap semua ini bualan maya. Tapi coba tanyakan saja kepada mereka yang tak berdaya, bagaimana pihak sekolah membuat budaya agar yang kemampuannya agak gelap menjadi terang dengan sedikit cahaya.

Budaya itu dibangun, dipupuk dan dilestarikan demi mengejar kata beres. Beres hingga di akhir kisah bisa dipampang spanduk bertuliskan “Terima kasih atas doanya, sekolah kami lulus Ujian Nasional 100% dan sukses”. Mungkin perlu ditambahkan “Sukses mengurangi korban yang terancam stress”. Jika sudah demikian, pihak sekolah sudah menganggap sukses dengan budaya serba beres. Budaya? Saya sejak tadi menyebutnya budaya disini bukan karena ini program gres. Khususnya untuk SD dan SMP, hasil UN akan menentukan akses untuk memilih jenjang selanjutnya yang dikenal favorit dengan banyaknya alumni yang sukses.

Di sisi lain pihak sekolah tak ingin melihat anak didiknya hanya meringis, saat yang lain bisa memilih sekolah dengan optimis. Menangis saat mimpi siswanya sebagai saintis harus kandas oleh ganasnya persaingan najis. Najis? Sekolah berlandas agama pun tak kuasa menganggapnya najis. Apakah mereka naif? Tidak. Sama sekali tidak. Reformasi sistem pendidikan disuarakan, tapi yang di Jakartalah pemegang kendali perubahan.

Jika ingin perubahan, jadilah menteri pendidikan. Begitukah kawan? Setidaknya itu yang bisa kupikirkan. Mengapa demikian? Setelah pihak dinas pendidikan menyerahkan pengawasan kepada perguruan tinggi yang kerap memiliki gelar pengawas “independent” disamping pengawasan dari guru sekolah lain, untuk tahun ini ditiadakan. Dirubah sana, dirubah sini. Diobok-obok berdalih evaluasi.

Saya kadangkala bingung, dimana genderang profesionalisme yang digadang-gadang akan berdengung? Apalagi saat tahu pengawas ujian mau diperdaya pihak sekolah untuk mengawasi dengan aman. Apakah mendapat ancaman? Memang masalah UN bukan sepele dan patut disepelekan. Pernah saya mendapat cerita dari guru saat menjadi pengawas harian, beliau mendapat ancaman pembunuhan. Bayangkan! Honor yang tidak serta merta mengeyangkan, berbuntut nyawa dipertaruhkan.

Belum lagi politik saling sandera antar sekolah. Katanya bertujuan semata-mata demi kesuksesan bersama. Analoginya mudah, jika sekolah A yang dijaga pihak sekolah B memperketat pengawasan, hal sama akan dilakukan oleh pengawas di sekolah A. Terlepas pengawas itu dari sekolah B atau di luar. Kongkalikong yang sudah membudaya, indah jika dilihat dari aspek gotong royong dan kerjasama. Tapi apakah disini tempatnya berada?

Makin parah dengan citra sekolah yang selalu harus dijaga. Apalagi sebagian besar masyarakat dengan awamnya masih merasa, hasil UN gambaran mutu sekolah. Coba lihat, mereka yang hasil UN terbaik dengan bangga diwawancara hingga masuk layar kaca.

Syukur jika memang jujur, dan semoga saja nantinya mujur. Tapi apakah manjur untuk menghasilkan budaya belajar teratur? Dari luar memang terlihat etos belajar tinggi jelang jelang UN menggempur, Pemerintah pun membanggakan itu penuh rasa syukur. Tapi di sisi lain budaya curang yang tetap tumbuh subur, hanya menggerogoti penerus negeri perlahan hingga hancur. Bagaimana bisa tercipta generasi berhati kejur tuk selalu jujur?

Bagaimana jika UN dijaga pihak tentara saja? Berseragam lengkap dengan senjata. Bentakan dan todongannya pasti akan membuat kecut siswa tuk curang dengan sengaja. Tapi jangankan teguran keras, pengawas juga dilarang berkeliling kelas.Mengganggu konsentrasi katanya. Jadi bagaimana bisa melihat telepon genggam ataupun kertas ajaib yang berkeliaran jika hanya dari depan?

Sistem salah? Benarkah? Setidaknya mereka yang berkoar anaknya, sanak familinya, ataupun siswanya tak jadi mendapat kelulusan walau diklaim prestasinya mentereng dan sudah diboking kampus keren masih saja sering berdemo dengan rela. Walaupun pengadilan terhadap penuntut UN telah memutuskannya kalah.

Di tiap tahun sudah ada perubahan, begitulah dalih Pemerintah melindungi UN tuk selalu ada. Muak sekali ketika melihat mereka menutup mata. Disini ketat, disana longgar. Untungnya pihak sekolah favorit berinisiatif memulai perubahan. Tak lagi berlaku 100% hasil UN mempengaruhi peluang masuk sekolah mereka. Mereka sudah tahu kebobrokannya, sudah bercengkerama dengan kerusakan budayanya, dan tanpa pilihan mereka pun terlibat di dalamnya. Di tahun 2011, UN pun diklaim akan berubah, tapi apakah sekadar wacana? Dan mungkinkah “mimpi” pemerintah menjadikan UN menengah atas sebagai acuan memasuki bangku kuliah? Kita lihat saja.

UN: Kala Jujur Tak Lagi Mujur



Ujian nasionalku, mungkin tak kurang sama dengan yang banyak dialami orang lain yang mau mengaku. Bagaimanakah?

“Anak-anak, silahkan ya kalau seandainya mau kerjasama. Tapi ada syaratnya”, ujar pengawas itu setelah membacakan tata tertib ujian nasional dengan lantang di depan. Nadanya pelan, seakan penuh keraguan. Sangat beda saat tata tertib tadi ia dengungkan.

“Apa Pak syaratnya?”, sela seorang anak tak sabar.

“Kalian jangan ramai. Pelan-pelan saja ya. Karena jangan sampai yang di luar tahu”, arahnya dengan sedikit memasang senyum seraya mengalihkan pandangan ke luar.

Serentak semua pun berkoar dengan perlahan, “ Hore”, dengan gembiranya.

“Hah, apa-apaan ini?”, pikirku dalam hati. “Aneh. Ko’ ada ya begini?” Saat itulah ujian nasional pertamaku. Masih lugu? Sebut sajalah begitu. Dengan baju putih dan bercelana panjang merah, aku dan beberapa temanku didampingi ustadz ke tempat kami akan melaksanakan ujian.

“Ustadz, Raffa nggak mau nyontekin itu lho”, adu seorang kawan selepas ujian.

“Iya, pelit. Mentang-mentang bisa”, tambah yang seorang lain.

“Fa nggak apa-apa, ajarinlah temennya dikit-dikit. Kasihan jika sampai nggak lulus nanti. Jadi bantulah teman-temanmu ini sedikit ya”, jawabnya. Hal yang sama diutarakannya kepada yang lain.

“Emang boleh?”, pikiran itu berkecamuk dalam benakku. “Mengajari sedikit mungkinkah dosanya sedikit pula? Jika ustadz menyuruhku demikian, kenapa tidak?” pikiran itu kembali membimbangkanku. Tapi, mereka bukannya siapa. Dengannya selama enam tahun ini belajar, bermain dan bersuka duka dengan indah. Apakah cerita indah itu semua akan diakhiri dengan keangkuhan hati karena beberapa hari terakhir ini tak lagi bekerjasama? “Baiklah”, aku pun akhirnya memaklumi.

Hasil diumumkan. Mengecewakan? Dari nada-nadanya orang tuaku menyesalkan. Salah siapa? Sekolahku yang masih baru itu? Atau aku? Entahlah. Setidaknya itulah pengalaman. SDIT di kota kecilku adalah sekolah yang baru didirikan. Aku menjadi satu dari delapan belas angkatan pertmanya. Pertama? Ya pertama. Jadi boleh jadi pihak guru pun belum terbiasa menyuruh siswanya bekerjasama, beda dengan mereka yang berpuluh tahun merasakan asam garam budaya itu dan menularkannya ke siswanya.

Trauma? Ya. Gara-gara itu aku pun hanya bisa melanjutkan di sekolah umum yang diklaim hanya nomer dua. Harapan besar padahal muncul dari orang tua. Tapi apalah semua hanya berujung duka.

Sejak itu aku berubah. Memasuki masa kelam di kala putih biru melekat di dada. Bagaimanakah? Aku berhasil membujuk orang tuaku dan mendapatkan telepon genggam pertamaku. Bermacam dalih ku kemukakan yang akhirnya meluluhkan orang tuaku yang saat itu masih beberapa bulan memegang telepon genggam pertama mereka.

Untuk apa? Itu, sesuai saran teman-temanku. Mempermudah komunikasi, itu pasti. Dengan itu, aku bisa menjalankan peran tuk beraksi. Menyebarluaskan jawaban bahasa Inggris yang satu-satunya bidang keahlianku tanpa sangsi. Beda kelas, atau mungkin sudah beda sekolah tak sekalipun membuatku risih. “Biarlah”, pikirku saat itu. Dengan itu, problematika Bahasa Indonesiaku yang tak lebih dari tujuh di tiap try out sudah basi. Semua teratasi.

Tapi aku menyadari, saat itu aku mulai belajar membunuh rasa bersalah dalam diri. Tiap getaran nurani tuk mengelak, ku pun ikut mengamuk. Apalagi beberapa teman agaknya lebih ahli dalam masalah curang, yang akhirnya membuatku belajar beberapa trik mereka perlahan.

“Aku lho ngerjakan itu sendiri”

“Iya tapi liat itu hasilmu. Hanya tujuh? Itu sudah tidak cukup masuk SMP 1”

“Tapi mereka yang dapat bagus contek-contekan Bu”

“Ah, jangan kebanyakan alasan. Kamu terlalu banyak main PS, malas, dan ogah ogahan belajar”.

Percakapan itu menjadi memori burukku, memori yang menghapus segala keindahan enam tahun bersekolah di sebuah jenjang dasarku. Mungkin aku dari sekian juta anak negeri yang disalahkan karena memilih mengerjakan sendiri walau kemampuan mumpuni yang berujung hasil yang perlu ditangisi.

“Apa yang mereka tahu?”, pikirku. Hasil, hasil dan kembali hasil. Dan bersyukurlah aku, ternyata keberanianku memainkan berbagai trik dengan telepon genggam ataupun kertas catatan itu membuatku mendapat angka sembilan. Bukan terbaik memang, tapi itu cukup membuat raut senyum bergelayutan. Walau akhirnya masuk Sekolah Menengah Atas favorit pun bukan dengan jalur hasil UN, tapi hasil tes yang tak disangka menggembirakan.

“Anak-anak, jika membawa HP jangan sampai ketahuan ya”, tiba-tiba kata-katanya begitu mencengangkan seraya menyalami para siswa yang baru datang di depan lobi sekolah SMA. Bagaimana tidak seorang guru mengatakan demikian? Guru? Bukan. Itu hanya oknum guru. Pastilah hanya oknum di sekolah menengah umum yang diklaim terbaik mengatakan begitu.Mempersilahkan membawa telepon genggam dan memperingatkan tuk berhati-hati, begitu yang tersirat di benakku. Apakah tidak percaya dengan kemampuan kami? Atau justru program mereka sendiri yang susun untuk UN dianggap basi?

“Lho Pak saya nggak pake HP ko’.. “,balasku pelan sambil tertawa kecil karena merasa disepelekan. Memang aku bukan siswa pandai, tak ada prestasi mentereng yang bisa ku capai, berbagai event olimpiade fisika tak lebih dari sekadar sebagai pengisi waktu santai, dan juara kelas jelas pun tak pernah sampai.

“Iya nggak apa-apa. Terserah kamu. Cuman seandainya mau menggunakan, lebih waspada”, sambungnya.

Aku kecewa. Kata-kata oknum itu bagai menistakan perjuangan guru lainnya. “Anak-anak, bekal yang Ibu berikan ini, dari semua pelajaran tambahan pagi hingga pelajaran biasa dan juga try out sebenarnya cukup. Tinggal kalian mau berusaha atau tidak”, aku ingat betul kata-kata guru bahasa Indonesiaku.

“Belajar lagi ya anak-anak”, atau kata-kata guru Matematika yang ku tahu selalu menahan pedih di balik senyum melihat hasil try out dari para siswanya.

Dan juga kata-kata mereka yang lain. “Fa, Bu Tri itu lho sampai nggak bisa tidur beberapa malam. Kelabakan tahu nilai try out yang tak kunjung menggembirakan. “, ujar guru lesku kala itu. Try out Matematika memang lebih ketat dari yang lainnya. Setidaknya Bu Tri, guru matematikaku selalu berkeliling ke kelas-kelas untuk memasang “mata elang”nya menuntut kejujuran. Hal yang sama ia lakukan di tiap kelas yang dijaganya.

“Kamu lihat soal ini? Atau ini?” ujar Bu Moeljani, guru Bahasa Indonesiaku di rumahnya saat ku kunjungi seraya menunjuk beberapa bendel soal. “Ini hasil ujian semester lalu yang belum sempat Ibu sentuh.” Aku paling merasa trenyuh dengan guruku yang satu ini.

Om Wawan yang sudah dikaruniai dua anak, Tante Yeti, Om Robi, Tante Yuyun dengan lima anak bahkan Ibuku sendiri dengan empat anak adalah anak didiknya di waktu silam. Jadi bisa dibayangkan usianya sekarang bukan? Beliau sudah memasuki masa dimana sebaiknya menikmati hidup. Gajinya pun sudah lebih dari cukup. Tapi kegigihannya tetap berinovasi membuat variasi tipe soal baru meski membuatnya kelelahan hanya karena sebuah alasan, “ Ibu tidak mau kalian menjadi generasi yang dikorbankan”, seperti yang dialaminya di masa silam.

Semua guru pun ku pikir sama. Terlepas bagaimana mereka menggunakan caranya. Mereka ingin yang terbaik untuk siswanya. Bukan sekadar karena tak ingin makan gaji buta, atau melihat siswa berduka di akhir cerita. Keinginannya satu, ingin agar siswanya bisa melakukannya dengan maksimal, ingin agar mendapatkan yang terbaik, syukur-syukur bisa lulus. Mungkin guruku saat berbaju putih merah, dan putih biru juga senada.

Berbicara hasil maksimal, Ujian nasional 2010 lalu kota kecilku digemparkan dengan tiga anak dari kelas spesial di sekolahku yang sudah dianggap nomer satu. Walau akhirnya melenggang terus melalui remedial, berita tak sedap ini sempat memicu kekecewaan para alumnus yang sudah puluhan tahun bisa 100% lulus dengan mulus. “Anak akselerasi itu hanya mencoba bermain lurus”, ujar seorang kawan.

Lurus? Ya, aku mengenal baik kelas itu dari berpuluh pujian yang seringkali didaratkan para guru, tentang keaktifan, kecakapan, dan kerajinan yang melampaui kelas biasa. Usia yang lebih muda justru memberikan lecutan asa. Pastilah optimisme membuat kelurusan prinsip mereka terjaga. “Memang sih mas, di kelasku saat ulangan harian biasa nggak ada yang contek-contekan. Entah karena gengsi, atau memang naluri persaingan yang tinggi. Tapi saat tugas, masih sering kok kerjasama”, aku seorang kenalanku yang juga anggota kelas dengan kecerdasan di atas normal itu melalui chatting facebook.

“Dari beberapa hasil try out memang bagaimana hasilnya?”, tambahku kepadanya. Karena jika pelaksanaan saja jujur, pastilah try out bisa untuk mengukur.

“Keseluruhan parah mas, malah nggak separah kelas lainnya”. Aku takjub mengetahuinya. Dengan hasil try out pas-pasan itu mereka masih saja bersikap ksatria? Subhanallah. Aku tersipu. Pasti kian banyak angka ketidaklulusaan pada semua kelas jika jujur 100% diterapkan. Jika demikian pada sekolahku yang diklaim nomer satu, bagaimana sekolah lain di kota mungilku?

“Harusnya seusai mengerjakan, mereka tak justru tidur, apalagi ternyata pesan singkat berantai berisi jawaban itu tidak melantur”, ujar seorang kawan.

Memang tahun lalu di tiap kali sebelum memasuki ruang ujian, jawaban sudah terlebih dulu beredar. Dan di akhir kisah memang para pengikutnya tak sedikitpun menyesal, karena gosipnya kebocoran soal didapat dari pihak percetakan yang mau dibayar jutaan. Tapi aku cukup bersyukur pihak perguruan tinggi tak sekalipun hasil ujian nasional diperhatikan. Walau masih tak munafik, sempat sedikit kerjasama tapi hanya kanan kiri itupun hanya sedikit. Hasilnya pas-pasan memang. Bahkan salah satu terendah di kelas yang mana sempat aku mendapat rangking tiga.

UN 2011, dengan lima tipe soal, tak lagi menjadi satu-satunya penentu kelulusan, bahkan ke depan digadang-gadang bisa jadi acuan masuk perguruan tinggi. Perbaikan lagi dan lagi. Masih banyak penggemar praktik jujur agar generasi tak tercipta hancur.Maju terus! Bukan mundur teratur karena budaya curang yang sudah terlanjur. Benahi dari tiap lajur, hingga tak lagi ada momen “jujur tak pembawa mujur”.

Rabu, 02 Februari 2011

Kepada Malam Aku Bercerita

“Kondisimu jauh lebih baik dari Om Marwan dulu le”, ujar nenek tadi sore. Berkali kali memang orang mengatakan itu kepadaku. Dari mulai nenek, tante Yenti, hingga Abi dan Umi. Ya, kondisiku jauh lebih baik. Tak terbelit masalah keuangan, makan pun cukup tak pernah kelaparan, tak sedikitpun perpecahan keluarga yang membayang.

Jika dibandingkan dengan Om Marwan, aku memang jauh. Dia memang langganan juara semasa SMA, melanjutkan tradisi kakak-kakaknya sebelumnya. Dan aku generasi setelahnya, memang di SMA yang sama bersekolah, tak kuasa mengukir sesuatu yang “wah”. Hanya biasa. Bahkan masuk kesana pun hanya sekadar keberuntungan yang tak terkira.

IP semester pertama yang kurang nol koma nol lima mencapai tiga buktinya saat kini kuliah. Aku tidak beruntung, walau sudah berusaha. Dan itulah hasilnya. Kecewa? Tentu iya. Dengan berbagai jaminan fasilitas, aku tak bisa menjalankan peran sesungguhnya. Berbeda dengan mereka, sembari kerja sambilan prestasi masih digenggam tuk dipersembahkan kepada orang tua.

Sebenarnya musuhku hanya satu. Saat keinginan sudah direncanakan digapai, dengan langkah ini dan itu musuh itu datang menyerbu. Aku ingin perbaiki seranganku. Tapi apa daya kala musuhku adalah diriku sendiri.

Saat memenuhi target belajar, tak kuat rasanya. Parah memang. Tak sampai tiga jam, aku pasti sudah KO oleh bosan. Apakah ini sikap pemalas? Entahlah. Tapi saat jelang hari H, seakan penyakit itu lenyap dengan sendirinya.

Konsentrasi bisa penuh berjam jam, tapi apa daya. IQ yang pas-pasan tak mendukung sistem kebut-kebutan seperti ini. Hasilnya takkan maksimal.

Andai aku pandai pasti aku bisa. Belajar berkualitas tanpa cepat bosan ataupun terserang kantuk hingga hasilnya pun memuaskan. Jadilah tak perlu sering apalagi dengan prekuensi tinggi. Jadilah itu belajar cerdas, bukan belajar keras.

Tapi IQ pas-pasan ini menjadi kendala tersendiri. Jadilah hanya bisa belajar keras.

“Sudah malas, bodoh pula.” Parah kali itu kata-kata. Jika malas tapi pandai, bolehlah. Tapi ini, bagaimanakah?

Setidaknya aku ingin, “walau bodoh masih [agak] rajin”. Karena terdengar masih mending. hehehe

Tapi bagaimana bisa rajin jika belajar tak kurang dari 2 jam saja udah nggak tahan. Ada saja yang jadi ganjalan.

Aku iri dengan banyak kawan. Misal, sepupuku yang tahan belajar habis maghrib hingga jam sepuluh malam. Itupun sore masih ikutan beljar di les-lesan. Dia tahan berjam-jam di depan buku pelajaran. Hasilnya pun menggembirakan, hingga pernah menang olimpiade matematika tingkat kabupaten.

Bayangkan. Itulah kekuatan konsistensi pikiran. Dan aku tak memilikinya.

Tapi, bukan kamusku jika menyerah dengan keadaan yang ada. “Tak ada yang sia-sia”, sama seperti kata kakak mentorku tercinta. Semester lalu sudah ku buktikan walau masih belum bisa jadi bukti nyata.

Matematika yang dulu sewaktu SMA selalu (baca always) remedi, kemarin sudah mulai bertemu titik terang hingga dapat B di semester pertama kuliah. Ajaiblah, apalagi itu jauh lebih murni dari hasil SMA. Walau jika lebih giat lagi nilai A bukan sekadar wacana.

Ah sudahlah. Harus lebih baik semester depan. Kemarin sempat patah arang hingga merengek ingin diberi opsi ikut kembali ujian STAN. Tapi penyakit lainku masih ada, "Suka padahal tak Bisa". Beda dengan kebanyakan orang yang menyukai sesuatu dimana mereka ahli di dalamnya. Bahkan ikut olimpiade fisika, tak pernah menang dan hanya partisipan juga masih tetap saja "suka". Jadilah STAN hanya tak lebih dari rencana orang tua, karena aku telah terlanjur suka di bidang ini.

Ku tutup ceritaku kepada malam dengan asa indah. Yang tak hanya di pelupuk mata, tapi hingga ke hati biar selalu terjaga.



Lumajang, 2 Februari 2011


Catatan Aneh Sebelum Kembali Ke Tanah Perantauan

Selasa, 01 Februari 2011

Hari Ini Ku Lepaskan Kau Dari Hatiku


Uraian Fiksi.

Terinspirasi Sebuah Lomba Yang Tak Jadi Ku Ikuti.

30 Januari dini hari, aku terbangun sama seperti dua tahun belakangan ini. Entah karena kalender di telepon genggamku yang terlanjur ku set untuk mengingatkan diri, atau mungkin aku yang terlalu munafik untuk mengakui masih saja ada rasa itu di hati.

Pikiranku sendiri tak bisa bertoleransi dengan janjiku pada diri sendiri ketika pesan pesan singkatmu yang perlahan ku baca ulang. Entah sudah berapa lama itu ku simpan. Tanpa tujuan. Tapi aku ingat momen itu, saat tiap bunyi pesan darimu di selalu ku tunggu. Dag Dig Dug...

“Aku tak berubah, sama seperti dulu”, ungkapmu kala itu. Aku hanya bisa membaca pesan singkatmu itu dengan senyum. Dingin malam yang menusuk pula membangkitkan kerinduan lama yang sudah ranum.

"Aku malah sudah berubah”, balasku saat itu. Ya, aku memang berubah, tapi tak sepenuhnya berubah. Seperti Surabaya yang selalu saja kau anggap indah kala petang menyapa. Akan tetap Surabaya walau polusi udara merenggut udara segarnya.

Perubahanku, aku membanggakannya. Walau terbesit di benakku akan keraguanmu dari nada rangkaian indah kata-kata. “Maaf aku sok tahu”, entah berapa kali ku ucap itu kepadamu. Aku memang tak seperti dulu, selalu aktif mencari kabarmu tuk selalu berusaha ada saat kau butuh. Dari teman-teman dekatmu, ataupun status facebook milikmu, selalu ku dapati info terbaru. Dengan itu, aku punya alasan menghubungimu. Tidak hanya sekadar basa basi menanyakan kabar terbaru. Tapi untuk meringankan beban pikiranmu, walau aku pun tahu sepatah kata dari pesanku tak cukup berarti untukmu.

Tapi sejujurnya, dari semua itu aku ingin menemuimu. Setidaknya niat kecil itu terbesit kala ku langkahkan kakiku menyusuri stasiun dengan sendu. Namun hingga saat terakhir liburanku, aku tak bisa mengatakan itu kepadamu. Jangankan mengajakmu bertemu, sikapmu yang mendingin saja sudah membuat lidahku kelu. Tapi aku tak ingin banyak mengeluh. Aku tahu, mungkin takdir tak membuat rasaku ini menjadi rasamu.

Hari ini, ku lepaskan kau dari hatiku.


--------------------

“Fa, kamu sekarang ama siapa?”, berbagai pertanyaan yang kerap kali mengganggu. Mengganggu, karena akan mengingatkanku pada dirimu. Menelisik kenangan lama yang telah kau isyaratkan tuk kau tutupi dengan kenangan barumu yang mungkin jauh lebih indah. Indah? Aku hanya bisa menerka. Tatkala dirimu yang tak lagi terbuka, bagaimana aku tahu hatimu sedang terluka.

“Bukannya kamu sedang dekat sama si anu, si itu ...” , begitu ucapan penolakanmu dua tahun silam kau ungkapkan. Padahal sudah jelas, tanpa secercah kesangsian yang menggilas tiap kata yang ku retas. Tapi tidak bagimu.

“Fa, kamu pulang sama siapa?”

“Sendirian”

“Boleh nebeng ya...”

“Hmm, gimana ya.. Baiklah”

Percakapan yang seringkali menghadangku. Dan kau pasti tahu aku tak kuasa menolak permintaan bantuan teman-temanku. Walau aku selalu berharap kau tak pernah melihatku jika begitu. Kau tahu itu, atau mungkin memang tak sekalipun mau tahu. Entahlah. Tapi tahukah kau saat itu? Aku hanya tak ingin dianggap baik hanya kepadamu, hanya karena kau adalah yang spesial di hatiku.

Mereka teman-temanku. Dan aku tak ingin mereka kehilanganku hanya karenamu.

Dan itulah juga kenapa hari ini, ku lepaskan kau dari hatiku.

Aku ingin seperti Pras, tokoh dalam novel Istana Kedua karya Asma Nadia. Tahukah kau, dia tak pernah jatuh cinta. Atau boleh dikatakan setidaknya dia membelenggu hatinya untuk memiliki rasa indah. Bahkan dikisahkan diapun hingga dianggap kuno oleh rekan di kampusnya. Padahal tujuannya satu, tujuan mulia dengan penuh pengorbanan di dalamnya. Dia menyadari betul sulitnya bersikap setia. Karenanya, dia putuskan cinta pertamanya hanya untuk pendamping hidupnya. Agar tak terbesit sisa-sisa rasa dengan yang lain di luar sana.

Awalnya aku tak kuasa mengikuti jejak Pras. Dia membukukan tiap untaian cintanya, bait-bait indah dari rasa kepada seseorang yang tidaklah tahu siapa dan dimana. Hingga tiba saatnya, buku itu diserahkan pada permaisuri yang dipinangnya. Buku itupun menjadi saksi setianya.

Aku terlanjur, memiliki rasa ini untukmu. Itu masalah utamaku. Bagaimana mencegah keterlanjuran itu?

Pras memang tak lebih dari tokoh novel. Yang ada dalam sebuah imajinasi keren. Tapi tidak. Dimana pun Pangeran harus melawan sesuatu yang jahat sebelum menyelamatkan Puteri idamannya. Dan jika sesuatu yang jahat itu adalah diriku sendiri aku pun rela untuk itu. Termasuk jika rasa kepadamu itulah yang harus ku lucuti dengan nyanyian kebangkitanku.

“Aku ingin seperti Pras. Bukan karena dia memilih istana kedua, tapi dia hanya membuat kata-kata indah penuh cinta hanya tuk seorang saja”, itu yang ada di benakku saat membaca novel itu.

Dan tahukah kau, aku memang sudah berubah. Keinginanku, adalah kamus dalam prinsipku yang akan ku ikuti selagi maut belum jua merenggut waktuku.

Karena itu, hari ini ku lepaskan kau dari hatiku.

Jumat, 21 Januari 2011

Sayap- sayap Patah Para Pencari Cinta


Bersama kita lewati
Tiap momen dengan hati
Perlahan saling mengerti
Hingga terpaut penuh arti

“Pak, kelompoknya milih sendiri ya”, suara yang sudah tak asing lagi. Pasti mereka. Mereka? Siapa sih yang tak kenal mereka? Kemanapun mereka bersama. Melangkahkan kaki penuh canda tawa. Dihiasi keceriaan dan kekompakan indah. Ya siapa lagi kalau bukan mereka.

Mereka memang komplit. Anna yang rajin, Vira yang keibuan, Nana yang manja dan Nuri yang suka bergosip ria. Apalagi kepandaian mereka pun sudah tak perlu ditanya. Tiap ulangan pasti tak tercantum nama mereka di daftar remedial. Mereka pun ibarat primadona di kelasku.

“Kan sudah Bapak bilang, satu kelompok lima anak”, ujar Pak Nazril, guru Bahasa Indonesia kami saat itu.

“Tapi Pak, kami sudah cukup berempat saja. Boleh kan Pak”, balas Nana dengan yakinnya.

“Huuuuh”, reriuhan kelas membalas pertanyaan Nana tadi. Memang begitulah mereka, sangat ekslusif. Mereka selalu berkelompok bersama. Pelajaran apapun itu, kecuali guru kami kebetulan tegas dalam mengambil langkah. Itulah yang menyebabkan beberapa kawan kurang simpati kepada mereka. 
Namun, tidak demikian denganku. Karena sedikitpun keekslusifan mereka tak membuat mereka pelit. Mereka murah hati mengajari teman lain bila bertanya. Memberi jawaban tugas atau PR pun juga.
“An, kenapa sich kamu dan teman-teman kelompokmu itu bisa kompak abiisss?”, tanyaku waktu itu. Aku memang penasaran. Aku sudah sejak lama menginginkan memiliki teman teman dekat yang kompak seperti itu. Saling berbagi, saling membantu, dan saling mengingatkan tuk kepentingan semua. Apakah karena mereka perempuan? Dan apakah memang karena para lelaki tak bisa seperti itu?

“Hmm gimana ya”, Anna mengerutkan dahinya. Agaknya dia bingung. “Mungkin karena kami memiliki kesukaan yang sama”, jawabnya dengan cengengesan.

“Apaan emang?”

“Gini Fa, kami itu sukaaaanya Matematika…” , jawab Anna dengan wajah berbinar binar.

“Gila,, matematika disukain? Aku aja akan tasyakuran tujuh hari tujuh malam kalau Matematika dihapus dari peredaran pelajaran SMA”, selaku dalam hati.

“Sukaa film Korea”, tambahnya.

“Iya, Fa, apalagi yayangku Kim Boom yang manis itu hahaha”, sela si Nana.

“Hushh dia milikku, bukan milikmu”, balas Nuri, riuh.

“Betul betul betul”, tambah Vira membenarkan dan bergaya Upin Ipin.

“Dan yang paling penting Fa….”

“Yang paling penting?”, tanyaku balik, penasaran.

“Iya.. Penting buanget nich Fa..”

“Ckckck, naon neng emangna?” balasku, geregetan.

“Kami sama-sama suka cowoook”, seru Nuri dengan lantang. Lainnya pun mengikuti dengan cekikian tak kalah lantang. Anna yang tertawa ala kuda, Vira ala Mak lampir, Nuri ala presenter silet, dan Nana yang malu-malu hingga ketawanya tak sedikitpun memperlihatkan giginya. Saking lantangnya, hingga beberapa anak yang saat itu di kelas melihat ke arah kami.

“Dasar anak perempuan gila, beginilah”, pikirku. Tapi tak bisalah disebut gila. Mana ada orang gila yang selalu lancar ulangan ketika yang lain bercucuran keringat tanda tak mampu, mana ada orang gila yang rajin belajar bersama ketika yang lain menikmati suguhan sinetron di depan layar kaca. Mana ada? Jika ada mereka itulah buktinya. hahaha

Betapapun uniknya mereka, aku masih penasaran bagaimana mereka membangun kekompakan macam itu. Sedang aku, hanya merasa cocok dengan orang tertentu saja dari kaum Adam. Selebihnya mereka tertutup, tidak bisa diajak berbagi, hanya ingin berbagi kesenangan saja. Bagaimana bisa kompak kalau begitu adanya?

“Hei hei, aku masuk kelompok kalian ya bahasa Indonesianya. Dengan begitu kelompok kalian akan pas lima orang”,rayuku. Aku memang ingin tertarik berkelompok dengan mereka. Siapa tahu ketularan rajin. hihi

“Gimana ya. Hmm… Gimana nich guys?”, Anna bertanya balik kepada yang lain.
Mereka berbisik-bisik selama beberapa menit. Dan akhirnya mereka menyetujuiku.

“Lebay amat, gitu aja pake rapat kabinet”, ledekku dengan cengingisan.

“Terserah kami donk”, balas Nana.

Akhirnya aku bisa sekelompok dengan mereka. Awalnya hanya dalam pelajaran bahasa Indonesia, namun setelah waktu berjalan, aku pun terus mencoba hingga dalam pelajaran lain aku diterima lagi untuk satu kelompok dengan mereka.

Tak mudah memang, apalagi bagi anak laki-laki sepertiku masuk di kelompok super ekslusif seperti mereka. Namun waktu berjalan tak sesuai rencana awal. Mereka masih tertutup dan sering berbisik-bisik di depanku.

Dan rumput hijau yang bergoyang menguning sudah
Waktu telah berjalan sesuai jalurnya
Tapi tertutup jua peti hati itu
Terkunci rapat dengan balutan filosofi yang membeku

Setahun berlalu. Kami tak lagi satu kelas. Komunikasi terputus, tersisa memori memori yang aus. Hingga suatu malam, tiba-tiba Anna mengirimu pesan.

“Fa, aku pengen curhat”, tulisnya singkat.

“Yuup, silahkan”, balasku sambil terheran-heran bukan kepalang.

Malam itu diceritakanlah olehnya semuanya. Cerita nyata yang tak terbayangkan siapapun juga tentang mereka. Cerita fenomena anak muda yang tak asing tersampaikan sebagai ide cerita dalam sinetron di layar kaca. Tentang apakah ini? Tentang satu hal, yaitu tentang cinta.

Usut punya usut ternyata tiga dari mereka menyukai orang yang sama. “Itu sudah sejak tahun lalu”, jelas Anna. Orang yang sama? Apakah begitu dekatnya mereka hingga kriteria yang disukai hati juga sama?

“Mengapa baru sekarang ada konflik?”, tanyaku penasaran.

“Karena baru kemarin-kemarin kami sharing masalah ini”.

Parah. Benar adanya saat ku cek lagi keesokan harinya. Sesuai penuturan Anna, mereka terpecah belah. Bak kawanan burung yang selalu terbang bersama, mereka tak lagi sejalan. Satu sama lain saling curiga, tak lagi percaya.

“Bahkan Nuri bilang Fa, persaingan dalam cinta itu tak mengenal batas. Entah itu persaudaraan ataupun sekadar persahabatan. Sejak itu dia tak pernah menyapa. Anna dan Nana sudah mau mengalah, tapi…”, celetuk Vira yang ku temui di parkiran seusai sekolah. Dia sudah menengahkan, tapi apa daya. Ibarat pepatah lama, cinta agaknya membuat satu diantara mereka buta.

“Trus gimana Fa?”, tambah Anna dengan suara lirih.

“Mungkin waktu kan mengubah segalanya”, jawabku singkat. Ya, tak ada lagi cara. Jika sudah bersikeras seperti itu.

Baja keras itu pun kini seperti buih
Terombang ambing terhantam perih
Kala gelombang dahsyat bernama cinta menyapa
Merusak simfoni akan nada-nada indahnya

Sadar disukai para primadona, lelaki itu tampaknya bersikap bijaksana. Dipilihnya salah satu dengan segera. Nuri kecewa, demikian pula Anna walau hanya bisa memendamnya seribu bahasa. Tapi Vira menganggap inilah akhir pertengkaran mereka. Ialah Guntur namanya. Cowok blasteran Indo-Jerman ini memang ramah, gokil dan santun. Pantaslah jika Empat Srikandi itu hingga sempat saling tak tegur sapa. Tapi haruskah sampai begitu?

Dulu kita sahabat berteman bagai ulat
Berharap jadi kupu kupu
Kini kita tlah berjalan berjauh jauhan
Kau jauhi diriku karna sesuatu
Mungkin kita terlalu bertindak kejauhan
Namun itu karena ku ….(adapted by lyric of Sindentocsa)

Seminggu jelang UAN, aku melihat mereka bersama. Berpegangan tangan membentuk lingkaran di halaman belakang sekolah. Dengan perlahan aku menguping pembicaraan mereka. Penasaran. Apalagi setelah mendengar Nana mengakhiri kisahnya dengan Guntur.

“Kita mungkin memang sama- sama para pencari cinta. Terbang bersama laksana kawanan burung di angkasa. Tapi kala salah satu sayap kawan kita patah, kita harus tetap bersamanya. Bagaimanapun caranya”, ucap Vira dengan bijaknya.

“Iya Vir, aku minta maaf ya. Mungkin aku terlalu egois kepada kalian teman-teman”, celetuk Nuri.

“Aku juga. Aku janji akan berusaha menjaga cinta ini demi kalian kawan. Karena kita menyukai orang yang sama, jadi aku hanya mewakili kalian tuk mendampinginya”, balas Nana dengan sesenggukan menahan haru. Guntur tlah berjanji menikahi Nana setelah kuliah, tapi dengan syarat hubungan mereka diakhiri sementara.

“Kita baikaaan”, teriak mereka kompak.

Aku senang, akhir yang bahagia. Tuk semua seperti semula. Dan kini, pelajaran pun tlah ku dapat dari mereka. Sebuah pelajaran akan egosime cinta, yang takkan bisa diungkapkan dengan kata. Karena kala cinta menyapa dan semua terbutakan, hanya pikiran jernih yang bisa mengatasinya.