Halaman

Assalamualaikum, welcome

Sebuah eksplorasi hati...

Senin, 04 April 2011

Petuah Sederhana


Ujian nasional kian dekat. Sekolah manapun pasti akan meningkatkan kesiapan siswanya dengan kompak. Tugas dikurangi, dan penjelasan ditambah hingga semua mengerti. Tak ada penyesalan di akhir nanti, semuanya berharap begitu tanpa kecuali.


Tapi tidak, saat itu entah mengapa tugas di SMA ku tak kunjung tamat. Semuanya ada dan terus ada dengan alasan memang target pembelajaran yang membuat hari serasa kiamat. Bayangkan, ada tugas membuat film, membuat laporan percobaan, membuat maket rumah, dan beberapa laporan serta tugas tambahan yang membuat waktu serasa cepat. Pulang sekolah jam dua, sudah harus melanjutkan jadwal les disana sini untuk UAN dan SNMPTN yang kian dekat.

Malam, jika ogah-ogahan belajar, bisa dipastikan esok sekolah akan ketinggalan. Maka malam pun memaksakan tuk tetap belajar meski mata seberat beras kiloan. Mencicil tugas juga bisa dilakukan, tapi apa daya kadang malas juga berdatangan. Bangun pagi pun diharamkan kesiangan, dilanjut les pagi di sekolah yang memang diprogramkan setiap tahunnya.

Begitu setiap harinya, membuat akhir pekan semua masalah dilupakan untuk berhura-hura. Begitulah hingga akhirnya, UAN kian dekat dan mendekat sementara deadline tugas juga tak kalah semakin singkat. Sementara hasil juga tak bisa dibilang sempurna karena kadang malas menjadi penghadang utama.

Hari itu, semua disibukkan diskusi mata pelajaran bahasa Indonesia dimana esok akan didiskusikan tugas kelompok minggu lalu. Aku termasuk yang kalang kabut, tugas minggu lalu tapi hingga sehari jelang dikumpulkan belum sama sekali disentuh. Resah dan gelisah bercampur begitu rupa tatkala membaca UAN akan lebih sulit dari sebelumnya. Akhirnya sore itu ku putuskan ke rumah guru bahasa Indonesiaku yang kebetulan tak jauh dari rumahku. Tujuannya sederhana, ingin berkeluh kesah karena kebetulan guru yang satu ini sosok yang terbuka dan ramah terhadap muridnya.

Ku kendarai sepeda, dan menuju ke kompleks perumahan dimana guruku tinggal. Aku disambut hangat dengan senyum dan sapa, dan akhirnya ku jelaskan maksud kedatanganku kesana.

“Baru pulang mas”, tanyanya seraya tangannya mengisyaratkan tuk menyilahkanku duduk.

“Iya Bu, belum sempat ganti baju. Tadi nyicil ngerjakan tugas film Bu”, jawabku.

“Memang belum selesai? Bukankah sebulan jelang UAN, tugas sudah harus ditiadakan?”, tanyanya pelan.

“Iya sih, tapi ya gitulah Bu, banyak ulangan, try out dan tugas lainnya”, balasku. “Ibu pilek?”

“Iya mas, saya juga agak meriang rasanya. Kemarin sudah minta dikerokin sama adik tapi tetap nggak enak rasanya”

“Ya sambil istirahat saja Bu”

“Mau istirahat gimana mas”, dia menghentikan bicaranya. Diambilnya sesuatu dari balik meja di depanku.

“Ini lihat”, diperlihatkannya beberapa tumpukan kertas. Seperti hasil ujian yang dibungkus rapi dengan beberapa coretan di depan.

“Apa ini Bu?”

“Yang ini hasil ujian semester kalian. Ada tiga kelas. Sementara yang lain hasil ujian Widya Gama” jelasnya sambil menunjuk dan membolak-satu persatu. Ibu Guruku ini mengajar tiga kelas di sekolahku. Widya Gama adalah perguruan tinggi swasta di kota kecilku, tempatnya juga mengajar di sela waktu.

“Ini dikoreksi semua?”, tanyaku heran. Ku lihat perlahan, tumpukan itu pasti berisi banyak lembaran-lembaran.

“Nah itu mas. Belum selesai ngoreksi, tadi saya sudah dipanggil Pak Marin disuruh buat soal try out minggu depan. ‘Nggak Pak Marin. Saya sudah banyak tanggungan’, ‘ Bu Moel, untuk bahasa Indonesia anak-anak, saya percayakan sama Bu Moel’, serunya. “Nggak didenger protes saya”, akunya.

“Ya sudah Bu, try outnya Ibu acak aja soal tahun lalu”

“Nggak mas”, akunya tegas. Mukanya menyiratkan kesungguhan penolakannya terhadap ideku itu.

“Saya nggak mau kalian menjadi generasi yang terkorbankan”, tambahnya.

Dikisahkannya kisah masa kecilnya yang hanya sekolah dengan guru-guru terbatas. Guru Fisika merangkap jadi guru Kewarganegaraan, guru olahraga merangkap guru Bahasa Indonesia dan beberapa guru lainnya yang juga melakukan hal yang sama. Akibatnya jelas, disiplin ilmu yang berbeda membuat penjelasan kadang kala itu itu saja.

“Misalnya untuk menyontohkan penggunaan majas personifikasi selalu saja ‘nyiur melambai di tepi pantai’. Ditanya lagi di lain hari, jawabnya sama tak berganti, seakan contoh lain nggak dia ketahui lagi. Karena itu saya selalu buatkan tipe soal baru, yang tentunya masih mengacu ke Ujian Nasional nanti,”ujarnya.

Memang setelah kuingat, try out yang sudah ada bacaan di soal bahasa Indonesia selalu baru dan berbeda. Jika pelajaran lain bisa ada yang sama dengan soal ujian nasional lama, tipe dan bacaan di soal try out bahasa Indonesia selalu pertama dijumpai saat itu juga.

“Ya kalau gitu, koreksinya aja minta bantuan orang lain Bu. Kan Ibu bisa buat kunci jawaban sehingga bisa ....”

“Nggak bisa mas, bentar ya saya ambilkan minum”, selanya sambil melangkahkan kakinya ke arah kulkas di ruang tengah rumahnya.

Sementara ku lihat hasil koreksi Ibu beberapa, dan ternyata semuanya tak hanya dikoreksi begitu saja. Dibetulkan satu persatu yang salah, maka pantaslah akan membutuhkan waktu lama.

“Ibu ngoreksinya gini...?”, tanyaku heran

“Jika nggak gitu, mereka nggak akan tahu mengapa Ibu menganggapnya salah. Kalau yang pilihan ganda, Ibu pun harus tahu dimana letak kelemahan siswa. Jadi bisa dijelaskan lagi materi yang kiranya kurang dipahami”, tuturnya.

“Tapi kan lama Bu...”, kata-kataku dijawabnya dengan senyuman lembut darinya. “Ya dicicil mas, setelah Isya, hingga jam sembilan. Sebelum shubuh hingga shubuh dan berangkat memberikan les pagi. Juga di sela-sela sebelum mengajar di Widya Gama sore harinya”

Aku terdiam. “Betapa padatnya agenda Bu Moel ini”, pikirku. Jauh lebih padat dari agendaku yang terbilang memang kewajibanku. Agendanya adalah pilihannya. Guruku ini, adalah orang yang sama yang mengajar Ibuku dan Paman serta Bibiku. Jadi bisa diketahui di usia senjanya, sebenarnya materi bukanlah tujuan utamanya menyibukkan diri di dunia pendidikan yang membuatnya sibuk setiap harinya. “Ya Allah, aku kesini mau berkeluh kesah padahal hari hari beliau pasti jauh lebih berat dariku. Sementara aku ini masih muda, dan beliau sudah terbilang tua, apakah pantas begini adanya?”, ujarku dalam hati.

“Kamu kesini ada apa?”, pertanyaannya membuyarkan lamunanku yang membawaku ke perasaan bersalah.

“Hmm tidak ada Bu, cuma ingin silaturahmi saja”, jawabku dengan meringis menutupi kebohonganku. Aku pun meminta izin pulang karena hari sudah sore. Malamnya aku kerjakan tugas itu semalaman dengan semangat penuh. Gelisah tadi pun hilang sebelum dikeluhkan sudah terobati dengan kisah semangat yang menyuntik segenap raga. Hilang oleh sebuah petuah sederhana yang tersirat dari untaian kisah penuh makna dari guruku tercinta.


Raffa Muhammad


Kisah Lama Sebelum Kuliah

Tidak ada komentar: