Terkadang langkahku pun berpacu dengan alunan nada waktu. Dan kokok ayam enggan menyapaku. Padahal, alunan itu senantiasa memercik keharuman yang turut serta menyemarakkan hari-hariku, memacu segenap jiwa dan raga ini untuk padu, bergerak maju dengan tujuan yang satu.
Dahulu, aku memang pengagum ketepatan waktu, menyertainya dalam tiap aktivitasku, dan memujanya sebagai bagian dari disiplin ilmu. Namun apa daya, sang waktu kadangkala meninggalkanku tanpa sedikitpun pertanda tuk menyuntik segala memori akan rencana di masa lalu. Langsung menjauh, sejauh mentari yang kian meninggi, dan kesejukan pagi yang sirna ditelan sunyi.
“Assalamu’alaikum akh, maaf ane izin terlambat ya”, Ku kirim langsung sementara selimut hangat masih melekat.
“Baru bangun ya akh? Udah sholat shubuh belum?”, balasnya menyindir. Dia seorang yang selalu mengingatkanku pada amanah yang ku pikul dengan rapuhnya iman. Dan kerapuhan itu bersaudara dengan kemalasan hingga akhirnya sebuah kewajiban boleh jadi dilalaikan di tengah jalan.
Aku bergegas. Tanpa menyapa sunyi di pelataran kamarku yang sepertinya tak acuh dengan kegelapan yang telah berganti secara total. Sekejap saja dan kaki ini kembali melewati tanah-tanah lumpur bekas hujan yang lama kering di tanah Parahiyangan yang terkenal berhawa dingin.
Mentari mempertegas posisinya. Sinarnya membawa segala rona makhluk fana memulai aktivitasnya. Berkomplot dengan waktu. Membuat sebuah awal dari perubahan, yang juga akhir dari penundaan sebuah perubahan.
Hari itu, sebuah syuro’ ku awali dengan sebuah keterlambatan, sebuah pelanggaran kecil terhadap amanah yang diberikan Tuhan. Pelanggaran besarnya, shubuh tak lagi sesuai waktu yang telah ditentukan.
Padahal, masih teringat jelas sebuah hadist Rasulullah, “Dua raka’at Shalat Shubuh lebih baik dari pada dunia dan seisinya.” Bayangkan, bagaimana bisa mengamalkan apabila suara penyeru kewajiban sudah tak bisa terdengar ketika terlelap di kala malam?
Sehari, dua hari hingga tak terhitung lagi. Sebuah kebiasaan itu kini menjadi budaya sehari hari. Kokok ayam dan merdunya suara adzan tak terdengar lagi. Embun pagi tak terasa segarnya kembali. Deburan dingin air kala shubuh kini sama saja dengan pagi menjelang siang hari. Pun mentari mengejek balik setelah sebelumnya selalu tertinggal di waktu pagi.
Akankah terus seperti itu?
Aku terus menerus bertanya pada sang waktu, yang juga berkawan mesra dengan kokok ayam yang tak pernah telat sembari adzan berkumandang jelang shubuh. Sapaan cintaku disapa balasan penuh kasih yang syahdu.
QS. al-An’am (6) : 131
Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
Aku bangun dari tidurku. Mengusap wajah yang tadinya lelah mengeluh. Memulai dan memilih sebuah motivasi baru.Yang dulu sempat sirna dan menjadi masa lalu.
Sang waktu kembali menemaniku. Dalam sepi dan seiring ia berlalu, didendangkannya sebuah fakta bahwa hati ini tak jua bisa menyatu. Ingin ini dan itu. Tapi raga tak jua bisa memberikan apa yang terbaik. Ya Allah, ketika ada kesadaran mengapa kejenuhan menyeruak ke permukaan? Apakah memang tlah kau takdirkan waktu selalu mendahuluiku, menjadikan keterlambatan sebagai ciri khasku, dan membuat segala penyesalan di ujung karena persiapan yang kurang seperti angiin lalu?
Allahumma ya muqolibul qulub tsabit qalbi ‘ala diinika …
Wahai Zat yang membolak-balikkan hati,
tetapkanlah hati kami dalam agama-Mu
[HR. Muslim 2654, Ahmad 6533]
Ya Allah karuniakanlah kami hidayah-Mu agar senantiasa dapat memperbaiki diri…
Dan diantara tanda tanda kuasa-Nya, sang waktu menjadi kawan terbaikku. Harus. Ketika ditinggalnya aku di belakang, tak ada lagi kokok ayam, suasana pagi yang menyejukkan dan berbagai karunia Illahi kala pagi menjelang tuk bisa dirasakan. Tidak ada lagi. Karenanya, tak perlu ku memintanya menunggu. Mentari tuk tak menyapa dunia ini, sementara dalam lelapku semua menanti.
Aku harus bangun.
pemandangan pagi dari jendela kamarku nan jauh disana
Harus!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar