Halaman

Assalamualaikum, welcome

Sebuah eksplorasi hati...

Selasa, 22 Maret 2011

Sang Waktu

Kokok ayam menjadi teman terbaikku, dengan embun pagi dan hawa dingin sebagai saksinya yang selalu menemaniku. Bersama nyanyian pagi, aku bergerak perlahan melewati temaram mentari yang mengejarku, di belakang, tertinggal menyertai angin yang menyapu jatuh dedaunan.

Terkadang langkahku pun berpacu dengan alunan nada waktu. Dan kokok ayam enggan menyapaku. Padahal, alunan itu senantiasa memercik keharuman yang turut serta menyemarakkan hari-hariku, memacu segenap jiwa dan raga ini untuk padu, bergerak maju dengan tujuan yang satu.

Dahulu, aku memang pengagum ketepatan waktu, menyertainya dalam tiap aktivitasku, dan memujanya sebagai bagian dari disiplin ilmu. Namun apa daya, sang waktu kadangkala meninggalkanku tanpa sedikitpun pertanda tuk menyuntik segala memori akan rencana di masa lalu. Langsung menjauh, sejauh mentari yang kian meninggi, dan kesejukan pagi yang sirna ditelan sunyi.

“Assalamu’alaikum akh, maaf ane izin terlambat ya”, Ku kirim langsung sementara selimut hangat masih melekat.

“Baru bangun ya akh? Udah sholat shubuh belum?”, balasnya menyindir. Dia seorang yang selalu mengingatkanku pada amanah yang ku pikul dengan rapuhnya iman. Dan kerapuhan itu bersaudara dengan kemalasan hingga akhirnya sebuah kewajiban boleh jadi dilalaikan di tengah jalan.

Aku bergegas. Tanpa menyapa sunyi di pelataran kamarku yang sepertinya tak acuh dengan kegelapan yang telah berganti secara total. Sekejap saja dan kaki ini kembali melewati tanah-tanah lumpur bekas hujan yang lama kering di tanah Parahiyangan yang terkenal berhawa dingin.

Mentari mempertegas posisinya. Sinarnya membawa segala rona makhluk fana memulai aktivitasnya. Berkomplot dengan waktu. Membuat sebuah awal dari perubahan, yang juga akhir dari penundaan sebuah perubahan.

Hari itu, sebuah syuro’ ku awali dengan sebuah keterlambatan, sebuah pelanggaran kecil terhadap amanah yang diberikan Tuhan. Pelanggaran besarnya, shubuh tak lagi sesuai waktu yang telah ditentukan.

Padahal, masih teringat jelas sebuah hadist Rasulullah, “Dua raka’at Shalat Shubuh lebih baik dari pada dunia dan seisinya.” Bayangkan, bagaimana bisa mengamalkan apabila suara penyeru kewajiban sudah tak bisa terdengar ketika terlelap di kala malam?

Sehari, dua hari hingga tak terhitung lagi. Sebuah kebiasaan itu kini menjadi budaya sehari hari. Kokok ayam dan merdunya suara adzan tak terdengar lagi. Embun pagi tak terasa segarnya kembali. Deburan dingin air kala shubuh kini sama saja dengan pagi menjelang siang hari. Pun mentari mengejek balik setelah sebelumnya selalu tertinggal di waktu pagi.

Akankah terus seperti itu?

Aku terus menerus bertanya pada sang waktu, yang juga berkawan mesra dengan kokok ayam yang tak pernah telat sembari adzan berkumandang jelang shubuh. Sapaan cintaku disapa balasan penuh kasih yang syahdu.

QS. al-An’am (6) : 131
Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.

Aku bangun dari tidurku. Mengusap wajah yang tadinya lelah mengeluh. Memulai dan memilih sebuah motivasi baru.Yang dulu sempat sirna dan menjadi masa lalu.

Sang waktu kembali menemaniku. Dalam sepi dan seiring ia berlalu, didendangkannya sebuah fakta bahwa hati ini tak jua bisa menyatu. Ingin ini dan itu. Tapi raga tak jua bisa memberikan apa yang terbaik. Ya Allah, ketika ada kesadaran mengapa kejenuhan menyeruak ke permukaan? Apakah memang tlah kau takdirkan waktu selalu mendahuluiku, menjadikan keterlambatan sebagai ciri khasku, dan membuat segala penyesalan di ujung karena persiapan yang kurang seperti angiin lalu?

Allahumma ya muqolibul qulub tsabit qalbi ‘ala diinika …
Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, 
tetapkanlah hati kami dalam agama-Mu
[HR. Muslim 2654, Ahmad 6533]

Ya Allah karuniakanlah kami hidayah-Mu agar senantiasa dapat memperbaiki diri…

Dan diantara tanda tanda kuasa-Nya, sang waktu menjadi kawan terbaikku. Harus. Ketika ditinggalnya aku di belakang, tak ada lagi kokok ayam, suasana pagi yang menyejukkan dan berbagai karunia Illahi kala pagi menjelang tuk bisa dirasakan. Tidak ada lagi. Karenanya, tak perlu ku memintanya menunggu. Mentari tuk tak menyapa dunia ini, sementara dalam lelapku semua menanti.

Aku harus bangun.


pemandangan pagi dari jendela kamarku nan jauh disana


Harus!

Minggu, 20 Maret 2011

"Kenalkan, Aku Mahasiswa! "


Akulah Nadia, mahasiswa semester tiga universitas negeri di Jakarta. Hidup di kota, dengan latar belakang lahir di daerah.

“Ah..........kok gosong ya bu ikannya”, celetukku pelan. Baru pulang, Ibu langsung menyuruhku memasak.

“Jangan melamun saat kerja neng” Ibu mengingatkan ku dengan sabar.

“Nggak kok bu, dari tadi perhatikan penggorengan kok,nggak melirik lainnya”, belaku dengan cengengesan.

“Ketahuan banget kamu lama nggak masak” balasnya menyindirku. Aku tersipu, seketika pembelaan kembali ku lakukan.

“Hmm, selama kos hampir dihitung dengan jari ngidupin kompor, ngunjungi dapur atau nyuci wajan”, balasku lantang.

Ibu bisa saja menebak rupanya. Maklumlah dia Ibuku yang mengenalku lebih dari siapapun di muka bumi ini.

“Ingat pepatah, alah bisa karena biasa. Lama sudah tidak biasa hampiri dapur dan kroni-kroninya, ya begini lah hasilnya. Makanya kenalan dulu dengan dapur. Sering-sering lagi lirik penggorenga maupun periuk. Say hello walau sekejap ke ulekan dan pisau dapur. Jangan lupa nyentuh bawang putih, bawang merah, cabe,merica apakah masih pedas rasanya. Cicipi lagi garam apakah masih asin di lidah. Khan sudah lama mereka tidak diacuhkan.

“Duh Ibu, khan udah pasti kalau yang begituan”, protesku.

Ibu tak menggubrisnya dan terus saja berceloteh ria, ibarat presenter sepakbola yang tak pernah kehabisan kata. “Andaikan semuanya itu bisa bicara pasti protes.....jangan sombong dong.....dulukan kita sahabat, hehehe” sindirnya.

Aku hanya bisa tersenyum malu. Ya, inilah aku. Dulu dapur ini sangat akrab denganku, seakrab Sponge Bob dengan spatulanya, ataupun Asma Nadia dengan penanya. Jangan tanya tentang masakanku, bahkan tetangga saja selalu memujiku ketika dicicipinya masakan buatanku.Tapi kini inilah masakanku. Bahkan Si Pussy, takkan mau melahap habis dengan aroma dan warnanya yang unik begitu.

Memang aku berubah sejak hatiku kembali jatuh cinta. Bawang, cabe, wajan, ulekan dan lainnya tergantikan dengan hadirnya laptop mungil cantik yang membuatku terpesona. Bangganya menjinjing laptop ke kampus, membawanya hingga ke pameran, bahkan mengitari mall berjam-jam.
Laptop selalu setia mengisi ransel yang bergelayut di punggungku seakan ikut menyuarakan ke dunia bahwa aku ini mahasiswa. Status sebagai yang membanggakan, di tengah masyarakat yang masih saja menganaktirikan pentingnya pendidikan.

“Jadi mahasiswa itu bikin tambah keren penampilan. Mahasiswa itu ”siswa yang mahal” tidak ada tingkatan status siswa yang lebih tinggi selain mahasiswa”perkataan temanku itu selalu kuingat. Walau sebenarnya menjadi mahasiswa adalah masa-masa awal menuju sekarat. Hal itu yang dikatakan dosen waliku di semester satu.

Terbuai dengan status mahasiswa.Itulah kebanyakan orang adanya. Ikut berbagai demonstrasi cuma karena ingin bergaya, dan sedikitpun tak mengerti esensinya. Juga organisasi dan kepanitiaan dengan semangat menggunung di awal, dan perlahan turun hingga tersisa di akhir kisah.

Akulah Nadia, mahasiswa semester tiga universitas negeri di Jakarta. Hidup di kota, dengan latar belakang kehidupan di daerah.

Menjadi mahasiswa di kota, dengan kebutuhan hidup yang mahal adanya adalah takdirku. Perut keroncongan, dan warung menjadi pilihan utamaku. Tak peduli, siang, malam ataupun pagi waktu itu. Penghematan adalah kamus hidupku. Kafe ataupun rumah makan? Jangan ditanyakan. Aku akan hanya datang jika mendapat traktiran teman.

Sebenarnya, kuliahku mendapat tantangan dari orang tuaku. Serupa dengan berjuta mahasiswa Indonesia lainnya, masalah utama ada pada biaya. Biaya kuliah yang tak bisa dijangkau masyarakat bawah, yang hanya akan menjadi sesuatu yang mewah. Sementara jaminan mendapat pekerjaan juga belum ada. Daripada menengok pengangguran walau bergelar berbagai macam, Ayahku lebih mendukungku untuk menikah.

“Tidak Yah”, tegasku saat itu menolaknya,”sekarang sudah bukan zaman Belanda. Perempuan pun memiliki prospek cerah jika memang melakukan yang terbaik dengan pendidikannya”, ujarku tegas. Kepalaku memang keras. Sekeras watak Ayahku yang sulit sekali diruntuhkan. Tapi aku terlanjur terpengaruh beberapa buku yang ku baca tentang mimpi dan usahaku tuk mewujudkannya.

Dan akhirnya aku kuliah juga. Walau restu Ayah ku dapatkan lewat telepon genggam dengan tangisan Ibu dan kakak perempuanku di belakangnya. Kemantapan sudah menyelimuti belantara hatiku adanya. Tabungan dan uang saku dari saudara-saudaraku menjadi bekalku.

Aku durhaka. Memang itulah yang ada di benak Ayah. Aku menyembunyikan niatanku kuliah, dan hanya tak memberi tahunya karena merasa sudah tahu hasilnya. Tapi alhamdulillah, kepulanganku saat semester satu waktu itu disambut Ayah dengan suka cita. Entah bagaimana dia berubah, dan memaafkanku dengan adanya pendirian keras dalam dirinya.

Akulah Nadia, mahasiswa semester tiga universitas negeri di Jakarta. Memiliki mimpi walaupun sumber daya tak mumpuni. Selain masalah keuangan, otakku menjadi pas-pasan ketika disandingkan dengan mahasiswa lainnya. Aku suka ini. Bertemu dengan mereka yang jauh lebih tinggi, memicu gelombang semangat berloncatan tuk meraih prestasi.

DI SMA, prestasiku memang tak membuat sejarah. Hanya sesekali juara kelas dan itupun tak bisa dikategorikan membanggakan untuk ukuran daerah. Olimpiade di tingkat Kabupaten hanya sekali kumenangi dan itu juga bukan bukti otakku cerah.

Sementara, mereka mahasiswa lain memiliki prestasi berbagai macam. Dari Olimpiade Nasional, hingga juara tingkat internasional yang menjadi langganan. Luar negeri, bukan lagi menjadi mimpi untuk dikunjungi, karena liburan sudah jadwalnya mereka transit secara rutin tanpa sangsi. Tak ada lagi masalah ini, itu yang hanya membebani. Fokus dengan berbagai penelitian yang mereka geluti, organisasi dan kepanitiaan yang mereka ingini. Jadilah kuliah tenang mereka alami.

Bagaimana denganku? Ibukota tak lagi ramah menyapa saat ku tahu biaya hidup disana yang ingin membuatku muntah. Untuk buang air kecil harus bersusah mengeluarkan biaya, bahkan orang sekarat pun harus rela memesan kuburan sebelum ajalnya tiba jika tak ingin kesusahan di hari H. Suasana yang amat berbeda dengan di daerah.

Aku tak memiliki otak cemerlang yang membuatku bisa menangkap semua materi tanpa persiapan. Untuk itu aku hanya bisa berjuang. Dengan segala tenaga tersisa sembari waktu luang untuk berjualan guna menambah penghasilan, ku gunakan laptop pemberian saudaraku untuk selalu mencari materi tambahan. Perpustakaan pun menjadi tempat langganan.

Aku memimpikan kuliah sejak lama. Sejak ku tahu Pamanku selalu ditolak kerja karena tak sampai lulus sekolah dasar. Juga beberapa tetanggaku yang hanya lulusan SMP, pulang dengan tangan hampa setelah merantau berbulan-bulan di kota. Menjadi TKI dan TKW? Setidaknya daerahku sudah tak lagi memutus keinginan itu. Sejak kasus warga kami yang disiksa hingga mati, situasi itu membuat tetua desa rapat dan melarang lagi ada warganya yang kerja di luar negeri. Lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang.

Akulah Nadia, seorang perempuan yang memilih kuliah dan meninggalkan daerahku tercinta.

Mimpiku kuliah pernah surut kala tahu pengangguran di negeri ini yang juga banyak dari kalangan almnus mahasiswa. Juga banyak berita mahasiswa kerjanya tawuran, mencipta kerusuhan tanpa sebanding dengan status pendidikan yang mereka emban ataupun biaya yang sudah orang tua mereka keluarkan.

Sementara prestasi mahasiswa menjadi pelipur kekecewaanku, berbagai mimpiku yang ternyata mensyaratkan gelar strata satu didapatkan memberi motivasi kepadaku. Itulah obat mujarabku. Menjadi mahasiswa, kian dekat dengan mimpiku tuk jadi seorang dokter yang bisa membuatku takkan lagi melihat tangis perempuan yang kehilangan bayinya saat anugrah itu hendak waktunya lahir. Cukup Ibuku yang terakhir ku lihat, dan suasana kelam kehilangan adik kecilku akan ku pendam dalam ingatan.

“Hanya karena tak ada biaya, dokter tak mau membantu persalinan. Kurang ajar !”, ku ingat kata-kata Ayahku saat itu. Kami berduka berbulan-bulan. Panen yang gagal, memicu tak ada persiapan saat Ibu hendak melahirkan. Seorang mantri di puskesmas yang akhirnya tak berbuat banyak karena tak ada peralatan untuk operasi adikku yang katanya sungsang. Rumah sakit masih jarang, adanya di kota seberan. Sementara tak ada lagi biaya karena gagal panen membuat bantuan tetangga juga tak menjawab keadaan.

Dukun beranak? Jangan tanyakan itu kawan. Keluargaku adalah keluarga muslim taat yang anti dengan apapun namanya yang bersekutu dengan jin dan tersesat. Syukurlah, nyawa Ibuku bisa tertolong melalui perantara sang mantri walau dengan peralatan seadanya.

Akulah Nadia, mahasiswa semester tiga universitas negeri di Jakarta. Hidup di kota, dengan latar belakang kehidupan di daerah.

Pernah saat itu seorang senior menyatakan cintanya. Balutan jilbabku tak kuasa menjawab bahwa prinsipku teguh kepada agama untuk tidak mendekati zina sebelum menikah. Untuk itu aku harus bersusah payah. Menjelaskan dengan penolakan halus walau sebenarnya ketampanan dan kecerdasannya memikat hatiku jua. Tapi maaf, aku mahasiswa dari daerah. Yang harus rela berkonflik dengan orang tua dulu sebelum bisa kuliah. Untuk itu ku kan tepis bagaimana sakit hatiku dirasa, agar tetap kuliah menjadi prioritas utama. Karena lahan pertanian yang keluargaku jual takkan pernah kembali jika kesuksesanku menjadi mimpi.

Akulah Nadia, mahasiswa yang masih jua tetap bangga menjadi mahasiswa.

“Pendidikan adalah tidak penting”, cuplikan film Alangkah Lucunya Negeri Ini itu membuatku tak bisa berkata apa-apa. Persis keadaan di disana. Kala pemuda hanya bangga lulus SD atau SMP dan akhirnya langsung menikah, melanjutkan pekerjaan orang tua seraya menikmati warisan yang ada. Begitu seterusnya. Hingga akhirnya kehijauan hutan kami sirna perlahan. Tertelan kebutuhan manusia yang tak kuasa melestarikan, tapi hanya ingin mendapatkan lebih dan lebih secara instan.

Daerahku kaya, untuk ukuran sebuah daerah. Disana ada pertambangan yang mulai dibuka sejak lama oleh perusahan yang entah namanya apa. Jadilah ada opsi lain, selain bekerja di ladang juga bisa menjadi karyawan pertambangan. Tapi entah mengapa tak ada perubahan. Sejak zaman buyutku hingga sekarang, angka kemiskinan masih saja tak bisa dibayangkan.

Daerahku? Ah tidak kawan. Semua daerah begitu di negeri ini. Memiliki mahasiswa di seluruh penjuru negeri tapi tak bisa membuat perubahan di daerahnya sendiri. Sarjana, gelar bergengsi itulah yang kini melekat pada para pemimpin di Bumi Pertiwi. Sarjana, Profesor, Doktor adalah juga mahasiswa yang pernah berjuang menyelesaikan skripsi, tesis dan disertasi. Pastilah mereka dulu lebih sulit kondisinya tuk memasuki bangku perguruan tinggi. Tapi dengan banyaknya angka korupsi, aku sendiri ragu apakah mereka pernah kuliah. Merasakan beratnya merangkai mimpi hingga dalam genggaman semua itu kini.

Akulah Nadia, mahasiswa dengan segala kekurangan yang ada tuk tetap melanjutkan kuliah. Tapi aku bangga menjadi mahasiswa, karena aku yakin perubahan itu bisa terlaksana, kala mahasiswa selalu bangga akan statusnya dan menjadi pelopor perubahan dimanapun mereka berada.




Cerpen ini ikut dalam Festival Fiksi Kompasiana 2011 dan ikut pula dibukukan.

Selasa, 15 Maret 2011

UN: Perubahan Dijanjikan, Perubahan Tak Kunjung Datang

Ujian Nasional, mengingatnya tak pelak membuka kenangan akan guru Biologiku semasa berbaju putih abu-abu. Kalimat yang tak panjang, tapi kencang dan lantang ia dengungkan. Menusuk, hingga terasa sampai ke tulang rusuk.

 “Kalian tidak perlu sebenarnya datang pagi-pagi kesini, bersusah payah mengikuti pelajaran tambahan jika hanya demi UN”, ujarnya tiba-tiba di kelasku. Kami pun terheran-heran, hingga pikiran negatif mulai bermunculan. Ada apa? Apakah tidak ikhlas berangkat pukul 06.00 demi mengajar? Memang, honor dari pelajaran tambahan persiapan UN tidaklah besar. Tapi program ini setidaknya cukup membantu para pelajar.

“Memang kenapa Pak?”, tanya seorang siswa pelan.

“Mas, sampeyan ini ko’ ya nanya kenapa? Jelaslah, UN kita hanya butuh itu”, tambahnya dengan logat jawa kental seraya menyindir dengan menunjuk seorang murid yang ternyata baru saja menggunakan telepon genggamnya diam-diam saat pelajaran.

“Kalian punya ini bukan?”, lantangnya dengan mengacungkan sebuah telepon genggam. Tak perlu ditanya, kantong siswa beratribut putih merah pun kerap berisikan benda itu sekarang. Sementara beberapa dari kami masih bingung, sungkan dan agak tersipu dengan kenyataan senjata perang telepon genggam bukannya pensil, penghapus ataupun buku-buku latihan.

“Dengan ini kalian tidak memerlukan belajar. Buang aja buku biologi kalian kalau mau...! Silahkan..! Jadi bagaimana?”, nadanya yang keras pun sontak memupus sisa-sisa wajah gurau di sebagian sudut ruang kelas. Atmosfer sangsi pun terlihat dari beberapa paras. Beberapa melihat kanan kiri selaras. Tetap saja tak tak satupun terlontar sebuah jawaban jelas.

“Kalau semua diam, artinya setuju”, nadanya merendah. “ Bagaimana kalau kita pulang saja sekarang. Saya lho juga masih ngantuk”, tambahnya seraya memasang tampang jenaka. Spontan, suasana panas pun mulai mencair segera.

“Jadi milih mana kalian ?”, nadanya kembali tinggi. Serentak pula seisi kelas mendadak kembali sepi.

“Milih belajar Pak”, sebuah suara mengawali diikuti serentak dengan perlahan oleh semua. Suara apakah ini? Suara hati? Ataukah sebatas suara diri yang merasa gengsi?

“Kalau begitu kalian berani nggak berjanji sama saya, UN nanti akan berusaha tidak mengandalkan orang lain?”, lanjutnya.

“Iya Pak”, kembali serentak semua menjawab. Lebih pelan kali ini. Maklumlah, ini berhubungan langsung dengan janji. Sebuah komitmen dari dalam diri. Tapi apalah artinya? Janji tinggal janji.

Sementara pelajaran tambahan tetap berjalan, jadwal try out UN pun bergilir tuk digelar. Namun Try Out berjalan jauh dari harapan. Bagaimana tidak? Dana Pemerintah Daerah dan pihak sekolah terkesan dihambur-hamburkan dengan simulasi UN yang ternyata juga penuh kecurangan. Curang? Bagaimana bisa UN yang tiap tahun digadang-gadang ada perubahan masih demikian?Apalagi ini hanya simulasi. Simulasi kecurangankah?

Try out digelar. Ditekankan sejak awal tuk berlaku jujur memang. Alasannya jelas, untuk mengukur kesiapan. Namun, tujuan pun tinggal tujuan. Akhirnya melenceng dari arahan. Miris kala tahu try out hanya banyak digunakan tuk berlatih melakukan kecurangan.

Berlatih? Jangan harap bisa spontan tanpa dibiasakan Bung! Sebenarnya kita patut bersyukur diberikan nurani yang membantu kala membedakan yang kotor dan bersih. Saat memilih yang kotor, nurani menolak, seraya diripun bergejolak dan kadangkala gemetar dan cucuran keringat tak dapat terelak. Pun dengan yang bersih, kadangkala iri hati menjangkiti, apalagi ketika hasil mengecewakan diraih. Itulah anomali yang terjadi.

Berbagai alasan mengemuka, dari mulai rasa malu akan nilai pas pasan yang dibuka, solidaritas dengan teman yang diasah di muka hingga persiapan mental di hadapan pengawas ujian agar peka. Alasan yang wajar jika ditelisik dengan pemikiran awam. Menghalalkan apapun demi tujuan. Merelakan nurani yang terkoyak menghapus kebenaran. Mereduksi jiwa yang ingin menggapai sebuah impian.

“Hey ini try out Bung”, begitulah candaku kepada seorang teman yang meminta jawaban. Perlahan mereka pun memaklumi. Dengan congkak aku bersenandung, yakin jawabanku pastilah benar tanpa rasa canggung. Benarkah? Aku bingung. Apalagi kemampuan pas-pasanku tak kuasa mendukung. Melihat teman lain menyontek ria, godaan pun tak terbendung. Tapi prinsip bukan sekadar kamus dalam folder benakku. Itu telah menjadi aplikasiku saat itu.

Kampanye try out jujur digelar sebelum itu. Persis seperti arahan pihak guru yang memang ingin mengukur kemampuan kami agar tak lagi ragu. Catatan Facebook menjadi alat utamaku, diskusi dan ajang curhat teman sekelas menjadi pendukungku dan akhirnya para teman dekatku pun perlahan mengikuti jejakku.

Hasil try out diumumkan. Tidak ada kejutan. Nilai parahku pun ditampilkan. Dikirimkan kepada orang tua yang akhirnya pun ku hilangkan. Inikah akibat sok pintar? Entahlah. Beberapa teman yang mengaku jujur pun terlihat murung dengan hasil muncul. Setidaknya bisa bangga dengan kejujuran yang ditegakkan, ayo bertahan. Seruan hati yang terbungkam.

Sementara beberapa yang mengimplementasikan try out sebagai sarana coba-coba kerja sama pun berjaya. Kini mereka melatih metode tak terbatas tuk berlatih mengelabui pengawas. Parahnya, saat itu pengawas pun hanya menganggap itu try out biasa. Padahal sebaliknya, atmosfer ujian nasional harus membahana. Bukan justru ujian kampungan yang hanya membuang dana, sekadar implementasi tanpa hasil program yang ada. Begitukah?

Di beberapa sekolah lain memang try out diperketat, tapi disalahgunakan pula tuk membuat sekat. Dengan sekat akan diketahui siapa saja yang berbakat dan nantinya bisa membantu mereka yang kemampuannya sekarat. Tak percaya? Jangan percaya, cukup saja anggap semua ini bualan maya. Tapi coba tanyakan saja kepada mereka yang tak berdaya, bagaimana pihak sekolah membuat budaya agar yang kemampuannya agak gelap menjadi terang dengan sedikit cahaya.

Budaya itu dibangun, dipupuk dan dilestarikan demi mengejar kata beres. Beres hingga di akhir kisah bisa dipampang spanduk bertuliskan “Terima kasih atas doanya, sekolah kami lulus Ujian Nasional 100% dan sukses”. Mungkin perlu ditambahkan “Sukses mengurangi korban yang terancam stress”. Jika sudah demikian, pihak sekolah sudah menganggap sukses dengan budaya serba beres. Budaya? Saya sejak tadi menyebutnya budaya disini bukan karena ini program gres. Khususnya untuk SD dan SMP, hasil UN akan menentukan akses untuk memilih jenjang selanjutnya yang dikenal favorit dengan banyaknya alumni yang sukses.

Di sisi lain pihak sekolah tak ingin melihat anak didiknya hanya meringis, saat yang lain bisa memilih sekolah dengan optimis. Menangis saat mimpi siswanya sebagai saintis harus kandas oleh ganasnya persaingan najis. Najis? Sekolah berlandas agama pun tak kuasa menganggapnya najis. Apakah mereka naif? Tidak. Sama sekali tidak. Reformasi sistem pendidikan disuarakan, tapi yang di Jakartalah pemegang kendali perubahan.

Jika ingin perubahan, jadilah menteri pendidikan. Begitukah kawan? Setidaknya itu yang bisa kupikirkan. Mengapa demikian? Setelah pihak dinas pendidikan menyerahkan pengawasan kepada perguruan tinggi yang kerap memiliki gelar pengawas “independent” disamping pengawasan dari guru sekolah lain, untuk tahun ini ditiadakan. Dirubah sana, dirubah sini. Diobok-obok berdalih evaluasi.

Saya kadangkala bingung, dimana genderang profesionalisme yang digadang-gadang akan berdengung? Apalagi saat tahu pengawas ujian mau diperdaya pihak sekolah untuk mengawasi dengan aman. Apakah mendapat ancaman? Memang masalah UN bukan sepele dan patut disepelekan. Pernah saya mendapat cerita dari guru saat menjadi pengawas harian, beliau mendapat ancaman pembunuhan. Bayangkan! Honor yang tidak serta merta mengeyangkan, berbuntut nyawa dipertaruhkan.

Belum lagi politik saling sandera antar sekolah. Katanya bertujuan semata-mata demi kesuksesan bersama. Analoginya mudah, jika sekolah A yang dijaga pihak sekolah B memperketat pengawasan, hal sama akan dilakukan oleh pengawas di sekolah A. Terlepas pengawas itu dari sekolah B atau di luar. Kongkalikong yang sudah membudaya, indah jika dilihat dari aspek gotong royong dan kerjasama. Tapi apakah disini tempatnya berada?

Makin parah dengan citra sekolah yang selalu harus dijaga. Apalagi sebagian besar masyarakat dengan awamnya masih merasa, hasil UN gambaran mutu sekolah. Coba lihat, mereka yang hasil UN terbaik dengan bangga diwawancara hingga masuk layar kaca.

Syukur jika memang jujur, dan semoga saja nantinya mujur. Tapi apakah manjur untuk menghasilkan budaya belajar teratur? Dari luar memang terlihat etos belajar tinggi jelang jelang UN menggempur, Pemerintah pun membanggakan itu penuh rasa syukur. Tapi di sisi lain budaya curang yang tetap tumbuh subur, hanya menggerogoti penerus negeri perlahan hingga hancur. Bagaimana bisa tercipta generasi berhati kejur tuk selalu jujur?

Bagaimana jika UN dijaga pihak tentara saja? Berseragam lengkap dengan senjata. Bentakan dan todongannya pasti akan membuat kecut siswa tuk curang dengan sengaja. Tapi jangankan teguran keras, pengawas juga dilarang berkeliling kelas.Mengganggu konsentrasi katanya. Jadi bagaimana bisa melihat telepon genggam ataupun kertas ajaib yang berkeliaran jika hanya dari depan?

Sistem salah? Benarkah? Setidaknya mereka yang berkoar anaknya, sanak familinya, ataupun siswanya tak jadi mendapat kelulusan walau diklaim prestasinya mentereng dan sudah diboking kampus keren masih saja sering berdemo dengan rela. Walaupun pengadilan terhadap penuntut UN telah memutuskannya kalah.

Di tiap tahun sudah ada perubahan, begitulah dalih Pemerintah melindungi UN tuk selalu ada. Muak sekali ketika melihat mereka menutup mata. Disini ketat, disana longgar. Untungnya pihak sekolah favorit berinisiatif memulai perubahan. Tak lagi berlaku 100% hasil UN mempengaruhi peluang masuk sekolah mereka. Mereka sudah tahu kebobrokannya, sudah bercengkerama dengan kerusakan budayanya, dan tanpa pilihan mereka pun terlibat di dalamnya. Di tahun 2011, UN pun diklaim akan berubah, tapi apakah sekadar wacana? Dan mungkinkah “mimpi” pemerintah menjadikan UN menengah atas sebagai acuan memasuki bangku kuliah? Kita lihat saja.

UN: Kala Jujur Tak Lagi Mujur



Ujian nasionalku, mungkin tak kurang sama dengan yang banyak dialami orang lain yang mau mengaku. Bagaimanakah?

“Anak-anak, silahkan ya kalau seandainya mau kerjasama. Tapi ada syaratnya”, ujar pengawas itu setelah membacakan tata tertib ujian nasional dengan lantang di depan. Nadanya pelan, seakan penuh keraguan. Sangat beda saat tata tertib tadi ia dengungkan.

“Apa Pak syaratnya?”, sela seorang anak tak sabar.

“Kalian jangan ramai. Pelan-pelan saja ya. Karena jangan sampai yang di luar tahu”, arahnya dengan sedikit memasang senyum seraya mengalihkan pandangan ke luar.

Serentak semua pun berkoar dengan perlahan, “ Hore”, dengan gembiranya.

“Hah, apa-apaan ini?”, pikirku dalam hati. “Aneh. Ko’ ada ya begini?” Saat itulah ujian nasional pertamaku. Masih lugu? Sebut sajalah begitu. Dengan baju putih dan bercelana panjang merah, aku dan beberapa temanku didampingi ustadz ke tempat kami akan melaksanakan ujian.

“Ustadz, Raffa nggak mau nyontekin itu lho”, adu seorang kawan selepas ujian.

“Iya, pelit. Mentang-mentang bisa”, tambah yang seorang lain.

“Fa nggak apa-apa, ajarinlah temennya dikit-dikit. Kasihan jika sampai nggak lulus nanti. Jadi bantulah teman-temanmu ini sedikit ya”, jawabnya. Hal yang sama diutarakannya kepada yang lain.

“Emang boleh?”, pikiran itu berkecamuk dalam benakku. “Mengajari sedikit mungkinkah dosanya sedikit pula? Jika ustadz menyuruhku demikian, kenapa tidak?” pikiran itu kembali membimbangkanku. Tapi, mereka bukannya siapa. Dengannya selama enam tahun ini belajar, bermain dan bersuka duka dengan indah. Apakah cerita indah itu semua akan diakhiri dengan keangkuhan hati karena beberapa hari terakhir ini tak lagi bekerjasama? “Baiklah”, aku pun akhirnya memaklumi.

Hasil diumumkan. Mengecewakan? Dari nada-nadanya orang tuaku menyesalkan. Salah siapa? Sekolahku yang masih baru itu? Atau aku? Entahlah. Setidaknya itulah pengalaman. SDIT di kota kecilku adalah sekolah yang baru didirikan. Aku menjadi satu dari delapan belas angkatan pertmanya. Pertama? Ya pertama. Jadi boleh jadi pihak guru pun belum terbiasa menyuruh siswanya bekerjasama, beda dengan mereka yang berpuluh tahun merasakan asam garam budaya itu dan menularkannya ke siswanya.

Trauma? Ya. Gara-gara itu aku pun hanya bisa melanjutkan di sekolah umum yang diklaim hanya nomer dua. Harapan besar padahal muncul dari orang tua. Tapi apalah semua hanya berujung duka.

Sejak itu aku berubah. Memasuki masa kelam di kala putih biru melekat di dada. Bagaimanakah? Aku berhasil membujuk orang tuaku dan mendapatkan telepon genggam pertamaku. Bermacam dalih ku kemukakan yang akhirnya meluluhkan orang tuaku yang saat itu masih beberapa bulan memegang telepon genggam pertama mereka.

Untuk apa? Itu, sesuai saran teman-temanku. Mempermudah komunikasi, itu pasti. Dengan itu, aku bisa menjalankan peran tuk beraksi. Menyebarluaskan jawaban bahasa Inggris yang satu-satunya bidang keahlianku tanpa sangsi. Beda kelas, atau mungkin sudah beda sekolah tak sekalipun membuatku risih. “Biarlah”, pikirku saat itu. Dengan itu, problematika Bahasa Indonesiaku yang tak lebih dari tujuh di tiap try out sudah basi. Semua teratasi.

Tapi aku menyadari, saat itu aku mulai belajar membunuh rasa bersalah dalam diri. Tiap getaran nurani tuk mengelak, ku pun ikut mengamuk. Apalagi beberapa teman agaknya lebih ahli dalam masalah curang, yang akhirnya membuatku belajar beberapa trik mereka perlahan.

“Aku lho ngerjakan itu sendiri”

“Iya tapi liat itu hasilmu. Hanya tujuh? Itu sudah tidak cukup masuk SMP 1”

“Tapi mereka yang dapat bagus contek-contekan Bu”

“Ah, jangan kebanyakan alasan. Kamu terlalu banyak main PS, malas, dan ogah ogahan belajar”.

Percakapan itu menjadi memori burukku, memori yang menghapus segala keindahan enam tahun bersekolah di sebuah jenjang dasarku. Mungkin aku dari sekian juta anak negeri yang disalahkan karena memilih mengerjakan sendiri walau kemampuan mumpuni yang berujung hasil yang perlu ditangisi.

“Apa yang mereka tahu?”, pikirku. Hasil, hasil dan kembali hasil. Dan bersyukurlah aku, ternyata keberanianku memainkan berbagai trik dengan telepon genggam ataupun kertas catatan itu membuatku mendapat angka sembilan. Bukan terbaik memang, tapi itu cukup membuat raut senyum bergelayutan. Walau akhirnya masuk Sekolah Menengah Atas favorit pun bukan dengan jalur hasil UN, tapi hasil tes yang tak disangka menggembirakan.

“Anak-anak, jika membawa HP jangan sampai ketahuan ya”, tiba-tiba kata-katanya begitu mencengangkan seraya menyalami para siswa yang baru datang di depan lobi sekolah SMA. Bagaimana tidak seorang guru mengatakan demikian? Guru? Bukan. Itu hanya oknum guru. Pastilah hanya oknum di sekolah menengah umum yang diklaim terbaik mengatakan begitu.Mempersilahkan membawa telepon genggam dan memperingatkan tuk berhati-hati, begitu yang tersirat di benakku. Apakah tidak percaya dengan kemampuan kami? Atau justru program mereka sendiri yang susun untuk UN dianggap basi?

“Lho Pak saya nggak pake HP ko’.. “,balasku pelan sambil tertawa kecil karena merasa disepelekan. Memang aku bukan siswa pandai, tak ada prestasi mentereng yang bisa ku capai, berbagai event olimpiade fisika tak lebih dari sekadar sebagai pengisi waktu santai, dan juara kelas jelas pun tak pernah sampai.

“Iya nggak apa-apa. Terserah kamu. Cuman seandainya mau menggunakan, lebih waspada”, sambungnya.

Aku kecewa. Kata-kata oknum itu bagai menistakan perjuangan guru lainnya. “Anak-anak, bekal yang Ibu berikan ini, dari semua pelajaran tambahan pagi hingga pelajaran biasa dan juga try out sebenarnya cukup. Tinggal kalian mau berusaha atau tidak”, aku ingat betul kata-kata guru bahasa Indonesiaku.

“Belajar lagi ya anak-anak”, atau kata-kata guru Matematika yang ku tahu selalu menahan pedih di balik senyum melihat hasil try out dari para siswanya.

Dan juga kata-kata mereka yang lain. “Fa, Bu Tri itu lho sampai nggak bisa tidur beberapa malam. Kelabakan tahu nilai try out yang tak kunjung menggembirakan. “, ujar guru lesku kala itu. Try out Matematika memang lebih ketat dari yang lainnya. Setidaknya Bu Tri, guru matematikaku selalu berkeliling ke kelas-kelas untuk memasang “mata elang”nya menuntut kejujuran. Hal yang sama ia lakukan di tiap kelas yang dijaganya.

“Kamu lihat soal ini? Atau ini?” ujar Bu Moeljani, guru Bahasa Indonesiaku di rumahnya saat ku kunjungi seraya menunjuk beberapa bendel soal. “Ini hasil ujian semester lalu yang belum sempat Ibu sentuh.” Aku paling merasa trenyuh dengan guruku yang satu ini.

Om Wawan yang sudah dikaruniai dua anak, Tante Yeti, Om Robi, Tante Yuyun dengan lima anak bahkan Ibuku sendiri dengan empat anak adalah anak didiknya di waktu silam. Jadi bisa dibayangkan usianya sekarang bukan? Beliau sudah memasuki masa dimana sebaiknya menikmati hidup. Gajinya pun sudah lebih dari cukup. Tapi kegigihannya tetap berinovasi membuat variasi tipe soal baru meski membuatnya kelelahan hanya karena sebuah alasan, “ Ibu tidak mau kalian menjadi generasi yang dikorbankan”, seperti yang dialaminya di masa silam.

Semua guru pun ku pikir sama. Terlepas bagaimana mereka menggunakan caranya. Mereka ingin yang terbaik untuk siswanya. Bukan sekadar karena tak ingin makan gaji buta, atau melihat siswa berduka di akhir cerita. Keinginannya satu, ingin agar siswanya bisa melakukannya dengan maksimal, ingin agar mendapatkan yang terbaik, syukur-syukur bisa lulus. Mungkin guruku saat berbaju putih merah, dan putih biru juga senada.

Berbicara hasil maksimal, Ujian nasional 2010 lalu kota kecilku digemparkan dengan tiga anak dari kelas spesial di sekolahku yang sudah dianggap nomer satu. Walau akhirnya melenggang terus melalui remedial, berita tak sedap ini sempat memicu kekecewaan para alumnus yang sudah puluhan tahun bisa 100% lulus dengan mulus. “Anak akselerasi itu hanya mencoba bermain lurus”, ujar seorang kawan.

Lurus? Ya, aku mengenal baik kelas itu dari berpuluh pujian yang seringkali didaratkan para guru, tentang keaktifan, kecakapan, dan kerajinan yang melampaui kelas biasa. Usia yang lebih muda justru memberikan lecutan asa. Pastilah optimisme membuat kelurusan prinsip mereka terjaga. “Memang sih mas, di kelasku saat ulangan harian biasa nggak ada yang contek-contekan. Entah karena gengsi, atau memang naluri persaingan yang tinggi. Tapi saat tugas, masih sering kok kerjasama”, aku seorang kenalanku yang juga anggota kelas dengan kecerdasan di atas normal itu melalui chatting facebook.

“Dari beberapa hasil try out memang bagaimana hasilnya?”, tambahku kepadanya. Karena jika pelaksanaan saja jujur, pastilah try out bisa untuk mengukur.

“Keseluruhan parah mas, malah nggak separah kelas lainnya”. Aku takjub mengetahuinya. Dengan hasil try out pas-pasan itu mereka masih saja bersikap ksatria? Subhanallah. Aku tersipu. Pasti kian banyak angka ketidaklulusaan pada semua kelas jika jujur 100% diterapkan. Jika demikian pada sekolahku yang diklaim nomer satu, bagaimana sekolah lain di kota mungilku?

“Harusnya seusai mengerjakan, mereka tak justru tidur, apalagi ternyata pesan singkat berantai berisi jawaban itu tidak melantur”, ujar seorang kawan.

Memang tahun lalu di tiap kali sebelum memasuki ruang ujian, jawaban sudah terlebih dulu beredar. Dan di akhir kisah memang para pengikutnya tak sedikitpun menyesal, karena gosipnya kebocoran soal didapat dari pihak percetakan yang mau dibayar jutaan. Tapi aku cukup bersyukur pihak perguruan tinggi tak sekalipun hasil ujian nasional diperhatikan. Walau masih tak munafik, sempat sedikit kerjasama tapi hanya kanan kiri itupun hanya sedikit. Hasilnya pas-pasan memang. Bahkan salah satu terendah di kelas yang mana sempat aku mendapat rangking tiga.

UN 2011, dengan lima tipe soal, tak lagi menjadi satu-satunya penentu kelulusan, bahkan ke depan digadang-gadang bisa jadi acuan masuk perguruan tinggi. Perbaikan lagi dan lagi. Masih banyak penggemar praktik jujur agar generasi tak tercipta hancur.Maju terus! Bukan mundur teratur karena budaya curang yang sudah terlanjur. Benahi dari tiap lajur, hingga tak lagi ada momen “jujur tak pembawa mujur”.