Halaman

Assalamualaikum, welcome

Sebuah eksplorasi hati...

Jumat, 21 Januari 2011

Sayap- sayap Patah Para Pencari Cinta


Bersama kita lewati
Tiap momen dengan hati
Perlahan saling mengerti
Hingga terpaut penuh arti

“Pak, kelompoknya milih sendiri ya”, suara yang sudah tak asing lagi. Pasti mereka. Mereka? Siapa sih yang tak kenal mereka? Kemanapun mereka bersama. Melangkahkan kaki penuh canda tawa. Dihiasi keceriaan dan kekompakan indah. Ya siapa lagi kalau bukan mereka.

Mereka memang komplit. Anna yang rajin, Vira yang keibuan, Nana yang manja dan Nuri yang suka bergosip ria. Apalagi kepandaian mereka pun sudah tak perlu ditanya. Tiap ulangan pasti tak tercantum nama mereka di daftar remedial. Mereka pun ibarat primadona di kelasku.

“Kan sudah Bapak bilang, satu kelompok lima anak”, ujar Pak Nazril, guru Bahasa Indonesia kami saat itu.

“Tapi Pak, kami sudah cukup berempat saja. Boleh kan Pak”, balas Nana dengan yakinnya.

“Huuuuh”, reriuhan kelas membalas pertanyaan Nana tadi. Memang begitulah mereka, sangat ekslusif. Mereka selalu berkelompok bersama. Pelajaran apapun itu, kecuali guru kami kebetulan tegas dalam mengambil langkah. Itulah yang menyebabkan beberapa kawan kurang simpati kepada mereka. 
Namun, tidak demikian denganku. Karena sedikitpun keekslusifan mereka tak membuat mereka pelit. Mereka murah hati mengajari teman lain bila bertanya. Memberi jawaban tugas atau PR pun juga.
“An, kenapa sich kamu dan teman-teman kelompokmu itu bisa kompak abiisss?”, tanyaku waktu itu. Aku memang penasaran. Aku sudah sejak lama menginginkan memiliki teman teman dekat yang kompak seperti itu. Saling berbagi, saling membantu, dan saling mengingatkan tuk kepentingan semua. Apakah karena mereka perempuan? Dan apakah memang karena para lelaki tak bisa seperti itu?

“Hmm gimana ya”, Anna mengerutkan dahinya. Agaknya dia bingung. “Mungkin karena kami memiliki kesukaan yang sama”, jawabnya dengan cengengesan.

“Apaan emang?”

“Gini Fa, kami itu sukaaaanya Matematika…” , jawab Anna dengan wajah berbinar binar.

“Gila,, matematika disukain? Aku aja akan tasyakuran tujuh hari tujuh malam kalau Matematika dihapus dari peredaran pelajaran SMA”, selaku dalam hati.

“Sukaa film Korea”, tambahnya.

“Iya, Fa, apalagi yayangku Kim Boom yang manis itu hahaha”, sela si Nana.

“Hushh dia milikku, bukan milikmu”, balas Nuri, riuh.

“Betul betul betul”, tambah Vira membenarkan dan bergaya Upin Ipin.

“Dan yang paling penting Fa….”

“Yang paling penting?”, tanyaku balik, penasaran.

“Iya.. Penting buanget nich Fa..”

“Ckckck, naon neng emangna?” balasku, geregetan.

“Kami sama-sama suka cowoook”, seru Nuri dengan lantang. Lainnya pun mengikuti dengan cekikian tak kalah lantang. Anna yang tertawa ala kuda, Vira ala Mak lampir, Nuri ala presenter silet, dan Nana yang malu-malu hingga ketawanya tak sedikitpun memperlihatkan giginya. Saking lantangnya, hingga beberapa anak yang saat itu di kelas melihat ke arah kami.

“Dasar anak perempuan gila, beginilah”, pikirku. Tapi tak bisalah disebut gila. Mana ada orang gila yang selalu lancar ulangan ketika yang lain bercucuran keringat tanda tak mampu, mana ada orang gila yang rajin belajar bersama ketika yang lain menikmati suguhan sinetron di depan layar kaca. Mana ada? Jika ada mereka itulah buktinya. hahaha

Betapapun uniknya mereka, aku masih penasaran bagaimana mereka membangun kekompakan macam itu. Sedang aku, hanya merasa cocok dengan orang tertentu saja dari kaum Adam. Selebihnya mereka tertutup, tidak bisa diajak berbagi, hanya ingin berbagi kesenangan saja. Bagaimana bisa kompak kalau begitu adanya?

“Hei hei, aku masuk kelompok kalian ya bahasa Indonesianya. Dengan begitu kelompok kalian akan pas lima orang”,rayuku. Aku memang ingin tertarik berkelompok dengan mereka. Siapa tahu ketularan rajin. hihi

“Gimana ya. Hmm… Gimana nich guys?”, Anna bertanya balik kepada yang lain.
Mereka berbisik-bisik selama beberapa menit. Dan akhirnya mereka menyetujuiku.

“Lebay amat, gitu aja pake rapat kabinet”, ledekku dengan cengingisan.

“Terserah kami donk”, balas Nana.

Akhirnya aku bisa sekelompok dengan mereka. Awalnya hanya dalam pelajaran bahasa Indonesia, namun setelah waktu berjalan, aku pun terus mencoba hingga dalam pelajaran lain aku diterima lagi untuk satu kelompok dengan mereka.

Tak mudah memang, apalagi bagi anak laki-laki sepertiku masuk di kelompok super ekslusif seperti mereka. Namun waktu berjalan tak sesuai rencana awal. Mereka masih tertutup dan sering berbisik-bisik di depanku.

Dan rumput hijau yang bergoyang menguning sudah
Waktu telah berjalan sesuai jalurnya
Tapi tertutup jua peti hati itu
Terkunci rapat dengan balutan filosofi yang membeku

Setahun berlalu. Kami tak lagi satu kelas. Komunikasi terputus, tersisa memori memori yang aus. Hingga suatu malam, tiba-tiba Anna mengirimu pesan.

“Fa, aku pengen curhat”, tulisnya singkat.

“Yuup, silahkan”, balasku sambil terheran-heran bukan kepalang.

Malam itu diceritakanlah olehnya semuanya. Cerita nyata yang tak terbayangkan siapapun juga tentang mereka. Cerita fenomena anak muda yang tak asing tersampaikan sebagai ide cerita dalam sinetron di layar kaca. Tentang apakah ini? Tentang satu hal, yaitu tentang cinta.

Usut punya usut ternyata tiga dari mereka menyukai orang yang sama. “Itu sudah sejak tahun lalu”, jelas Anna. Orang yang sama? Apakah begitu dekatnya mereka hingga kriteria yang disukai hati juga sama?

“Mengapa baru sekarang ada konflik?”, tanyaku penasaran.

“Karena baru kemarin-kemarin kami sharing masalah ini”.

Parah. Benar adanya saat ku cek lagi keesokan harinya. Sesuai penuturan Anna, mereka terpecah belah. Bak kawanan burung yang selalu terbang bersama, mereka tak lagi sejalan. Satu sama lain saling curiga, tak lagi percaya.

“Bahkan Nuri bilang Fa, persaingan dalam cinta itu tak mengenal batas. Entah itu persaudaraan ataupun sekadar persahabatan. Sejak itu dia tak pernah menyapa. Anna dan Nana sudah mau mengalah, tapi…”, celetuk Vira yang ku temui di parkiran seusai sekolah. Dia sudah menengahkan, tapi apa daya. Ibarat pepatah lama, cinta agaknya membuat satu diantara mereka buta.

“Trus gimana Fa?”, tambah Anna dengan suara lirih.

“Mungkin waktu kan mengubah segalanya”, jawabku singkat. Ya, tak ada lagi cara. Jika sudah bersikeras seperti itu.

Baja keras itu pun kini seperti buih
Terombang ambing terhantam perih
Kala gelombang dahsyat bernama cinta menyapa
Merusak simfoni akan nada-nada indahnya

Sadar disukai para primadona, lelaki itu tampaknya bersikap bijaksana. Dipilihnya salah satu dengan segera. Nuri kecewa, demikian pula Anna walau hanya bisa memendamnya seribu bahasa. Tapi Vira menganggap inilah akhir pertengkaran mereka. Ialah Guntur namanya. Cowok blasteran Indo-Jerman ini memang ramah, gokil dan santun. Pantaslah jika Empat Srikandi itu hingga sempat saling tak tegur sapa. Tapi haruskah sampai begitu?

Dulu kita sahabat berteman bagai ulat
Berharap jadi kupu kupu
Kini kita tlah berjalan berjauh jauhan
Kau jauhi diriku karna sesuatu
Mungkin kita terlalu bertindak kejauhan
Namun itu karena ku ….(adapted by lyric of Sindentocsa)

Seminggu jelang UAN, aku melihat mereka bersama. Berpegangan tangan membentuk lingkaran di halaman belakang sekolah. Dengan perlahan aku menguping pembicaraan mereka. Penasaran. Apalagi setelah mendengar Nana mengakhiri kisahnya dengan Guntur.

“Kita mungkin memang sama- sama para pencari cinta. Terbang bersama laksana kawanan burung di angkasa. Tapi kala salah satu sayap kawan kita patah, kita harus tetap bersamanya. Bagaimanapun caranya”, ucap Vira dengan bijaknya.

“Iya Vir, aku minta maaf ya. Mungkin aku terlalu egois kepada kalian teman-teman”, celetuk Nuri.

“Aku juga. Aku janji akan berusaha menjaga cinta ini demi kalian kawan. Karena kita menyukai orang yang sama, jadi aku hanya mewakili kalian tuk mendampinginya”, balas Nana dengan sesenggukan menahan haru. Guntur tlah berjanji menikahi Nana setelah kuliah, tapi dengan syarat hubungan mereka diakhiri sementara.

“Kita baikaaan”, teriak mereka kompak.

Aku senang, akhir yang bahagia. Tuk semua seperti semula. Dan kini, pelajaran pun tlah ku dapat dari mereka. Sebuah pelajaran akan egosime cinta, yang takkan bisa diungkapkan dengan kata. Karena kala cinta menyapa dan semua terbutakan, hanya pikiran jernih yang bisa mengatasinya.

Minggu, 09 Januari 2011

Ketika Tersungkur Tanpa Busur


Sebuah Curahan Hati Motivasi
By Raffa Muhammad


Ingatlah ketika kau disini
hendak berlari tanpa kaki
ingin melihat tanpa mata
mendengar tanpa telinga si samping kepala

Dan apakah yang kau dapat kawan?
Kala berharap tanpa suatu tuk diusahakan
Saat menanti tanpa kepastian
Ketika berjuang tanpa kejelasan kemenangan



Secara teroritis, semua kemampuan yang diwariskan secara genetika sering disebut bakat atau talenta. Ibarat jika ingin memanah, itulah busurnya yang bisa kita jadikan modal. Sebuah modal untuk menarik sebuah minat dan kesungguhan, membantu kita mengaruhi lika liku yang akan penuh kita hadapi dalam sebuah kehidupan.

Sulit memang saat kita merasakan tidak memiliki sesuatu yang istimewa dalam diri kita. Bukan sebagai bentuk representasi tidak bersyukur terhadap apa yang ada, tapi ada hal lain dimana kita harus fokus tentang apa yang akan kita lakukan di masa mendatang. Di saat itulah jika memang bidang yang kita masuki sesuai dengan bakat kita tentunya semua akan berjalan lebih mudah.

Apalagi jika dari bakat itu dibarengi dengan minat kita di bidang yang sama. Jadilah sebuah kombinasi minat-bakat yang akan menjadi busur kita tuk menarik anak panah, membidik target masa depan yang ingin kita dapati. Melipatgandakan segala motivasi yang akan menjadi saksi, perjuangan meraih mimpi dengan penuh kesungguhan hati.

Tapi bagaimana kita mengetahui busur itu? Dimanakah letaknya dalam diri ini? Sementara berbagai tes minat-bakat yang seringkali digelar pun tak berguna banyak. Tak efektif tuk mengetahui bagaimanakah wajah masa depan yang diri ini sebenarnya ingin dapati. Bahkan terkadang hanya waktu yang bisa menjadi pelipur penasaran tentang jati diri.

Kesuksesan itu 99% hasil keringat, 1% dari bakat.

Itulah yang selama ini ingin selalu ku pegang. Buah kerja keras yang akan mengubah jalan masa depan. Sebuah pengharapan yang dibarengi usaha mati-matian. Tanpa bakatpun tak mengapa, karena minat akan melahirkan motivasi berlipat walau hanya disertai do’a dan kesungguhan usaha.

Tapi kadangkala memang pasang surut tak terbendung. Saat kesulitan datang sebagai jawaban agar terus menempa diri, aku justru menjadi satu dari beberapa orang di dunia yang tak merasa memiliki bakat. Dari situlah keinginan menentukan minat pun seringkali tersendat. Apalagi dibarengi dengan kekurangan sebagai pribadi yang dalam menentukan pilihan digelayuti kebimbangan yang amat sangat. Jadilah lingkungan tak bisa dilepaskan sebuah keputusan dibuat.

Bahkan aku pun menetukan masuk Teknik Telekomunikasi dalam keputusan sesaat. Tepat saat mendaftar ulang secara online di depan komputer. Hanya karena tergiur kesuksesan Paman, dengan gaji melimpah yang berujung dukungan penuh keluarga memasuki bidang yang sama.

Tapi apa, Indeks Prestasiku di semester awal hanya berkisar dua koma. Aku harusnya pulang membawa sebuah kemenangan. Tapi kekalahan yang tak sedikitpun ku janjikan mengikutiku sekarang. Apalah ini artinya? Saat awal-awal begini yang hanya mempelajari dasar aku sudah tersungkur. Apa yang terjadi nanti saat sudah mulai menghadapi rintangan sesungguhnya? Matikah? Terkapar tanpa daya tuk kembali merajut harap keluarga? Jujur aku sudah ragu bisa bertahan. Bertahanpun hanya akan menghasilkan sebuah hasil pas-pasan. Tak cukup bisa tuk disandingkan dengan 22 juta per tahun yang harus orang tuaku keluarkan.

Aku bingung. Siapakah yang harus disalahkan? Apa yang patut disalahkan? Aku sudah berjuang. Tapi hanya berujung kekalahan. Tapi bukan berakhir disini kisahku bukan? Pastinya iya, demikian pula semangat kedua orang tuaku yang masih mempercayaiku tuk kembali meneruskan perjuangan di bidang serupa. Tak peduli apakah aku tak berbakat, tak cocok ataupun tak bisa menjadi kelompok atas di bidangku ini. Selagi masih bisa bertahan, apapun hasil yang didapatkan mereka yakin bahwa itulah yang terbaik dan pantas tuk ku dapatkan.

Aku memang jatuh tersungkur
Setelah sekian membidik tanpa busur
Tapi sekarang aku tlah cukup terlelap dalam tidur
Sudah waktunya kembali membentang peluang tuk diukur
Menebar jala tuk dituai nanti di akhir umur


Memang sangat riskan jika menyadari modal yang kita punyai tidaklah sebanding dengan hambatan awal yang sempat membuat kita tersungkur. Kita boleh jatuh, tapi segera pula bangkit dari keterpurukan. Sebagaimana Thomas Alva Edison yang harus berjuang ratusan kali tanpa kenal menyerah hingga berhasil menemukan bola lampu dengan kawat Wolfram yang cocok, dan juga berbagai perjuangan lain di sekitar kita.

Lalu bagaimana dengan modal berupa bakat itu tadi yang tak dimiliki? Entahlah, tapi tak bijak kiranya jika bakat yang tak dimiliki menjadi alasan tuk menjadi malas berusaha, tuk menjadi takut bersaing, tuk menjadi segan tampil. Biarlah mereka dengan bakatnya, toh itu seua karunia. Dan kita dengan apa yang kita miliki dalam diri ini. Sedikitpun yang kita miliki baik berupa kepintaran maupun keahlian, akan sangat berharga jika itu bisa kita maksimalkan. Jadilah kita memiliki bakat, yaitu bakat berupa karunia keteguhan hati tuk tetap gigih berusaha, tanpa kenal lelah melangkah hingga tak sanggup lagi diri ini berdaya.