Halaman

Assalamualaikum, welcome

Sebuah eksplorasi hati...

Selasa, 15 Maret 2011

UN: Kala Jujur Tak Lagi Mujur



Ujian nasionalku, mungkin tak kurang sama dengan yang banyak dialami orang lain yang mau mengaku. Bagaimanakah?

“Anak-anak, silahkan ya kalau seandainya mau kerjasama. Tapi ada syaratnya”, ujar pengawas itu setelah membacakan tata tertib ujian nasional dengan lantang di depan. Nadanya pelan, seakan penuh keraguan. Sangat beda saat tata tertib tadi ia dengungkan.

“Apa Pak syaratnya?”, sela seorang anak tak sabar.

“Kalian jangan ramai. Pelan-pelan saja ya. Karena jangan sampai yang di luar tahu”, arahnya dengan sedikit memasang senyum seraya mengalihkan pandangan ke luar.

Serentak semua pun berkoar dengan perlahan, “ Hore”, dengan gembiranya.

“Hah, apa-apaan ini?”, pikirku dalam hati. “Aneh. Ko’ ada ya begini?” Saat itulah ujian nasional pertamaku. Masih lugu? Sebut sajalah begitu. Dengan baju putih dan bercelana panjang merah, aku dan beberapa temanku didampingi ustadz ke tempat kami akan melaksanakan ujian.

“Ustadz, Raffa nggak mau nyontekin itu lho”, adu seorang kawan selepas ujian.

“Iya, pelit. Mentang-mentang bisa”, tambah yang seorang lain.

“Fa nggak apa-apa, ajarinlah temennya dikit-dikit. Kasihan jika sampai nggak lulus nanti. Jadi bantulah teman-temanmu ini sedikit ya”, jawabnya. Hal yang sama diutarakannya kepada yang lain.

“Emang boleh?”, pikiran itu berkecamuk dalam benakku. “Mengajari sedikit mungkinkah dosanya sedikit pula? Jika ustadz menyuruhku demikian, kenapa tidak?” pikiran itu kembali membimbangkanku. Tapi, mereka bukannya siapa. Dengannya selama enam tahun ini belajar, bermain dan bersuka duka dengan indah. Apakah cerita indah itu semua akan diakhiri dengan keangkuhan hati karena beberapa hari terakhir ini tak lagi bekerjasama? “Baiklah”, aku pun akhirnya memaklumi.

Hasil diumumkan. Mengecewakan? Dari nada-nadanya orang tuaku menyesalkan. Salah siapa? Sekolahku yang masih baru itu? Atau aku? Entahlah. Setidaknya itulah pengalaman. SDIT di kota kecilku adalah sekolah yang baru didirikan. Aku menjadi satu dari delapan belas angkatan pertmanya. Pertama? Ya pertama. Jadi boleh jadi pihak guru pun belum terbiasa menyuruh siswanya bekerjasama, beda dengan mereka yang berpuluh tahun merasakan asam garam budaya itu dan menularkannya ke siswanya.

Trauma? Ya. Gara-gara itu aku pun hanya bisa melanjutkan di sekolah umum yang diklaim hanya nomer dua. Harapan besar padahal muncul dari orang tua. Tapi apalah semua hanya berujung duka.

Sejak itu aku berubah. Memasuki masa kelam di kala putih biru melekat di dada. Bagaimanakah? Aku berhasil membujuk orang tuaku dan mendapatkan telepon genggam pertamaku. Bermacam dalih ku kemukakan yang akhirnya meluluhkan orang tuaku yang saat itu masih beberapa bulan memegang telepon genggam pertama mereka.

Untuk apa? Itu, sesuai saran teman-temanku. Mempermudah komunikasi, itu pasti. Dengan itu, aku bisa menjalankan peran tuk beraksi. Menyebarluaskan jawaban bahasa Inggris yang satu-satunya bidang keahlianku tanpa sangsi. Beda kelas, atau mungkin sudah beda sekolah tak sekalipun membuatku risih. “Biarlah”, pikirku saat itu. Dengan itu, problematika Bahasa Indonesiaku yang tak lebih dari tujuh di tiap try out sudah basi. Semua teratasi.

Tapi aku menyadari, saat itu aku mulai belajar membunuh rasa bersalah dalam diri. Tiap getaran nurani tuk mengelak, ku pun ikut mengamuk. Apalagi beberapa teman agaknya lebih ahli dalam masalah curang, yang akhirnya membuatku belajar beberapa trik mereka perlahan.

“Aku lho ngerjakan itu sendiri”

“Iya tapi liat itu hasilmu. Hanya tujuh? Itu sudah tidak cukup masuk SMP 1”

“Tapi mereka yang dapat bagus contek-contekan Bu”

“Ah, jangan kebanyakan alasan. Kamu terlalu banyak main PS, malas, dan ogah ogahan belajar”.

Percakapan itu menjadi memori burukku, memori yang menghapus segala keindahan enam tahun bersekolah di sebuah jenjang dasarku. Mungkin aku dari sekian juta anak negeri yang disalahkan karena memilih mengerjakan sendiri walau kemampuan mumpuni yang berujung hasil yang perlu ditangisi.

“Apa yang mereka tahu?”, pikirku. Hasil, hasil dan kembali hasil. Dan bersyukurlah aku, ternyata keberanianku memainkan berbagai trik dengan telepon genggam ataupun kertas catatan itu membuatku mendapat angka sembilan. Bukan terbaik memang, tapi itu cukup membuat raut senyum bergelayutan. Walau akhirnya masuk Sekolah Menengah Atas favorit pun bukan dengan jalur hasil UN, tapi hasil tes yang tak disangka menggembirakan.

“Anak-anak, jika membawa HP jangan sampai ketahuan ya”, tiba-tiba kata-katanya begitu mencengangkan seraya menyalami para siswa yang baru datang di depan lobi sekolah SMA. Bagaimana tidak seorang guru mengatakan demikian? Guru? Bukan. Itu hanya oknum guru. Pastilah hanya oknum di sekolah menengah umum yang diklaim terbaik mengatakan begitu.Mempersilahkan membawa telepon genggam dan memperingatkan tuk berhati-hati, begitu yang tersirat di benakku. Apakah tidak percaya dengan kemampuan kami? Atau justru program mereka sendiri yang susun untuk UN dianggap basi?

“Lho Pak saya nggak pake HP ko’.. “,balasku pelan sambil tertawa kecil karena merasa disepelekan. Memang aku bukan siswa pandai, tak ada prestasi mentereng yang bisa ku capai, berbagai event olimpiade fisika tak lebih dari sekadar sebagai pengisi waktu santai, dan juara kelas jelas pun tak pernah sampai.

“Iya nggak apa-apa. Terserah kamu. Cuman seandainya mau menggunakan, lebih waspada”, sambungnya.

Aku kecewa. Kata-kata oknum itu bagai menistakan perjuangan guru lainnya. “Anak-anak, bekal yang Ibu berikan ini, dari semua pelajaran tambahan pagi hingga pelajaran biasa dan juga try out sebenarnya cukup. Tinggal kalian mau berusaha atau tidak”, aku ingat betul kata-kata guru bahasa Indonesiaku.

“Belajar lagi ya anak-anak”, atau kata-kata guru Matematika yang ku tahu selalu menahan pedih di balik senyum melihat hasil try out dari para siswanya.

Dan juga kata-kata mereka yang lain. “Fa, Bu Tri itu lho sampai nggak bisa tidur beberapa malam. Kelabakan tahu nilai try out yang tak kunjung menggembirakan. “, ujar guru lesku kala itu. Try out Matematika memang lebih ketat dari yang lainnya. Setidaknya Bu Tri, guru matematikaku selalu berkeliling ke kelas-kelas untuk memasang “mata elang”nya menuntut kejujuran. Hal yang sama ia lakukan di tiap kelas yang dijaganya.

“Kamu lihat soal ini? Atau ini?” ujar Bu Moeljani, guru Bahasa Indonesiaku di rumahnya saat ku kunjungi seraya menunjuk beberapa bendel soal. “Ini hasil ujian semester lalu yang belum sempat Ibu sentuh.” Aku paling merasa trenyuh dengan guruku yang satu ini.

Om Wawan yang sudah dikaruniai dua anak, Tante Yeti, Om Robi, Tante Yuyun dengan lima anak bahkan Ibuku sendiri dengan empat anak adalah anak didiknya di waktu silam. Jadi bisa dibayangkan usianya sekarang bukan? Beliau sudah memasuki masa dimana sebaiknya menikmati hidup. Gajinya pun sudah lebih dari cukup. Tapi kegigihannya tetap berinovasi membuat variasi tipe soal baru meski membuatnya kelelahan hanya karena sebuah alasan, “ Ibu tidak mau kalian menjadi generasi yang dikorbankan”, seperti yang dialaminya di masa silam.

Semua guru pun ku pikir sama. Terlepas bagaimana mereka menggunakan caranya. Mereka ingin yang terbaik untuk siswanya. Bukan sekadar karena tak ingin makan gaji buta, atau melihat siswa berduka di akhir cerita. Keinginannya satu, ingin agar siswanya bisa melakukannya dengan maksimal, ingin agar mendapatkan yang terbaik, syukur-syukur bisa lulus. Mungkin guruku saat berbaju putih merah, dan putih biru juga senada.

Berbicara hasil maksimal, Ujian nasional 2010 lalu kota kecilku digemparkan dengan tiga anak dari kelas spesial di sekolahku yang sudah dianggap nomer satu. Walau akhirnya melenggang terus melalui remedial, berita tak sedap ini sempat memicu kekecewaan para alumnus yang sudah puluhan tahun bisa 100% lulus dengan mulus. “Anak akselerasi itu hanya mencoba bermain lurus”, ujar seorang kawan.

Lurus? Ya, aku mengenal baik kelas itu dari berpuluh pujian yang seringkali didaratkan para guru, tentang keaktifan, kecakapan, dan kerajinan yang melampaui kelas biasa. Usia yang lebih muda justru memberikan lecutan asa. Pastilah optimisme membuat kelurusan prinsip mereka terjaga. “Memang sih mas, di kelasku saat ulangan harian biasa nggak ada yang contek-contekan. Entah karena gengsi, atau memang naluri persaingan yang tinggi. Tapi saat tugas, masih sering kok kerjasama”, aku seorang kenalanku yang juga anggota kelas dengan kecerdasan di atas normal itu melalui chatting facebook.

“Dari beberapa hasil try out memang bagaimana hasilnya?”, tambahku kepadanya. Karena jika pelaksanaan saja jujur, pastilah try out bisa untuk mengukur.

“Keseluruhan parah mas, malah nggak separah kelas lainnya”. Aku takjub mengetahuinya. Dengan hasil try out pas-pasan itu mereka masih saja bersikap ksatria? Subhanallah. Aku tersipu. Pasti kian banyak angka ketidaklulusaan pada semua kelas jika jujur 100% diterapkan. Jika demikian pada sekolahku yang diklaim nomer satu, bagaimana sekolah lain di kota mungilku?

“Harusnya seusai mengerjakan, mereka tak justru tidur, apalagi ternyata pesan singkat berantai berisi jawaban itu tidak melantur”, ujar seorang kawan.

Memang tahun lalu di tiap kali sebelum memasuki ruang ujian, jawaban sudah terlebih dulu beredar. Dan di akhir kisah memang para pengikutnya tak sedikitpun menyesal, karena gosipnya kebocoran soal didapat dari pihak percetakan yang mau dibayar jutaan. Tapi aku cukup bersyukur pihak perguruan tinggi tak sekalipun hasil ujian nasional diperhatikan. Walau masih tak munafik, sempat sedikit kerjasama tapi hanya kanan kiri itupun hanya sedikit. Hasilnya pas-pasan memang. Bahkan salah satu terendah di kelas yang mana sempat aku mendapat rangking tiga.

UN 2011, dengan lima tipe soal, tak lagi menjadi satu-satunya penentu kelulusan, bahkan ke depan digadang-gadang bisa jadi acuan masuk perguruan tinggi. Perbaikan lagi dan lagi. Masih banyak penggemar praktik jujur agar generasi tak tercipta hancur.Maju terus! Bukan mundur teratur karena budaya curang yang sudah terlanjur. Benahi dari tiap lajur, hingga tak lagi ada momen “jujur tak pembawa mujur”.

Tidak ada komentar: