Halaman

Assalamualaikum, welcome

Sebuah eksplorasi hati...

Selasa, 15 Maret 2011

UN: Perubahan Dijanjikan, Perubahan Tak Kunjung Datang

Ujian Nasional, mengingatnya tak pelak membuka kenangan akan guru Biologiku semasa berbaju putih abu-abu. Kalimat yang tak panjang, tapi kencang dan lantang ia dengungkan. Menusuk, hingga terasa sampai ke tulang rusuk.

 “Kalian tidak perlu sebenarnya datang pagi-pagi kesini, bersusah payah mengikuti pelajaran tambahan jika hanya demi UN”, ujarnya tiba-tiba di kelasku. Kami pun terheran-heran, hingga pikiran negatif mulai bermunculan. Ada apa? Apakah tidak ikhlas berangkat pukul 06.00 demi mengajar? Memang, honor dari pelajaran tambahan persiapan UN tidaklah besar. Tapi program ini setidaknya cukup membantu para pelajar.

“Memang kenapa Pak?”, tanya seorang siswa pelan.

“Mas, sampeyan ini ko’ ya nanya kenapa? Jelaslah, UN kita hanya butuh itu”, tambahnya dengan logat jawa kental seraya menyindir dengan menunjuk seorang murid yang ternyata baru saja menggunakan telepon genggamnya diam-diam saat pelajaran.

“Kalian punya ini bukan?”, lantangnya dengan mengacungkan sebuah telepon genggam. Tak perlu ditanya, kantong siswa beratribut putih merah pun kerap berisikan benda itu sekarang. Sementara beberapa dari kami masih bingung, sungkan dan agak tersipu dengan kenyataan senjata perang telepon genggam bukannya pensil, penghapus ataupun buku-buku latihan.

“Dengan ini kalian tidak memerlukan belajar. Buang aja buku biologi kalian kalau mau...! Silahkan..! Jadi bagaimana?”, nadanya yang keras pun sontak memupus sisa-sisa wajah gurau di sebagian sudut ruang kelas. Atmosfer sangsi pun terlihat dari beberapa paras. Beberapa melihat kanan kiri selaras. Tetap saja tak tak satupun terlontar sebuah jawaban jelas.

“Kalau semua diam, artinya setuju”, nadanya merendah. “ Bagaimana kalau kita pulang saja sekarang. Saya lho juga masih ngantuk”, tambahnya seraya memasang tampang jenaka. Spontan, suasana panas pun mulai mencair segera.

“Jadi milih mana kalian ?”, nadanya kembali tinggi. Serentak pula seisi kelas mendadak kembali sepi.

“Milih belajar Pak”, sebuah suara mengawali diikuti serentak dengan perlahan oleh semua. Suara apakah ini? Suara hati? Ataukah sebatas suara diri yang merasa gengsi?

“Kalau begitu kalian berani nggak berjanji sama saya, UN nanti akan berusaha tidak mengandalkan orang lain?”, lanjutnya.

“Iya Pak”, kembali serentak semua menjawab. Lebih pelan kali ini. Maklumlah, ini berhubungan langsung dengan janji. Sebuah komitmen dari dalam diri. Tapi apalah artinya? Janji tinggal janji.

Sementara pelajaran tambahan tetap berjalan, jadwal try out UN pun bergilir tuk digelar. Namun Try Out berjalan jauh dari harapan. Bagaimana tidak? Dana Pemerintah Daerah dan pihak sekolah terkesan dihambur-hamburkan dengan simulasi UN yang ternyata juga penuh kecurangan. Curang? Bagaimana bisa UN yang tiap tahun digadang-gadang ada perubahan masih demikian?Apalagi ini hanya simulasi. Simulasi kecurangankah?

Try out digelar. Ditekankan sejak awal tuk berlaku jujur memang. Alasannya jelas, untuk mengukur kesiapan. Namun, tujuan pun tinggal tujuan. Akhirnya melenceng dari arahan. Miris kala tahu try out hanya banyak digunakan tuk berlatih melakukan kecurangan.

Berlatih? Jangan harap bisa spontan tanpa dibiasakan Bung! Sebenarnya kita patut bersyukur diberikan nurani yang membantu kala membedakan yang kotor dan bersih. Saat memilih yang kotor, nurani menolak, seraya diripun bergejolak dan kadangkala gemetar dan cucuran keringat tak dapat terelak. Pun dengan yang bersih, kadangkala iri hati menjangkiti, apalagi ketika hasil mengecewakan diraih. Itulah anomali yang terjadi.

Berbagai alasan mengemuka, dari mulai rasa malu akan nilai pas pasan yang dibuka, solidaritas dengan teman yang diasah di muka hingga persiapan mental di hadapan pengawas ujian agar peka. Alasan yang wajar jika ditelisik dengan pemikiran awam. Menghalalkan apapun demi tujuan. Merelakan nurani yang terkoyak menghapus kebenaran. Mereduksi jiwa yang ingin menggapai sebuah impian.

“Hey ini try out Bung”, begitulah candaku kepada seorang teman yang meminta jawaban. Perlahan mereka pun memaklumi. Dengan congkak aku bersenandung, yakin jawabanku pastilah benar tanpa rasa canggung. Benarkah? Aku bingung. Apalagi kemampuan pas-pasanku tak kuasa mendukung. Melihat teman lain menyontek ria, godaan pun tak terbendung. Tapi prinsip bukan sekadar kamus dalam folder benakku. Itu telah menjadi aplikasiku saat itu.

Kampanye try out jujur digelar sebelum itu. Persis seperti arahan pihak guru yang memang ingin mengukur kemampuan kami agar tak lagi ragu. Catatan Facebook menjadi alat utamaku, diskusi dan ajang curhat teman sekelas menjadi pendukungku dan akhirnya para teman dekatku pun perlahan mengikuti jejakku.

Hasil try out diumumkan. Tidak ada kejutan. Nilai parahku pun ditampilkan. Dikirimkan kepada orang tua yang akhirnya pun ku hilangkan. Inikah akibat sok pintar? Entahlah. Beberapa teman yang mengaku jujur pun terlihat murung dengan hasil muncul. Setidaknya bisa bangga dengan kejujuran yang ditegakkan, ayo bertahan. Seruan hati yang terbungkam.

Sementara beberapa yang mengimplementasikan try out sebagai sarana coba-coba kerja sama pun berjaya. Kini mereka melatih metode tak terbatas tuk berlatih mengelabui pengawas. Parahnya, saat itu pengawas pun hanya menganggap itu try out biasa. Padahal sebaliknya, atmosfer ujian nasional harus membahana. Bukan justru ujian kampungan yang hanya membuang dana, sekadar implementasi tanpa hasil program yang ada. Begitukah?

Di beberapa sekolah lain memang try out diperketat, tapi disalahgunakan pula tuk membuat sekat. Dengan sekat akan diketahui siapa saja yang berbakat dan nantinya bisa membantu mereka yang kemampuannya sekarat. Tak percaya? Jangan percaya, cukup saja anggap semua ini bualan maya. Tapi coba tanyakan saja kepada mereka yang tak berdaya, bagaimana pihak sekolah membuat budaya agar yang kemampuannya agak gelap menjadi terang dengan sedikit cahaya.

Budaya itu dibangun, dipupuk dan dilestarikan demi mengejar kata beres. Beres hingga di akhir kisah bisa dipampang spanduk bertuliskan “Terima kasih atas doanya, sekolah kami lulus Ujian Nasional 100% dan sukses”. Mungkin perlu ditambahkan “Sukses mengurangi korban yang terancam stress”. Jika sudah demikian, pihak sekolah sudah menganggap sukses dengan budaya serba beres. Budaya? Saya sejak tadi menyebutnya budaya disini bukan karena ini program gres. Khususnya untuk SD dan SMP, hasil UN akan menentukan akses untuk memilih jenjang selanjutnya yang dikenal favorit dengan banyaknya alumni yang sukses.

Di sisi lain pihak sekolah tak ingin melihat anak didiknya hanya meringis, saat yang lain bisa memilih sekolah dengan optimis. Menangis saat mimpi siswanya sebagai saintis harus kandas oleh ganasnya persaingan najis. Najis? Sekolah berlandas agama pun tak kuasa menganggapnya najis. Apakah mereka naif? Tidak. Sama sekali tidak. Reformasi sistem pendidikan disuarakan, tapi yang di Jakartalah pemegang kendali perubahan.

Jika ingin perubahan, jadilah menteri pendidikan. Begitukah kawan? Setidaknya itu yang bisa kupikirkan. Mengapa demikian? Setelah pihak dinas pendidikan menyerahkan pengawasan kepada perguruan tinggi yang kerap memiliki gelar pengawas “independent” disamping pengawasan dari guru sekolah lain, untuk tahun ini ditiadakan. Dirubah sana, dirubah sini. Diobok-obok berdalih evaluasi.

Saya kadangkala bingung, dimana genderang profesionalisme yang digadang-gadang akan berdengung? Apalagi saat tahu pengawas ujian mau diperdaya pihak sekolah untuk mengawasi dengan aman. Apakah mendapat ancaman? Memang masalah UN bukan sepele dan patut disepelekan. Pernah saya mendapat cerita dari guru saat menjadi pengawas harian, beliau mendapat ancaman pembunuhan. Bayangkan! Honor yang tidak serta merta mengeyangkan, berbuntut nyawa dipertaruhkan.

Belum lagi politik saling sandera antar sekolah. Katanya bertujuan semata-mata demi kesuksesan bersama. Analoginya mudah, jika sekolah A yang dijaga pihak sekolah B memperketat pengawasan, hal sama akan dilakukan oleh pengawas di sekolah A. Terlepas pengawas itu dari sekolah B atau di luar. Kongkalikong yang sudah membudaya, indah jika dilihat dari aspek gotong royong dan kerjasama. Tapi apakah disini tempatnya berada?

Makin parah dengan citra sekolah yang selalu harus dijaga. Apalagi sebagian besar masyarakat dengan awamnya masih merasa, hasil UN gambaran mutu sekolah. Coba lihat, mereka yang hasil UN terbaik dengan bangga diwawancara hingga masuk layar kaca.

Syukur jika memang jujur, dan semoga saja nantinya mujur. Tapi apakah manjur untuk menghasilkan budaya belajar teratur? Dari luar memang terlihat etos belajar tinggi jelang jelang UN menggempur, Pemerintah pun membanggakan itu penuh rasa syukur. Tapi di sisi lain budaya curang yang tetap tumbuh subur, hanya menggerogoti penerus negeri perlahan hingga hancur. Bagaimana bisa tercipta generasi berhati kejur tuk selalu jujur?

Bagaimana jika UN dijaga pihak tentara saja? Berseragam lengkap dengan senjata. Bentakan dan todongannya pasti akan membuat kecut siswa tuk curang dengan sengaja. Tapi jangankan teguran keras, pengawas juga dilarang berkeliling kelas.Mengganggu konsentrasi katanya. Jadi bagaimana bisa melihat telepon genggam ataupun kertas ajaib yang berkeliaran jika hanya dari depan?

Sistem salah? Benarkah? Setidaknya mereka yang berkoar anaknya, sanak familinya, ataupun siswanya tak jadi mendapat kelulusan walau diklaim prestasinya mentereng dan sudah diboking kampus keren masih saja sering berdemo dengan rela. Walaupun pengadilan terhadap penuntut UN telah memutuskannya kalah.

Di tiap tahun sudah ada perubahan, begitulah dalih Pemerintah melindungi UN tuk selalu ada. Muak sekali ketika melihat mereka menutup mata. Disini ketat, disana longgar. Untungnya pihak sekolah favorit berinisiatif memulai perubahan. Tak lagi berlaku 100% hasil UN mempengaruhi peluang masuk sekolah mereka. Mereka sudah tahu kebobrokannya, sudah bercengkerama dengan kerusakan budayanya, dan tanpa pilihan mereka pun terlibat di dalamnya. Di tahun 2011, UN pun diklaim akan berubah, tapi apakah sekadar wacana? Dan mungkinkah “mimpi” pemerintah menjadikan UN menengah atas sebagai acuan memasuki bangku kuliah? Kita lihat saja.

Tidak ada komentar: