Diantara buku perpustakaan yang membuatku terkesan, inilah salah satunya. Buku kumpulan cerita pendek ini ku baca beberapa bulan yang lalu. Yang jelas, ketika aku membacanya aku tertarik pada kisah Nania dan Rafli, dalam salah satu cerpen berjudul “Cinta Laki-Laki Biasa”, oleh penulis yang namanya tak asing lagi, Asma Nadia. Meskipun di dalamnya sebenarnya banyak cerpen lain yang tak kalah memesona, ceritanya yang tentang cinta seorang laki-laki biasa begitu istimewa. Mungkin karena pas sekali bagiku dan mungkin kalian laki-laki yang menganggap diri kalian hanya seorang biasa.
Cerita ini dimulai ketika suatu hari, Nania menceritakan kepada keluarganya bahwa Rafli ingin melamarnya. Saking mantapnya, ia lakukan itu ketika semuanya berkumpul dalam sebuah acara keluarga. Namun respon kurang setuju ditunjukkan keluarganya. Dari mulai Papa, Mama, hingga ketiga kakaknya.
Tahukah kalian, Nania adalah seorang istimewa di banding kakak-kakaknya. Asma Nadia menggambarkannya sebagai sosok yang berprestasi nan rupawan. Dari mulai menyanyi, hingga menjadi prestasi di pendidikan. Ketika aku membayangkan, lemarinya pasti dipenuhi beragam jenis piala penghargaan. Dengan kondisinya, ia sebenarnya bisa memilih lelaki mana saja yang disukainya. Pasti. Siapa pula lelaki yang tidak ingin mendapatkan anugerah sepertinya. Karena semua hal istimewa yang dimilikinya, Nania pun menjadi buah anak emas orang tuanya. Mungkin karena itu mereka tidak akan menyerahkan anak bungsunya ke sembarang lelaki, apalagi kepada Rafli.
Sementara sosok Rafli tak asing lagi. Teman Nania ketika kuliah. Tidak tampan, dan tanpa prestasi seperti Nania. Pendidikannya pun biasa. Tak ada prestasi luar biasa. Keluarganya juga tidak kaya raya. Benar-benar biasa. Tidak cukup istimewa. Tidak cukup pantas untuk sosok penuh talenta seperti Nania. Dan keluarga Nania tak bisa menerimanya. Seakan terlalu jauh level diantara keduanya. Tidak hanya orang tuanya, namun ketiga kakaknya juga berpendapat sama. Nania pantas mendapat yang lebih baik, kata mereka.
Hari itu, Nania sampai kehabisan kata-kata ketika hendak kembali membela Rafli. Sama seperti hari demi hari kemudian ketika pembicaraan mereka mengarah ke arah Rafli. Kembali dan kembali. Nania dihadapkan pada kondisi tersudutkan. Ia tak memiliki bukti yang bisa membuat Rafli tampak luar biasa, dan istimewa. Karena Rafli memang demikian adanya.
Bayangkan, jika berada di posisi Nania. Kita dengan kelebihan yang kita miliki, justu dicintai seseorang yang biasa. Dia mengungkapkan keseriusannya. Padahal lebih banyak yang di luar sana lebih istimewa. Namun pada akhirnya, keteguhan hatinya membuatnya bertekad bulat untuk menerima pinangan Rafli. Di sisinya ia merasa bahagia. Dan pernikahan pun dilaksanakan keduanya.
Entah apa alasan Nania. Aku hanya bisa menerka. Apa mungkin dia berfikir, setiap orang yang memiliki kelebihan luar biasa, dan mencari pasangan yang juga luar biasa tidak akan merasakan cinta seutuhnya? Ya, mungkin akhirnya cinta ia pilih karena kelebihan itu. Sementara Nania pasti tahu, segalanya adalah semu.
-----------------------------
Setahun setelah pernikahannya, Asma Nadia menceritakan dengan narasi kata khasnya bahwa Nania masih dihadapkan pada kondisi serupa. Orang-orang, bukan hanya keluarganya bahkan, tetap bertanya mengapa Rafli menjadi pilihannya. Tidak sepadan, mereka bilang.
Ketika Nania berkilah, “tidak ada yang mencintaiku seperti halnya dia”. Kebanyakan tetap bersikukuh, lelaki manapun akan dengan mudah mencintainya. Nania pun hanya bisa pasrah. Susah meyakinkan mereka, bahwa Rafli adalah takdir terbaik yang diberikan Allah untuknya. Memang di luar sana pasti ada lelaki yang lebih memiliki kelebihan, prestasi dan apapun yang memang membuat jatuh hati wanita. Namun tidak pada Nania. Rafli telah menjadi pilihan hatinya. Melalui istikharah, ia merasa Allah ikut memantapkan pilihannya. Jadilah pilihan itu yang tak bisa digugat siapapun juga.
Sebuah keteguhan yang luar biasa menurutku. Apa yang dilihat Nania dari seorang Rafli? Bahkan ia tak punya banyak bukti yang membuat orang terkagum kepadanya. Nania teguh pada prinsipnya. Pada pilihannya.
Perlahan, waktu pun berlalu hingga tak terasa telah menginjak lima tahun saat ini. Nania dan Rafli telah dikaruniai dua buah hati. Mereka hidup lebih berbahagia kini. Rafli berusaha bekerja lebih giat lagi. Meski nyatanya, gajinya pun masih tak seberapa di banding Nania yang memiliki karir lebih memesona.
Syukurlah, kondisi tidak membuat keduanya terpecah belah. Rafli selalu belajar berlapang dada. Sementara Nania selalu berhati-hati agar tak sampai menyinggung perasaan lelaki yang dicintainya. Mereka menjaga satu sama lain. Saling menguatkan dan menenangkan ketika masalah hadir. Kata-kata sejuk Asma Nadia gambarkan tentang kondisi keluarga Nania. Benar-benar kesan sakinah dan penuh bahagia dilukiskannya dari setiap kata.
Sementara di luar, orang-orang masih menganggap Rafli orang yang sangat beruntung. Benar-benar beruntung hingga mendapatkan Nania. Seorang yang biasa, tidak sedikitpun nampak istimewa meski juga tak terlalu buruk perangainya. Jika aku menjadi Rafli, pasti tekanan ada di sisiku. Setiap jalan berdua, tetangga bergunjing yang membuat telinga merah. Berkunjung ke rumah keluarga, tidak mendapatkan perlakuan yang begitu ramah. Bagaimana apabila kalian mengalaminya? Pasti tidak nyaman juga khan ya?
Untunglah Nania selalu menguatkan Rafli. Sembari ia terus kuatkan dirinya kepada Sang Ilahi, dari perkataan macam-macam orang yang mendengki. Tidak peduli kata orang, bagi Nania, Rafli istimewa. Cintanya utuh. Tiada terbagi, ataupun semu.
Cerita ini berlanjut hingga tahun ketujuh sejak pernikahan. Kehidupan Nania semakin sempurna. Karir di kantornya perlahan namun pasti, semakin menanjak seiring profesionalisme yang disokong kepandaian yang memang dimilikinya. Anak-anak tumbuh dan berkembang setiap harinya, tentunya dalam pengawasan sempurna sosok Rafli juga sebagai kepala rumah tangga. Gaji Rafli kini, tentu kian tak bisa menandingi apa yang Nania miliki. Tetapi, hal itu tak menjadikannya masalah yang berarti. Mereka berdua saling percaya, saling mendukung dan menyemangati satu sama lain. Termasuk dalam bekerja. Percuma rasanya, menumpuk banyak harta sementara kebahagiaan keluarga tak terasa.
Bagaimana menikmati sejenak kisah Rafli? Seorang biasa yang mendapatkan sosok istimewa? Merasa iri? Tahan dulu iri kalian hingga menyimak kisah mereka saat sepuluh tahun sudah mereka kini menikah.
Nania sedang hamil anak ketiganya. Seperti sebelumnya, Rafli kian memperhatikannya. Seperti “suami siaga, siap antar jaga” jika kita melihat iklan Dinas Kesehatan. hehehe
Makanan, istirahat dan segalanya ia atur sedemikian rupa agar sang pujaan hati mendapatkan perawatan terbaik hingga sang jabang bayi membuka mata dan melihat indahnya dunia. Namun kali ini, semua tak berjalan seperti dua kali persalinan sebelumnya. Kandungan Nania tidak normal. Itulah yang membuatnya perlahan-lahan harus meninggalkan karirnya yang berada di puncak dengan mengikuti perawatan. Mendekati ke bulan sembilan, sang bayi tak jua ada tanda-tanda keluar. Operasi pun akhirnya dilakukan. Kalau tidak, nyawa sang bayi dan ibunya akan terancam.
Disinilah detik-detik mengharukan dimulai.
Beberapa jam sudah pintu ruang operasi masih tertutup. Dokter dan perawat yang sedari tadi tak jua keluar. Rafli hanya terduduk diam. Quran kecil yang dia baca biasanya hingga Nania bisa terlelap tak kuasa ia baca. Tangannya gemetaran. Dzikir terus ia lantunkan perlahan. Di sampingnya ada Papa dan Mama dengan raut wajah sama penuh kekhawatiran. Sementara ketiga kakak Nania bergantian datang dan pergi.
Beberapa lama, dokter telah keluar dan mengonfirmasi selesainya operasi. Bayinya lahir selamat dan sehat. Namun, Rafli mendapati bidadarinya dengan kelopak mata yang enggan membuka. Nania belum sadar. Belum bisa sadar.
Empat hari kemudian, sang bayi sudah bisa dibawa pulang. Namun Nania tidak demikian. Ia masih terbaring di atas ranjang. Koma. Tak sadarkan diri. Entah kenapa, mungkin karena kodisinya ketika melahirkan terlalu lemah. Atau memang kehendak Allah yang menguji Rafli dan keluarganya.
Setiap hari Rafli mengunjungi Nania. Diajaknya bicara istrinya. Walau tak jua menyahut kata-katanya. Ia tetap bercerita. Diceritakannya kondisi di rumah. Anak-anak yang kini kondisi bagaimana. Sekolah mereka. Makanan mereka. Dan kerinduan mereka akan sosok Ibunya.
Pasti jika menjadi Rafli kita memilih membayangkan kondisi seperti ini tak mungkin terjadi. Namun ketahuilah, apapun yang belum terjadi belum tentu juga tidak akan terjadi.
Hari demi hari, Nania masih tak sadarkan diri. Tak terasa, rindu demi rindu pun mengisi relung kalbu. Ia tak bisa membayangkan, wajah yang terbaring di depannya akan meninggalkannya selamanya. Rafli masih semangat untuk datang rutin setiap hari. Sementara kondisi Nania hingga pekan kedua tak menunjukkan perkembangan berarti.
Asma Nadia menggambarkan perasaan tidak karuan Rafli yang menyakitkan. Tak bisa kubayangkan memang. Namun tampaknya kehilangan sosok yang dicintai segenap hati benar-benar menyakitkan. Sakit. Lebih dari ketika sakit ketika akibat monyet ala remaja. Lebih galau dari mahasiswa ketika soal ujian susah di depan meja.
Perlahan, Rafli belajar untuk pasrah. Memang, Nania telah sebulan kini tak kunjung membuka mata. Andaikata ia putri tidur, dengan kecupan saja pasti kan segera bangun. Sayangnya kecupan Rafli tak bisa membangunkannya. Ayat-ayat cinta Allah yang dibacakannya dekat Nania juga sama. Rafli hanya bisa mengeluarkan airmata. Yang juga tak bisa membangunkan Nania.
Hingga hari ketiga puluh tujuh sejak persalinan saat itu. Akhirnya Nania membuka mata. Ia langsung dihadapkan pada sosok Rafli yang berlinang airmata. Namun kini kondisinya tidak seperti sedia kala.
Sahabat. Apabila kalian dihadapkan pada kondisi Rafli, mendapatkan sosok istri yang luar biasa pastikan sanggup dengan lantang mengucap kata setia bukan? Tetapi kondisi Nania kini begitu menyedihkan. Tak lagi luar biasa. Bahkan untuk mengurus diri sendiri kini dia tidak bisa. Nania lumpuh. Total seluruh tubuh. Dan disinilah sosok yang dikatakan biasa itu membuktikan cintanya.
Rafli mengurus semuanya. Ketiga anak-anaknya, dan Nania yang tak bisa bergerak dari kursi rodanya. Walaupun dia bisa memilih bercerai dan menikah lagi. Karena pastinya mengurus tiga anak dan seorang istri yang cacat tak berdaya juga perlu pengorbanan yang tidak sedikit adanya. Keluarga Nania pun saya duga bisa tahu diri, ketika awal mereka enggan merestui karena kondisi Rafli, pastilah kondisi Nania saat ini juga bisa membuat kata “cerai” bisa dimengerti. Namun tidak demikian ternyata khan?
Bertahun-tahun lamanya, Nania mendapat cemoohan karena suaminya yang tak istimewa sepertinya. Tetapi itu tak cukup lama, dibandingkan decap kagum pengorbanan untuk tetap setia pada di puluhan tahun setelahnya. Cintanya sama, tak sedikitpun berubah.
Rafli membuktikan cintanya yang luar biasa, walau ia hanya seorang yang biasa. Ia mencintai Nania bahkan ketika Nania kehilangan semua yang istimewa. Jelas terbukti, ia benar-benar mencintainya karena Illahi, bukan semata-mata cinta karena pesona kelebihan yang dimiliki.
Dari sini aku mendapatkan banyak hikmah. Salah satunya ialah, mungkin kita semua ingin mendapatkan yang istimewa. Cantik parasnya, cerdas otaknya, dan apalah terserah. Semuanya tidak salah. Benar-benar tidak salah. Namun pertanyaannya adalah, bagaimana kita melihat hakikat mencintai? Akankah ia suci tuk terus bertahan sehidup semati? Atau hanya semu bak debu yang dengan mudah tertiup angin kecil. Mari terus benahi diri agar nanti biasa mempertanggung jawabkan cinta yang kita miliki. Bukan hanya dengan lisan, tetapi hati dan perbuatan.
by Raffa Muhammad, nama Pena dari M. Faizal Ramadhan, 111100075, Telecomunication Engineering '10