Suatu hari, di dua ribu sepuluh.
Tepat di angka delapan. Jam di telepon genggamku malam itu.
"Eh, si kakak. Ngga nyapa ih", ujarnya seraya membuatku menepi.
"Eh, si kakak. Ngga nyapa ih", ujarnya seraya membuatku menepi.
"Oh, kamu. Darimana?", tanyaku berbasa basi. Ia hanya membalas dengan senyum dan dia beranjak pergi. Meninggalkanku dengan jalanan sempit yang biasa ku lalui.
"Dasar ababil GJ", pikirku dalam hati. "Perempuan, tingkahnya susah dimengerti", terkaku kembali.
----------------------------------------
The next days
TPA hari ini cukup ramai seperti biasa. Namun sosok adik yang menyapaku kemarin tak tampak. Mengapakah? Ketika kutanya, yang lain tak ada yang mengetahui jawabannya.
Ah biasa. Kucoba memakluminya. Sedikit memaksa. Ia sudah remaja. Pastilah lebih mengerti mana yang benar dan salah. Dibandingkan bocah-bocah di depanku yang beraneka rupa kenakalannya.
Demikianlah, sederet pikirku yang mengemuka. Dan perhatianku pun teralihkan oleh anak-anak lainnya.
Jika dipikirkan susah memang. Ketika kita dituntut memberikan perhatian sedemikian rupa bagi puluhan anak-anak yang ada. Tak sendiri?. Ya, aku memang bersama beberapa mahasiswa menjadi teman belajar mereka selepas senja beranjak pergi. Di musholla kecil itu, kami mencoba mengais sedikit ilmu. Berharap bisa menjadi bekal bagi anak-anak lugu yang menjadi generasi harapan di kemudian waktu. Namun....
----------------------------------------
Tahukah kawan, menjadi mahasiswa bukan perkara yang mudah.
Memang, kuliah, amanah dan lain sebagainya jika itu kau jadikan dalih semua atau salah satunya.
Tetapi anak-anak kecil itu, tak semua mengerti walaupun tlah mencoba.
Baginya kita cukup istimewa, bukan sekadar orang terpilih dan terpilah.
Namun ada kekuatan yang menggerakkan hati kita.
Karena itulah kita bergerak bukan, wahai kawan?
Lalu apakah itu kawan?
Masihkan itu ada dalam genggaman?
Jangan sampai ia menghilang dan menjadikanmu menoreh sejumput noda seperti yang kutinggalkan.
----------------------------------------
Sejujurnya aku merasa istimewa bila bercengkerama dengan mereka. Namun keistimewaan semu yang dirasa, akan segera dilibas jenuh, emosi dan berbagai halang rintang yang membuat hati enggan bertahan.
Mungkin bagi kita kawan yang mau menyisihkan waktu, bisa merasakan status menjadi pengajar. Atau jika diistilahkan, jadi murabbi kecil-kecilan. Walaupun sebenarnya terkadang ilmu yang kita ajarkan, belum tentu sudah benar kita resapi dalam-dalam sebelum kita celotehkan di khayalak raut muka para generasi harapan. Iya bukan? Namun, jangan pernah meremahkan. Atau kita hanya akan menuai sejumput noda, yang kan sulit terhapuskan.
Waktu bergulir.
Adik perempuan tadi masih enggan menampakkan kembali di TPA kami.
Ku pinta pengajar perempuan menanyakannya, namun tak menuai hasil.
Kami terlalu sibuk mungkin. Dengan anak-anak yang lebih kecil, riang dan usil. Suasana TPA lebih ramai oleh mereka. Sementara yang remaja, seakan mendapat waktu sisa. Dan tenaga kami belum cukup menampung semuanya.
Sekadar tahu saja, dia adalah sosok yang cukup rajin sebenarnya. Ia cukup pandai mengajinya, hafalan pun lumayan, dari segi prestasi cukup menggembirakan. Dan dari situ mungkin kami terlena melakukan penjagaan.
------------------------------------
The next other days
"Eh, kok nggak ngaji lagi?", tanyaku suatu hari. Kami berpapasan. Rumahnya memang dekat dari musholla kecil kami.
"Errr, banyak tugas sekolah kak, hehehe", kelitnya. Ia beranjak pergi.
"Terlambatkah?", pikirku menyeruak. Mungkin juga. Sebelumnya aku memilih tak terlalu peduli, dan kini seketika ingin sedikit berbagi seakan canggung pun menyergap di hati.
"Ah pura-pura peduli, ah basa-basi, aahhhh"
Aku mencoba menenangkan diri. Mencoba mengurangi prasangka negatif tentang apa yang ia pikirkan terhadap kepeduliaan yang tampak tiba-tiba. Namun ternyata, alasan demi alasan membuat ia perlahan benar-benar tak kembali ke TPA kami.
------------------------------------
Sebaik-baik kata ketika menyapa.
Apabila tergantikan oleh senyuman.
Terdiam.
Tetap saja, terekam diam.
-------------------------------------
The next other days
"Hei... Assala..", sapaku sembari terkejut melihatnya.
"Ia membalas sapaanku dengan hanya tersenyum malu seperti biasanya. Namun kini, sedikit berbeda.
Tak lagi tampak kain melindungi mahkotanya.
"Mungkin lupa, mungkin dicuci, atau mungkin...", ah apapun aku mencoba berbaik sangka. Memang sih, dia telah mengaji di TPA jauh sebelum aku ikut mengajar disini. Jadilah pasti senior-senior yang ku ketahui sendiri jauh lebih baik, memberikan sesuatu yang berbekas di hati.
Perlahan, jilbabnya mulai lebih sering ditanggalkan ketika kami berpapasan.
"Hmm, mungkin dia sudah mulai puber", pikirku mencoba memahami. Memang, beberapa orang terkadang menganggap jilbab adalah penghambat bagi kecantikan. Namun sayang sekali jika dia berpikir demikian. Sayang sekali.
Perlahan, jilbabnya mulai lebih sering ditanggalkan ketika kami berpapasan.
"Hmm, mungkin dia sudah mulai puber", pikirku mencoba memahami. Memang, beberapa orang terkadang menganggap jilbab adalah penghambat bagi kecantikan. Namun sayang sekali jika dia berpikir demikian. Sayang sekali.
-----------------------------------
The next other days
"Ih kak Faisal", ujarnya sambil berlari dengan temannya yang juga makin jarang kelihatan mengaji akhir-akhir ini.
The next other days
"Ih kak Faisal", ujarnya sambil berlari dengan temannya yang juga makin jarang kelihatan mengaji akhir-akhir ini.
"Hei kok....", belum selesai aku berkata mereka telah meninggalkan jejak saja.
Hari demi hari berlalu, dan perlahan tahukah kawan apa yang kurasakan?
"Ah biarlah, ah lelah, ah jemu"
"Ah biarlah, ah lelah, ah jemu"
Semakin sering dan sering aku menjumpainya di sekitaran musholla ketika waktu mengaji tiba.
Tetapi sang waktu kian berlalu dan minim interaksi seakan membuat jarak diantara kami menengadah jauh. Sesekali kulihat dia asyik dengan sinetron di televisi.
"Ah memang sinetron remaja lepas maghrib makin seru akhir-akhir ini", pikirku.
Suatu ketika juga, kulihat rumahnya bergemuruh dengan suara musik walaupun maghrib baru saja berlalu.
"Hmm anak muda. Dia menggemari musik sepertiku dulu", pikirku.
Di lain waktu juga kutemui dia di teras rumah sedang bersenandung ria, bercengkerama dengan temannya. dan aktivitas lainnya.
Dan satu hal yang perlu dicatat.
Lidah ini seakan kelu.
Sedikitpun tak ada sapaan atau salam seperti yang terdahulu mampu tercuap meski sebenarnya hati merasa rindu.
------------------------------------------
Suatu ketika di dua ribu dua belas.
Azan maghrib memanggil. Sayup-sayup merdu mengisi ruang hati yang ikut menggigil. Bandung hujan malam ini. Bergegas ke MSU setelah dari seharian menikmati kuliah.
Setelahnya, beranjak ingin mengajar setelah beberapa lama tidak sempat karena berbagai kegiatan tak terduga.
"Hari apa ini?", pikirku. TPA kami memang memiliki jadwal rutin setiap hari. Dan pergi kesana biasanya aku tak lupa menyiapkan perlengkapan yang sekiranya dibutuhkan untuk hari itu.
Di plaza MSU kulihat, sesosok muda-mudi berduaan.
"Ah ini pasti malam Minggu", seketika terkaku.
Namun kulihat si pemudi itu berpakaian tak terlalu tertutup untuk udara sedingin itu. Sang pemuda justru lebih terlihat nyaman dengan jaketnya. Mereka duduk, berpegangan tangan.
"Oh saling menghangatkan, hehehe", pikirku.
"Oh saling menghangatkan, hehehe", pikirku.
Perlahan, pandanganku yang sedari tadi samar-samar menjadi lebih jelas.
Aku hanya bisa tertegun ketika yang kulihat adalah dia. Sosok adik perempuan yang tak lagi mengaji di TPA kami. Sesaat aku baru menyadari, selama ini aku menjadi saksi pasif perubahan yang dia alami.
Sedari awal ia enggan mengaji, karena keterbatasan perhatian pengajar hanya untuk yang kecil saja. Ia lepaskan jilbabnya. Pelan hingga aku semakin sering melihatnya tanpa jilbab kecuali ketika sekolah. Lalu perlahan pula berubah dari pakaiannya yang semakin lama semakin terbuka. Dan lainnya, lalu lainnya.
Dan kini, aku melihatnya berdua dengan lelaki tak jelas asalnya dengan menggunakan pakaian sedemikian saja? Harusnya di jam ini, dia mengaji di TPA bersama kami.
Astaghfirullahaladzim...
Mana Quran yang senantiasa ia baca dengan semangatnya ketika dulu awal aku mengajar disana?
Mana jilbab yang biasa menjaga kecantikannya tuk tidak diumbar kemana-mana?
Mana sikap pemalu yang dia jaga?
Aku hanya bisa menangis dalam hati. Itukah sejumput noda yang kutinggal di masa lalu. Enggan kubersihkan karena malu. Dan kondisinya kini seperti itu?
T.T
Jujur kawan, aku bingung bagaimana memperbaikinya. Bingung darimana memulainya.
Mana orang tuanya?
Mana sekolah yang mendidiknya?
Mana saudara saudarinya?
Mana saudara saudarinya?
Apakah lepas mengaji mereka biarkan ia sedemikian rupa?
Dan tahukah kalian. Salah satu sejumput noda itu tidak akan hilang dengan menyalahkan orang lain sebagai penyebabnya. Justru ketika enggan membersihkannya di muka, noda itu akan semakin menempel dan susah tuk kembali sedia kala. Maka setengah-setengah, dan apapun yang kita rasa, tahukah kalian apabila itu hanya menimbulkan sisa maka berhati-hatilah.
Keberanian adalah salah satu cabang dari kekuatan. Dan ilmu menjadikan keberanian bisa terukur sebagaimana mestinya.
Keluarga kecil kami :) |
Kisah kecil tadi mungkin hanya contoh.
Adik-adik kita sekarang tlah semakin banyak yang menginjak masa remaja.
Mereka berada di jalur persimpangan yang akan bisa banyak mengubah dirinya.
Jangan berhenti.
Misi ini sederhana, tetapi tak semudah mengucapkannya dengan lisan ini
Perubahan itu memang takkan serta merta
Seperti cerita tadi, perlahan demi perlahan
Mereka pasti berubah
Yang harus kita lakukan hanya cukup meminimalisir perubahan ke arah yang kurang baik
Dan menumbuhkan perubahan ke arah yang lebih baik.
Selamat berjuang,
Generasi penerus pengajar TPA Al Ikhlas
Khususnya angkatan 2012
1 komentar:
mantab ka :)
makasih ceritanya ka...
Posting Komentar