Bersama kita lewati
Tiap momen dengan hati
Perlahan saling mengerti
Hingga terpaut penuh arti
“Pak, kelompoknya milih sendiri ya”, suara yang sudah tak asing lagi. Pasti mereka. Mereka? Siapa sih yang tak kenal mereka? Kemanapun mereka bersama. Melangkahkan kaki penuh canda tawa. Dihiasi keceriaan dan kekompakan indah. Ya siapa lagi kalau bukan mereka.
Mereka memang komplit. Anna yang rajin, Vira yang keibuan, Nana yang manja dan Nuri yang suka bergosip ria. Apalagi kepandaian mereka pun sudah tak perlu ditanya. Tiap ulangan pasti tak tercantum nama mereka di daftar remedial. Mereka pun ibarat primadona di kelasku.
“Kan sudah Bapak bilang, satu kelompok lima anak”, ujar Pak Nazril, guru Bahasa Indonesia kami saat itu.
“Tapi Pak, kami sudah cukup berempat saja. Boleh kan Pak”, balas Nana dengan yakinnya.
“Huuuuh”, reriuhan kelas membalas pertanyaan Nana tadi. Memang begitulah mereka, sangat ekslusif. Mereka selalu berkelompok bersama. Pelajaran apapun itu, kecuali guru kami kebetulan tegas dalam mengambil langkah. Itulah yang menyebabkan beberapa kawan kurang simpati kepada mereka.
Namun, tidak demikian denganku. Karena sedikitpun keekslusifan mereka tak membuat mereka pelit. Mereka murah hati mengajari teman lain bila bertanya. Memberi jawaban tugas atau PR pun juga.
“An, kenapa sich kamu dan teman-teman kelompokmu itu bisa kompak abiisss?”, tanyaku waktu itu. Aku memang penasaran. Aku sudah sejak lama menginginkan memiliki teman teman dekat yang kompak seperti itu. Saling berbagi, saling membantu, dan saling mengingatkan tuk kepentingan semua. Apakah karena mereka perempuan? Dan apakah memang karena para lelaki tak bisa seperti itu?
“Hmm gimana ya”, Anna mengerutkan dahinya. Agaknya dia bingung. “Mungkin karena kami memiliki kesukaan yang sama”, jawabnya dengan cengengesan.
“Apaan emang?”
“Gini Fa, kami itu sukaaaanya Matematika…” , jawab Anna dengan wajah berbinar binar.
“Gila,, matematika disukain? Aku aja akan tasyakuran tujuh hari tujuh malam kalau Matematika dihapus dari peredaran pelajaran SMA”, selaku dalam hati.
“Sukaa film Korea”, tambahnya.
“Iya, Fa, apalagi yayangku Kim Boom yang manis itu hahaha”, sela si Nana.
“Hushh dia milikku, bukan milikmu”, balas Nuri, riuh.
“Betul betul betul”, tambah Vira membenarkan dan bergaya Upin Ipin.
“Dan yang paling penting Fa….”
“Yang paling penting?”, tanyaku balik, penasaran.
“Iya.. Penting buanget nich Fa..”
“Ckckck, naon neng emangna?” balasku, geregetan.
“Kami sama-sama suka cowoook”, seru Nuri dengan lantang. Lainnya pun mengikuti dengan cekikian tak kalah lantang. Anna yang tertawa ala kuda, Vira ala Mak lampir, Nuri ala presenter silet, dan Nana yang malu-malu hingga ketawanya tak sedikitpun memperlihatkan giginya. Saking lantangnya, hingga beberapa anak yang saat itu di kelas melihat ke arah kami.
“Dasar anak perempuan gila, beginilah”, pikirku. Tapi tak bisalah disebut gila. Mana ada orang gila yang selalu lancar ulangan ketika yang lain bercucuran keringat tanda tak mampu, mana ada orang gila yang rajin belajar bersama ketika yang lain menikmati suguhan sinetron di depan layar kaca. Mana ada? Jika ada mereka itulah buktinya. hahaha
Betapapun uniknya mereka, aku masih penasaran bagaimana mereka membangun kekompakan macam itu. Sedang aku, hanya merasa cocok dengan orang tertentu saja dari kaum Adam. Selebihnya mereka tertutup, tidak bisa diajak berbagi, hanya ingin berbagi kesenangan saja. Bagaimana bisa kompak kalau begitu adanya?
“Hei hei, aku masuk kelompok kalian ya bahasa Indonesianya. Dengan begitu kelompok kalian akan pas lima orang”,rayuku. Aku memang ingin tertarik berkelompok dengan mereka. Siapa tahu ketularan rajin. hihi
“Gimana ya. Hmm… Gimana nich guys?”, Anna bertanya balik kepada yang lain.
Mereka berbisik-bisik selama beberapa menit. Dan akhirnya mereka menyetujuiku.
“Lebay amat, gitu aja pake rapat kabinet”, ledekku dengan cengingisan.
“Terserah kami donk”, balas Nana.
Akhirnya aku bisa sekelompok dengan mereka. Awalnya hanya dalam pelajaran bahasa Indonesia, namun setelah waktu berjalan, aku pun terus mencoba hingga dalam pelajaran lain aku diterima lagi untuk satu kelompok dengan mereka.
Tak mudah memang, apalagi bagi anak laki-laki sepertiku masuk di kelompok super ekslusif seperti mereka. Namun waktu berjalan tak sesuai rencana awal. Mereka masih tertutup dan sering berbisik-bisik di depanku.
Dan rumput hijau yang bergoyang menguning sudah
Waktu telah berjalan sesuai jalurnya
Tapi tertutup jua peti hati itu
Terkunci rapat dengan balutan filosofi yang membeku
Setahun berlalu. Kami tak lagi satu kelas. Komunikasi terputus, tersisa memori memori yang aus. Hingga suatu malam, tiba-tiba Anna mengirimu pesan.
“Fa, aku pengen curhat”, tulisnya singkat.
“Yuup, silahkan”, balasku sambil terheran-heran bukan kepalang.
Malam itu diceritakanlah olehnya semuanya. Cerita nyata yang tak terbayangkan siapapun juga tentang mereka. Cerita fenomena anak muda yang tak asing tersampaikan sebagai ide cerita dalam sinetron di layar kaca. Tentang apakah ini? Tentang satu hal, yaitu tentang cinta.
Usut punya usut ternyata tiga dari mereka menyukai orang yang sama. “Itu sudah sejak tahun lalu”, jelas Anna. Orang yang sama? Apakah begitu dekatnya mereka hingga kriteria yang disukai hati juga sama?
“Mengapa baru sekarang ada konflik?”, tanyaku penasaran.
“Karena baru kemarin-kemarin kami sharing masalah ini”.
Parah. Benar adanya saat ku cek lagi keesokan harinya. Sesuai penuturan Anna, mereka terpecah belah. Bak kawanan burung yang selalu terbang bersama, mereka tak lagi sejalan. Satu sama lain saling curiga, tak lagi percaya.
“Bahkan Nuri bilang Fa, persaingan dalam cinta itu tak mengenal batas. Entah itu persaudaraan ataupun sekadar persahabatan. Sejak itu dia tak pernah menyapa. Anna dan Nana sudah mau mengalah, tapi…”, celetuk Vira yang ku temui di parkiran seusai sekolah. Dia sudah menengahkan, tapi apa daya. Ibarat pepatah lama, cinta agaknya membuat satu diantara mereka buta.
“Trus gimana Fa?”, tambah Anna dengan suara lirih.
“Mungkin waktu kan mengubah segalanya”, jawabku singkat. Ya, tak ada lagi cara. Jika sudah bersikeras seperti itu.
Baja keras itu pun kini seperti buih
Terombang ambing terhantam perih
Kala gelombang dahsyat bernama cinta menyapa
Merusak simfoni akan nada-nada indahnya
Sadar disukai para primadona, lelaki itu tampaknya bersikap bijaksana. Dipilihnya salah satu dengan segera. Nuri kecewa, demikian pula Anna walau hanya bisa memendamnya seribu bahasa. Tapi Vira menganggap inilah akhir pertengkaran mereka. Ialah Guntur namanya. Cowok blasteran Indo-Jerman ini memang ramah, gokil dan santun. Pantaslah jika Empat Srikandi itu hingga sempat saling tak tegur sapa. Tapi haruskah sampai begitu?
Dulu kita sahabat berteman bagai ulat
Berharap jadi kupu kupu
Kini kita tlah berjalan berjauh jauhan
Kau jauhi diriku karna sesuatu
Mungkin kita terlalu bertindak kejauhan
Namun itu karena ku ….(adapted by lyric of Sindentocsa)
Seminggu jelang UAN, aku melihat mereka bersama. Berpegangan tangan membentuk lingkaran di halaman belakang sekolah. Dengan perlahan aku menguping pembicaraan mereka. Penasaran. Apalagi setelah mendengar Nana mengakhiri kisahnya dengan Guntur.
“Kita mungkin memang sama- sama para pencari cinta. Terbang bersama laksana kawanan burung di angkasa. Tapi kala salah satu sayap kawan kita patah, kita harus tetap bersamanya. Bagaimanapun caranya”, ucap Vira dengan bijaknya.
“Iya Vir, aku minta maaf ya. Mungkin aku terlalu egois kepada kalian teman-teman”, celetuk Nuri.
“Aku juga. Aku janji akan berusaha menjaga cinta ini demi kalian kawan. Karena kita menyukai orang yang sama, jadi aku hanya mewakili kalian tuk mendampinginya”, balas Nana dengan sesenggukan menahan haru. Guntur tlah berjanji menikahi Nana setelah kuliah, tapi dengan syarat hubungan mereka diakhiri sementara.
“Kita baikaaan”, teriak mereka kompak.
Aku senang, akhir yang bahagia. Tuk semua seperti semula. Dan kini, pelajaran pun tlah ku dapat dari mereka. Sebuah pelajaran akan egosime cinta, yang takkan bisa diungkapkan dengan kata. Karena kala cinta menyapa dan semua terbutakan, hanya pikiran jernih yang bisa mengatasinya.