“Di Surabaya. Di Jember sudah tidak sanggup lagi menangani”
“Lalu bagaimana kondisinya sekarang?”
“Alhamdulillah sudah ditangani dengan baik. Doakan ya Nak, semoga kakek cepat sembuh”. Ucapan lirihmu membuatku trenyuh. Baru beberapa bulan lalu, ya aku ingat jelas kau dan kakek melepas kepergianku. Menatapku dan mengecup kedua pipiku. “Yang baik-baik ya disana”, pintamu. Begitu pula kakek, di saat kondisinya yang lemah masih saja memberi wejangan dan doa.
Baru beberapa bulan lalu, bahkan aroma Bandung masih abu-abu untukku. Tapi agaknya rindu ini terkumpul menjadi satu. Padahal jelas beberapa bulan sebelum kepergianku. Kakek selalu rajin bersepeda di hari minggu, mengantarmu jalan-jalan ke alun-alun tuk melatih kakimu yang sempat terkena stroke beberapa tahun lalu, atau rutin menyirami tanaman anggrek dan lainnya yang selalu kau rawat sepenuh hati di kebun kecil di samping rumahmu.
Kakek kini lemah. Tak lagi bisa menghadiri pengajian di masjid tempatnya selalu rutin beribadah, apalagi menemani hari-harimu yang penuh warna, mengantar sepupuku pergi les seperti biasa. Pasti kau terpukul mengetahuinya. Apalagi tahu-tahu keadaan kakek sampai harus dirujuk keluar Jember yang dulu kau bilang lebih baik dari Lumajang.
“Jatuh?”
“Iya. Sekarang sudah dirawat di Rumah Sakit juga.”
Ucapan anakmu yang melahirkanku itu membuatku tak habis pikir. Mengapa kau paksakan membunuh letihmu dengan senantiasa tengah malam berdzikir. Itukah kekuatan cinta yang selama ini telah terukir?
Masalah dana yang awalnya masih bisa dipenuhi patungan anak-anakmu mulai bermasalah. Tulangmu bergeser saat kau jatuh. Sementara kakek juga bukannya makin sembuh. Untunglah perdebatan kecil antara anak-anakmu dengan anak-anak kandung kakek sedikit memberi harapan baru. Walau sempat tangis terpancar karena anak-anak kakek agak enggan ikut berperan membantu.
Anak-anakmu kembali kebingungan. Situasi dilematis muncul ke permukaan. Ruang inapmu dijadikan satu dengan kakek akan membuat mereka mudah menjaga bergantian. Tapi, kau akan kehilangan motivasi tuk cepat sembuh karena nyatanya penyakit kakek lebih parah darimu. Benjolan itu ternyata kanker, bukan benjolan biasa yang selalu kau rasa bisa ditanggulangi dengan pijat rutin kepada seorang spesialis sebelum kakek makin melemah.
Kanker itu bukan penyakit biasa yang bisa sembuh dengan penanganan cepat. Begitulah nyatanya sehingga anak-anakmu memutuskan di kamar berbeda kalian dirawat. Hari demi hari, kondisimu dan kakek masing-masing mulai membaik. Dan kakek mulai dirawat di rumah anak-anaknya, sedang kau dipulangkan ke Lumajang karena anak-anakmu juga tak bisa meninggalkan pekerjaan terlalu lama.
Libur jelang lebaran, aku pun pulang. Melepas kepenatan selama enam bulan juga rindu yang tak tertahankan. Kau sambut dengan sukacita walau ku tahu dari kejauhan, kau memendam sedih yang teramat dalam. Kakek hanya bisa kau hubungi jarak jauh. Seseorang yang biasa ada disampingmu, kini teramat jauh disana sedang melawan penyakitnya.
Sementara kakimu yang harus dioperasi membuatmu kakimu ditanam logam yang kau sendiripun sebenarnya membencinya. Kau tak bisa berjalan seperti biasa. Apalagi agaknya kau terlalu memikirkan kondisi kakek hingga kau pun enggan berlatih melangkah. Ya, bunga-bunga di taman yang layu pun menyiratkan demikian adanya.
Hari lebaran keluarga berkumpul seperti tahun-tahun biasanya di rumahmu. Bermaaf-maafan dan saling berbagi kebahagiaan. Tapi kali ini tidak ku temukan. Apalagi setelah mendengar berita kondisi kakek memburuk perlahan. Walau sebenarnya sudah ada anak-anak kandungnya yang merawatnya disana.
Kondisi kakek jauh lebih buruk daripada saat sebelum dirujuk ke Surabaya. Sementara, anak-anakmu tak bisa berbuat apa-apa karena jarak Lumajang ke tempatnya lumayan jauh dan memakan waktu pula. Kemoterapi dilakukan, dan anak-anakmu merahasiakan opsi itu karena sejak awal kau telah mengetahui resikonya yang membahayakan.
Sementara ada juga pihak keluarga yang mengusulkan agar kakek dibawa saja pulang ke Lumajang. Itupun seperti permintaanmu sendiri setelah membongkar rahasia yang anak-anakmu pendam. Biar meninggal di sampingmu dengan tenang, dan kau pun bisa menemuinya disaat terakhir sebelum ajalnya datang.
“Pokoknya bawa pulang saja. Dia satu-satunya lelaki yang setia, dan menemaniku sejak masa sulit”, begitu pintamu dengan nada rengekan yang belum pernah ku jumpa. Ya memang benar adanya. Kau selalu saja bersikap tegar di depan semuanya. Tapi jauh di dalam hatimu, kau rapuh. Bagaimanapun kau perempuan biasa dengan kesabaran luar biasa tapi tetap membutuhkan seseorang yang dicintai di sampingmu selamanya.
Dia memang bukan laki-laki yang sama yang mengalirkan darahnya ke anak-anakmu hingga terkait pula denganku. Bukan dia. Bukan cinta pertamamu yang kau harap kan jadi cinta terakhirmu. Bukan laki-laki pujaanmu yang akhirnya menikahi perempuan lain di saat hartanya melimpah ruah dan kesuksesan digenggam dimana-mana. Meninggalkanmu dengan anak-anak kecil yang masih sekolah dan membutuhkan banyak dana.
Bukan. Bukan dia yang membuatmu kecewa dan sakit hati. Membuat anak-anakmu terancam kehilangan masa depan, setelah sebelumnya semuanya terjamin dengan rapi. Bukan dia yang membuat anak-anakmu terpaksa kuliah dengan keadaan serba terbatas dan penuh derita. Tapi dialah yang selalu menemanimu setelah kau buka warung untuk menghidupi anak-anakmu. Membesarkanmu hingga akhirnya aku pun terlahir dari rahim salah satu anak yang kau besarkan dengan sungguh-sungguh.
Air matamu mengucur deras, diikuti air mata anak-anakmu yang membuatku memilih keluar kamarmu karena tak kuat situasi yang ada. Sementara menantumu dan beberapa anakmu sejak pagi sudah menjemput kakek tuk dibawa pulang menemuimu.
“Innalillahi wainnailaihi rojiun. Telah meninggal ....”
Pesan itu membuat tangisan pecah seketika anggota keluarga yang ada di rumahmu. Suasana haru bertumpah ruah. Tapi semua menutupinya, takut kau tak bisa menerima. Apalagi kondisi kesehatanmu yang juga kurang stabil agaknya.
Jenazah datang sementara para pelayat berdatangan. Diikuti teman-teman pengajian kakek yang juga hendak membantu prosesi memandikan. Di balik kamar, aku hanya bisa mendengar tangismu pecah. Ditemani adik-adik dan kakakmu kau disana, kau mencoba tegar tapi tetap tak percaya terhadap semua keadaan. Walaupun sebelumnya sempat terucap, “aku rela dan ikhlas sudah”, dari bibirmu karena semuanya masih merahasiakan bahwa kakek sudah dipanggil ke pangkuan Allah disana. Tapi tetap saja tak bisa dipungkiri, tangisanmu itu tak bisa menyembunyikan kepedihanmu yang mendalam. Ratapanmu tak bisa mengobati rindumu dan juga kepedihan yang dirasakan anak-anakmu yang juga tak kuasa menahan air mata malam itu.
Mendiang alm Kakek dan Nenek
Kakek dikuburkan pagi harinya. Saat itu ku lihat kau sudah mulai lebih tenang daripada malam hari sebelumnya. Kepergiannya menyisakan segenap luka dan duka bagi semuanya. Tak hanya dirimu, anak-anakmu yang juga mendapat sosok pengganti ayah, serta aku dan cucumu lainnya yang mendapat sosok kakek dan mengenalnya.
Sekarang kau masih menjalani terapi penyembuhan. Kau sudah mulai berlatih berjalan. Berjalan meski kini hanya tersisa kenangan. Tak ada lagi dia yang selalu menemanimu, di saat pekerjaan menyibukkan anak-anakmu, juga sekolah yang membuat cucu-cucumu jarang mengunjungimu.
Cucu terbesarmu sudah sembilan belas tahun kini. Tepat disaat aku menulis ini. Tepat disaat kau menelponku tadi, dan kau ucap harapanmu kepadaku agar senantiasa berjalan dalam naungannya, mewujudkan harapan orang tua dan menjadi contoh bagi cucu-cucumu lainnya. Kado istimewaku adalah menjadi cucumu, menjadi anak yang terlahir dari anakmu.
Bandung, 5 April 2011
Ditulis dengan berlinang airmata
by Raffa Muhammad