Tetapi terkadang, musuh utama bukan datang diantara ilalang dan semak belukar, ataupun jurang di tengah perjalanan. Justru diri inilah menjadi penghalang. Ketika rencana memang dibukukan dan sesiap raga ini melaksanakan, ada saja hal yang membuat sang waktu seperti berputar lebih cepat meninggalkan.
Aku harus belajar, dan itu keharusan yang aku lakukan. Seketika kata-kata itu seraya hidup menggetar tetapi mudah goyah dan merintih lemah. “Ah ngantuk”, “Ah bosan”, “Ah besok saja”.
Masih teringat liburan lalu, raga ini berdiri gagah diantara mata-mata kecil yang memandang. Mulut ini berteriak lantang, menyusupi pemikiran mereka dengan motivasi yang membakar. Motivasi? Mengapa sekarang justru kehilangan konsistensi untuk termotivasi? “Bagaimana aku bisa begitu dahulu?”
Ah entahlah.
Menerawang bayang-bayang, mengingat masa lalu penuh kenangan terkadang memang berguna. Aku membuka catatan lama, tepat dimana puluhan draft naskah tanpa ending cerita menyesakkan mata. Beralih ke catatan yang sudah pernah terpasang. membacanya satu persatu. Tersenyum. “Bagaimana bisa aku membuat begitu dahulu?”.
Sebuah pesan masuk di ponselku. “Mas ini endorsementnya”, begitu tertulis awalnya. Hingga teringat bahwa proyek besar menjadi panitia Lomba Puisi yang kemarin dipegang bukan mimpi. Bukan mimpi pula akun facebookku tiba-tiba menerima ratusan permintaan pertemanan dan email dipenuhi ratusan naskah besarta pertanyaan dari peserta. Diri ini juga akhirnya berkesempatan berhubungan dengan mereka dengan orang-orang tenar dan berpengalaman di bidang sastra. “Bagaimana bisa?”
Ternyata, diantara semua jawabannya semua bermula dari alasan bahwa aku menyukainya. Bahkan meski sulit pun terkadang hati ini takkan enggan mengalah. Bahkan ketika otak ini sudah merengek lemah dan lelah bersambut raga yang terserang hawa kantuk sebegitu dahsyatnya, aku tetap menyukainya. Kuliah di jurusan yang amat kusuka, di kampus yang kusuka, di kota yang kusuka. Memiliki hobi menulis meski sangat malas membaca. Menjalani takdirNya yang selalu ku syukuri adanya. Aku suka. Pulang malam dari lab, mabit dan berbagai aktivitas di luar kuliah. Aku menyukainya.
Seketika mengingatnya. Bagaimana aku bisa dahulu begini dan begitu. Jawabnya memang karena memang aku suka. Berlelah tetapi menikmati ibarat waktu tak terasa berlalu. Jadi apakah ketika bermalasan aku menikmatinya? Mungkin juga begitu kita semua kawan. Menikmati disaat diri kita sedang terpuruk, hingga akhirnya lama kita untuk bangkit. Tidak membenci di saat kita futur hingga enggan memperbaiki.
Menerawang bayang-bayang, apakah yang kita impikan malam itu? Malam dimana kisah ini bermula. Ketika kau rasakan udara sekitarmu berubah, tak seperti biasa. Malam dimana kau terjaga, memikirkan apa yang akan terjadi ketika esok mentari menyapa. Apa yang kau pikirkan kawan?
Apakah kau memikirkan bahwa kau akan mendapat kemudahan? Kau akan membuat mereka yang menyayangimu menjadi bangga dan mengelukanmu di akhir kisah? Kau akan dengan segera menggunakan waktumu untuk ini dan itu mencapai target dan sesegera mungkin meraih malam-malammu yang lain? Demikiankah?
Segalanya memang terkadang terasa tak mudah dan diri ini tak bisa menerima. Tetapi dari semua itu, terawanglah bayang-bayangmu. Ketika kau berani memutar kisah ini tuk jadi catatan sejarah hidupmu, ketika kau putuskan langkah ini tuk mengisi waktu-waktumu. Kau tersenyum, kau berharap cemas, kau bahkan mungkin takut. Tetapi kau bersiap untuk semuanya. Bertanya kemana-mana, mencari informasi sedemikian rupa. Kau mencipta bayang-bayang nan elok rupanya. Dan ketika kini bayang-bayangmu kini hampir mati, apakah kau akan meninggalkannya sendiri?
Aku meninggalkannya kawan. Di antara tumpukan jerami aku menyiramkan minyak tanah dan membiarkan diri ini membakarnya. Itulah kenapa aku seringkali gusar ketika malam. Aku merindukan bagaimana aku dahulu berpijak, menatap hari dan berjuang seakan bayang-bayang ini telah memprediksikan.
Tetapi kini, aku telah mendapatkannya kembali. Aku membuatnya dengan harapan, dan keyakinan bahwa memang sesuatu yang sulit diraih akan lebih mudah dijaga nanti. Lalu, bagaimana denganmu?
Segalanya memang terkadang terasa tak mudah dan diri ini tak bisa menerima. Tetapi dari semua itu, terawanglah bayang-bayangmu. Ketika kau berani memutar kisah ini tuk jadi catatan sejarah hidupmu, ketika kau putuskan langkah ini tuk mengisi waktu-waktumu. Kau tersenyum, kau berharap cemas, kau bahkan mungkin takut. Tetapi kau bersiap untuk semuanya. Bertanya kemana-mana, mencari informasi sedemikian rupa. Kau mencipta bayang-bayang nan elok rupanya. Dan ketika kini bayang-bayangmu kini hampir mati, apakah kau akan meninggalkannya sendiri?
Aku meninggalkannya kawan. Di antara tumpukan jerami aku menyiramkan minyak tanah dan membiarkan diri ini membakarnya. Itulah kenapa aku seringkali gusar ketika malam. Aku merindukan bagaimana aku dahulu berpijak, menatap hari dan berjuang seakan bayang-bayang ini telah memprediksikan.
Tetapi kini, aku telah mendapatkannya kembali. Aku membuatnya dengan harapan, dan keyakinan bahwa memang sesuatu yang sulit diraih akan lebih mudah dijaga nanti. Lalu, bagaimana denganmu?