(sebuah karya yang agak lebay; sedikit curhat; tapi penuh makna)
Awalnya
Ku mengenalnya seiring kabar angin yang kian melambungkan namanya. Melambungkan namanya yang memang dari dulu sudah tersohor. Ku pun mulai mengaguminya, selalu mengikutinya, dan selalu berharap. Rasa itu pun muncul. Rasa yang berkembang walau ku tak pernah berjumpa langsung dengannya.
Ku pun sadari, terlalu banyak alasan untuk mengagumi dirinya. Alasan dari yang logis hingga ke yang tak logis. Dari yang ilmiah hingga yang yang tak masuk akal. Dari yang wajar hingga ke yang aneh.
Alasan alasan itu terakumulasi. Menjadi tumbuhnya suatu motivasi. Motivasi yang kadangkala menjadikan rindu.
Kerinduan itupun pupus sudah. Tatkala kerinduan itupun menuntunku tuk bisa bertemu dengannya. Menuntunku tuk bisa melihatnya dari dekat. Bisa menyentuhnya dan mengenalnya. Tak sama dengan selama ini yang hanya bisa mengaguminya lewat jauh. Selalu ingin mengejar prestasi bersamanya, selalu ingin menjadi lebih baik bersamanya.
Ku sadari keindahannya. Ku sadari semua kebenaran desas desus keelokan tentangnya. Ku sadari semuanya dengan penuh kesadaran.
Pertemuan itu hanya sekali. Pertemuan yang semakin memantapkan hatiku. Memantapkan segala motivasiku selama ini, yang hanya ku bangun lewat mimpi dan segala ikhtiar yang ada.
Keputusannya
Akhirnya, malam sabtu lalu dia pun memutuskan. Keputusan yang memang bisa kuduga sejak awal. Tapi ku tak bisa membohongi diri bahwa ku sangat berharap. Terlalu berharap. Terlalu memendam harapan yang ku tahu tak mungkin terjadi. Kalaupun mungkin hanya karena keajaiban.
Akhirnya, malam sabtu lalu dia pun memutuskan. Keputusan yang memang bisa kuduga sejak awal. Tapi ku tak bisa membohongi diri bahwa ku sangat berharap. Terlalu berharap. Terlalu memendam harapan yang ku tahu tak mungkin terjadi. Kalaupun mungkin hanya karena keajaiban.
Keajaiban? Hari gini membicarakan keajaiban bukan hal asing lagi. Banyak keajaiban di negeri ini. Tapi sayangnya itu tak terjadi denganku. Tak ada keajaiban yang mengubah keputusannya. Ya, keputusannya menolakku. Kecewa memang, dan itu wajar.
Sejak awal memang ku telah bercermin. Melihat diriku. Mungkin tak pantas aku bersamanya meraih mimpi. Tapi anggapan negatif itu tlah ku buang jauh. Karena ku yakin selagi masih ada peluang meski 0,000sejutanol 1 persen ku masih berpeluang.
Namun, pada akhirnya keyakinan itupun berbuah kekecewaan. Kekecewaan yang amat dalam. Kekecewaan yang amat menyedihkan.
Ku sadar kini, masih banyak yang pantas untuk bisa bersamanya. Masih banyak. Masih banyak dan aku tak termasuk di dalamnya.
Mengapa demikian? Entahlah.
Mencoba melupakannya.
Sulit. Sulit mencoba melupakan mimpi tentangnya. Mimpi mimpi indah yang tak bisa terealisasi. Mimpi mimpi yang hanya sekedar mimpi dan tak bisa terjadi.
Sulit. Sulit mencoba melupakan mimpi tentangnya. Mimpi mimpi indah yang tak bisa terealisasi. Mimpi mimpi yang hanya sekedar mimpi dan tak bisa terjadi.
Pernah ku coba mengalihkan pandanganku pada lainnya. Mereka menerimaku dengan penuh suka. Menerima ku dengan semua kelemahan ini dan kekurangan ini. Tapi tak bisa semua itu buatku melupakannya.
Masih kuingat penyesalan salah satu rekanku setelah memilih yang lain. Kini dia pun menyesal dan ingin bersama mimpinya sendiri. Ku tak ingin seperti rekanku itu. Keterpaksaan yang berbuah penyesalan.
Melupakannya ibarat melupakan sebagian episode dalam kisahku selama ini. Itu tak mungkin. Dan takkan pernah mungkin itu terjadi.
Akhir Kekecewaan
Kekecewaan itu berangsur pulih. Pulih perlahan. Pelan tapi pasti. Tatkala ku menyimak dan memahami hikmah hal serupa yang rekanku alami. Bahkan ia pantas tuk kecewa melebihi apa yang ku alami. Tapi ku lihat kini sangat bersemangat. Life goes on dan tak ada gunanya terus hidup dalam kekecewaan. Terima kasih bagi supportnya kawan.
Kekecewaan itu berangsur pulih. Pulih perlahan. Pelan tapi pasti. Tatkala ku menyimak dan memahami hikmah hal serupa yang rekanku alami. Bahkan ia pantas tuk kecewa melebihi apa yang ku alami. Tapi ku lihat kini sangat bersemangat. Life goes on dan tak ada gunanya terus hidup dalam kekecewaan. Terima kasih bagi supportnya kawan.
Ku retas mimpiku hingga ke Jogja. Tempat dimana ia dulu, kini dan nanti kan tetap ada.
April 19, 2009
Malam yang indah,
Raffa Muhammad,
Catatan Sebelum Kuliah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar