Iseng-iseng, itulah kata-kata yang ku gunakan tuk menjawab pertanyaan Kak Edo Segara dalam Workshop dan Training Jurnalistik di IT Telkom Bandung yang berujung hadiah buku yang bertitel “Menulis, Tradisi Intelektual Muslim”. Buku itu berisi banyak motif para penulis mengenai alasan mereka untuk menulis, dengan berbagai sudut pandang. Yang paling mengejutkan bagiku adalah karya dalam buku itu yang sudah tak asing lagi, termasuk beberapa penulis yang sering disebut Kak Edo. Ya, mereka adalah pengguna Multiply tempatku bernaung tuk belajar menulis selama ini. Sebut saja Kak Helvy Tiana Rosa dan Akhi Dirman Al Amin. Percaya atau tidak saya baru tahu mereka telah menelurkan karya mereka ke penerbit hingga karyanya masuk toko buku. Saking jarangnya ke toko buku sampe nggak tahu hehehe
“Jika berawal dari sekedar iseng-iseng hasilnya juga akan iseng-iseng. Cobalah untuk serius”, seru Kak Edo menambahkan. Tapi memang itu faktanya, saya sekalipun tak memiliki obsesi ataupun mimpi untuk memulai belajar tentang dunia tulis menulis. Menulis itupun hanya berawal dari sebuah keinginan mendownload musik gratis di Multiply. Saat itu Multiply adalah situs yang sangat lengkap dengan koleksi lagu MP3 terbaru sebelum akhirnya dibersihkan semua karena pihak pengelola tidak mau dianggap mendukung pembajakan. Pembersihan itupun menggiring saya melihat berbagai sisi lain Multiply yang ternyata memiliki komunitas blogging besar. Dari situlah awal saya belajar menulis, belajar dari para MP’ers lain, sebutan untuk pengguna Multiply yang notabene berasal dari berbagai kalangan.
Ya iseng-iseng saja, apakah itu salah? Tak ada yang salah dari sebuah keisengan. Tapi jikalau keisengan itu bisa diubah menjadi sebuah keseriusan tentulah akan lebih bermanfaat bagi kita. Kak Edo dalam materinya menuturkan keisengan hanya motif yang dilakukan untuk mengisi waktu luang, dalam artian menulis tuk sekadar main main.
Tapi sebagai penulis awam tentunya menulis bukanlah sesuatu yang mudah. Adakalanya inspirasi datang di saat tertentu saja. Misalkan pada saya sendiri, untuk membuat sebuah karya yang saya anggap my best entah berupa opini, puisi ataupun prosa hanya bisa di kondisi tertentu. Misalkan jika karya yang ingin dibuat tentunya bertema kesedihan, rindu, pokoknya mellow harus dibuat di suasana hening, dingin, lapar atau sedang merasakan rindu ataupun sedih yang teramat sangat. Pernah kala SMA dulu saat merasakan patah hati maklumlah anak muda hehehe, produktifitas berpuitis ria justru naik.
Hal ini sangat miris, mengingat seharusnya penulis harus bisa mengimajinasikan apa yang ada di benaknya dan menuangkannya dalam sebuah karya. Tapi saya pun hanya selevel penulis “on mood”. Jika dipaksakan untuk membuat karya di momen yang tidak sesuai, hasilnya pun tak seperti harapan. Pernah tujuan awal ingin membuat puisi kesedihan tentang bencana, malah berujung puisi bersemangat.
Mungkin di dunia ini juga ada yang mengalami hal seperti saya, tapi boleh jadi hanya saya yang agak nyeleneh dalam merasakan hal ini. Tapi dalam Workshop Ahad kemarin saya sudah menemukan jawabannya. Pembicara kedua dalam Workshop adalah Dedi Setiawan, ketua FLP Bandung yang menyambung pemberian motivasi menulis oleh Kak Edo.
Jawabannya adalah mengenai niat awal. Niat iseng-iseng tadilah yang bermasalah. Memang sebenarnya, iseng iseng ataupun serius akan sama-sama menghasilkan karya. Namun jika dibandingkan hasilnya akan berbeda pada satu hal, yaitu kualitas. Totalitas dalam berkarya akan menghasilkan sesuatu yang maksimal atau bisa disebut terbaik dari kita. Mungkin tak pernah terlintas dalam benak kita bagaimana bentuk karya terbaik kita, yang mana ataupun kapan bisa kita dapati. Jawabnya satu, saat kita sudah berani, mau dan berkemauan menulis tuk menghasilkan karya terbaik kita.
Jangan terlalu tinggi, kuatkan pondasi… perlahan tapi pasti… merayap dan naik tanpa sangsi..
Siapapun kita entah kita mengakuinya atau tidak, kita adalah penulis. Sejak kecil menulis adalah rutinitas yang kita kerjakan. Mungkin hanya mayat yang tersisa, tulang belulang yang terkubur, dan do’a sanak famili yang mengalir kala kita tlah tiada. Tapi karya kita kan tetap ada. Menembus waktu yang tak mungkin kita tembus. Melewati gerbang yang tak bisa kita buka.
Sebuah catatan kecil dari Workshop dan Pelatihan Jurnalistik
Raffa Muhammad