Akulah Nadia, mahasiswa semester tiga universitas negeri di Jakarta. Hidup di kota, dengan latar belakang lahir di daerah.
“Ah..........kok gosong ya bu ikannya”, celetukku pelan. Baru pulang, Ibu langsung menyuruhku memasak.
“Jangan melamun saat kerja neng” Ibu mengingatkan ku dengan sabar.
“Nggak kok bu, dari tadi perhatikan penggorengan kok,nggak melirik lainnya”, belaku dengan cengengesan.
“Ketahuan banget kamu lama nggak masak” balasnya menyindirku. Aku tersipu, seketika pembelaan kembali ku lakukan.
“Hmm, selama kos hampir dihitung dengan jari ngidupin kompor, ngunjungi dapur atau nyuci wajan”, balasku lantang.
Ibu bisa saja menebak rupanya. Maklumlah dia Ibuku yang mengenalku lebih dari siapapun di muka bumi ini.
“Ingat pepatah, alah bisa karena biasa. Lama sudah tidak biasa hampiri dapur dan kroni-kroninya, ya begini lah hasilnya. Makanya kenalan dulu dengan dapur. Sering-sering lagi lirik penggorenga maupun periuk. Say hello walau sekejap ke ulekan dan pisau dapur. Jangan lupa nyentuh bawang putih, bawang merah, cabe,merica apakah masih pedas rasanya. Cicipi lagi garam apakah masih asin di lidah. Khan sudah lama mereka tidak diacuhkan.
“Duh Ibu, khan udah pasti kalau yang begituan”, protesku.
Ibu tak menggubrisnya dan terus saja berceloteh ria, ibarat presenter sepakbola yang tak pernah kehabisan kata. “Andaikan semuanya itu bisa bicara pasti protes.....jangan sombong dong.....dulukan kita sahabat, hehehe” sindirnya.
Aku hanya bisa tersenyum malu. Ya, inilah aku. Dulu dapur ini sangat akrab denganku, seakrab Sponge Bob dengan spatulanya, ataupun Asma Nadia dengan penanya. Jangan tanya tentang masakanku, bahkan tetangga saja selalu memujiku ketika dicicipinya masakan buatanku.Tapi kini inilah masakanku. Bahkan Si Pussy, takkan mau melahap habis dengan aroma dan warnanya yang unik begitu.
Memang aku berubah sejak hatiku kembali jatuh cinta. Bawang, cabe, wajan, ulekan dan lainnya tergantikan dengan hadirnya laptop mungil cantik yang membuatku terpesona. Bangganya menjinjing laptop ke kampus, membawanya hingga ke pameran, bahkan mengitari mall berjam-jam.
Laptop selalu setia mengisi ransel yang bergelayut di punggungku seakan ikut menyuarakan ke dunia bahwa aku ini mahasiswa. Status sebagai yang membanggakan, di tengah masyarakat yang masih saja menganaktirikan pentingnya pendidikan.
“Jadi mahasiswa itu bikin tambah keren penampilan. Mahasiswa itu ”siswa yang mahal” tidak ada tingkatan status siswa yang lebih tinggi selain mahasiswa”perkataan temanku itu selalu kuingat. Walau sebenarnya menjadi mahasiswa adalah masa-masa awal menuju sekarat. Hal itu yang dikatakan dosen waliku di semester satu.
Terbuai dengan status mahasiswa.Itulah kebanyakan orang adanya. Ikut berbagai demonstrasi cuma karena ingin bergaya, dan sedikitpun tak mengerti esensinya. Juga organisasi dan kepanitiaan dengan semangat menggunung di awal, dan perlahan turun hingga tersisa di akhir kisah.
Akulah Nadia, mahasiswa semester tiga universitas negeri di Jakarta. Hidup di kota, dengan latar belakang kehidupan di daerah.
Menjadi mahasiswa di kota, dengan kebutuhan hidup yang mahal adanya adalah takdirku. Perut keroncongan, dan warung menjadi pilihan utamaku. Tak peduli, siang, malam ataupun pagi waktu itu. Penghematan adalah kamus hidupku. Kafe ataupun rumah makan? Jangan ditanyakan. Aku akan hanya datang jika mendapat traktiran teman.
Sebenarnya, kuliahku mendapat tantangan dari orang tuaku. Serupa dengan berjuta mahasiswa Indonesia lainnya, masalah utama ada pada biaya. Biaya kuliah yang tak bisa dijangkau masyarakat bawah, yang hanya akan menjadi sesuatu yang mewah. Sementara jaminan mendapat pekerjaan juga belum ada. Daripada menengok pengangguran walau bergelar berbagai macam, Ayahku lebih mendukungku untuk menikah.
“Tidak Yah”, tegasku saat itu menolaknya,”sekarang sudah bukan zaman Belanda. Perempuan pun memiliki prospek cerah jika memang melakukan yang terbaik dengan pendidikannya”, ujarku tegas. Kepalaku memang keras. Sekeras watak Ayahku yang sulit sekali diruntuhkan. Tapi aku terlanjur terpengaruh beberapa buku yang ku baca tentang mimpi dan usahaku tuk mewujudkannya.
Dan akhirnya aku kuliah juga. Walau restu Ayah ku dapatkan lewat telepon genggam dengan tangisan Ibu dan kakak perempuanku di belakangnya. Kemantapan sudah menyelimuti belantara hatiku adanya. Tabungan dan uang saku dari saudara-saudaraku menjadi bekalku.
Aku durhaka. Memang itulah yang ada di benak Ayah. Aku menyembunyikan niatanku kuliah, dan hanya tak memberi tahunya karena merasa sudah tahu hasilnya. Tapi alhamdulillah, kepulanganku saat semester satu waktu itu disambut Ayah dengan suka cita. Entah bagaimana dia berubah, dan memaafkanku dengan adanya pendirian keras dalam dirinya.
Akulah Nadia, mahasiswa semester tiga universitas negeri di Jakarta. Memiliki mimpi walaupun sumber daya tak mumpuni. Selain masalah keuangan, otakku menjadi pas-pasan ketika disandingkan dengan mahasiswa lainnya. Aku suka ini. Bertemu dengan mereka yang jauh lebih tinggi, memicu gelombang semangat berloncatan tuk meraih prestasi.
DI SMA, prestasiku memang tak membuat sejarah. Hanya sesekali juara kelas dan itupun tak bisa dikategorikan membanggakan untuk ukuran daerah. Olimpiade di tingkat Kabupaten hanya sekali kumenangi dan itu juga bukan bukti otakku cerah.
Sementara, mereka mahasiswa lain memiliki prestasi berbagai macam. Dari Olimpiade Nasional, hingga juara tingkat internasional yang menjadi langganan. Luar negeri, bukan lagi menjadi mimpi untuk dikunjungi, karena liburan sudah jadwalnya mereka transit secara rutin tanpa sangsi. Tak ada lagi masalah ini, itu yang hanya membebani. Fokus dengan berbagai penelitian yang mereka geluti, organisasi dan kepanitiaan yang mereka ingini. Jadilah kuliah tenang mereka alami.
Bagaimana denganku? Ibukota tak lagi ramah menyapa saat ku tahu biaya hidup disana yang ingin membuatku muntah. Untuk buang air kecil harus bersusah mengeluarkan biaya, bahkan orang sekarat pun harus rela memesan kuburan sebelum ajalnya tiba jika tak ingin kesusahan di hari H. Suasana yang amat berbeda dengan di daerah.
Aku tak memiliki otak cemerlang yang membuatku bisa menangkap semua materi tanpa persiapan. Untuk itu aku hanya bisa berjuang. Dengan segala tenaga tersisa sembari waktu luang untuk berjualan guna menambah penghasilan, ku gunakan laptop pemberian saudaraku untuk selalu mencari materi tambahan. Perpustakaan pun menjadi tempat langganan.
Aku memimpikan kuliah sejak lama. Sejak ku tahu Pamanku selalu ditolak kerja karena tak sampai lulus sekolah dasar. Juga beberapa tetanggaku yang hanya lulusan SMP, pulang dengan tangan hampa setelah merantau berbulan-bulan di kota. Menjadi TKI dan TKW? Setidaknya daerahku sudah tak lagi memutus keinginan itu. Sejak kasus warga kami yang disiksa hingga mati, situasi itu membuat tetua desa rapat dan melarang lagi ada warganya yang kerja di luar negeri. Lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang.
Akulah Nadia, seorang perempuan yang memilih kuliah dan meninggalkan daerahku tercinta.
Mimpiku kuliah pernah surut kala tahu pengangguran di negeri ini yang juga banyak dari kalangan almnus mahasiswa. Juga banyak berita mahasiswa kerjanya tawuran, mencipta kerusuhan tanpa sebanding dengan status pendidikan yang mereka emban ataupun biaya yang sudah orang tua mereka keluarkan.
Sementara prestasi mahasiswa menjadi pelipur kekecewaanku, berbagai mimpiku yang ternyata mensyaratkan gelar strata satu didapatkan memberi motivasi kepadaku. Itulah obat mujarabku. Menjadi mahasiswa, kian dekat dengan mimpiku tuk jadi seorang dokter yang bisa membuatku takkan lagi melihat tangis perempuan yang kehilangan bayinya saat anugrah itu hendak waktunya lahir. Cukup Ibuku yang terakhir ku lihat, dan suasana kelam kehilangan adik kecilku akan ku pendam dalam ingatan.
“Hanya karena tak ada biaya, dokter tak mau membantu persalinan. Kurang ajar !”, ku ingat kata-kata Ayahku saat itu. Kami berduka berbulan-bulan. Panen yang gagal, memicu tak ada persiapan saat Ibu hendak melahirkan. Seorang mantri di puskesmas yang akhirnya tak berbuat banyak karena tak ada peralatan untuk operasi adikku yang katanya sungsang. Rumah sakit masih jarang, adanya di kota seberan. Sementara tak ada lagi biaya karena gagal panen membuat bantuan tetangga juga tak menjawab keadaan.
Dukun beranak? Jangan tanyakan itu kawan. Keluargaku adalah keluarga muslim taat yang anti dengan apapun namanya yang bersekutu dengan jin dan tersesat. Syukurlah, nyawa Ibuku bisa tertolong melalui perantara sang mantri walau dengan peralatan seadanya.
Akulah Nadia, mahasiswa semester tiga universitas negeri di Jakarta. Hidup di kota, dengan latar belakang kehidupan di daerah.
Pernah saat itu seorang senior menyatakan cintanya. Balutan jilbabku tak kuasa menjawab bahwa prinsipku teguh kepada agama untuk tidak mendekati zina sebelum menikah. Untuk itu aku harus bersusah payah. Menjelaskan dengan penolakan halus walau sebenarnya ketampanan dan kecerdasannya memikat hatiku jua. Tapi maaf, aku mahasiswa dari daerah. Yang harus rela berkonflik dengan orang tua dulu sebelum bisa kuliah. Untuk itu ku kan tepis bagaimana sakit hatiku dirasa, agar tetap kuliah menjadi prioritas utama. Karena lahan pertanian yang keluargaku jual takkan pernah kembali jika kesuksesanku menjadi mimpi.
Akulah Nadia, mahasiswa yang masih jua tetap bangga menjadi mahasiswa.
“Pendidikan adalah tidak penting”, cuplikan film Alangkah Lucunya Negeri Ini itu membuatku tak bisa berkata apa-apa. Persis keadaan di disana. Kala pemuda hanya bangga lulus SD atau SMP dan akhirnya langsung menikah, melanjutkan pekerjaan orang tua seraya menikmati warisan yang ada. Begitu seterusnya. Hingga akhirnya kehijauan hutan kami sirna perlahan. Tertelan kebutuhan manusia yang tak kuasa melestarikan, tapi hanya ingin mendapatkan lebih dan lebih secara instan.
Daerahku kaya, untuk ukuran sebuah daerah. Disana ada pertambangan yang mulai dibuka sejak lama oleh perusahan yang entah namanya apa. Jadilah ada opsi lain, selain bekerja di ladang juga bisa menjadi karyawan pertambangan. Tapi entah mengapa tak ada perubahan. Sejak zaman buyutku hingga sekarang, angka kemiskinan masih saja tak bisa dibayangkan.
Daerahku? Ah tidak kawan. Semua daerah begitu di negeri ini. Memiliki mahasiswa di seluruh penjuru negeri tapi tak bisa membuat perubahan di daerahnya sendiri. Sarjana, gelar bergengsi itulah yang kini melekat pada para pemimpin di Bumi Pertiwi. Sarjana, Profesor, Doktor adalah juga mahasiswa yang pernah berjuang menyelesaikan skripsi, tesis dan disertasi. Pastilah mereka dulu lebih sulit kondisinya tuk memasuki bangku perguruan tinggi. Tapi dengan banyaknya angka korupsi, aku sendiri ragu apakah mereka pernah kuliah. Merasakan beratnya merangkai mimpi hingga dalam genggaman semua itu kini.
Akulah Nadia, mahasiswa dengan segala kekurangan yang ada tuk tetap melanjutkan kuliah. Tapi aku bangga menjadi mahasiswa, karena aku yakin perubahan itu bisa terlaksana, kala mahasiswa selalu bangga akan statusnya dan menjadi pelopor perubahan dimanapun mereka berada.
Cerpen ini ikut dalam Festival Fiksi Kompasiana 2011 dan ikut pula dibukukan.