Halaman

Assalamualaikum, welcome

Sebuah eksplorasi hati...

Sabtu, 28 Juli 2012

Perlukah Standarisasi Masjid?




Mendirikan shalat adalah ibadah yang sangat spesial bagi umat Islam. Selain karena ibadah ini yang pertama dihisab, ibadah ini juga langsung diperintahkan Allah Swt kepada manusia melalui Nabi Muhammad ketika peristiwa Isra’ Mi’raj. Dan tentunya, shalat juga disebut tiangnya agama, pondasi yang tentunya harus kokoh untuk menopang bagian-bagian lainnya.

hadist shahih dari Muadz bin Jabal

سنن الترمذي - (ج 9 / ص 202) ...رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ ...

Intisari perkara adalah Islam dan tiangnya adalah shalat (HR Ahmad-V/231,237; HR Tirmidzi-IX/202; Ibn Majah hadist no. 3973)


Dalam mendirikan shalat, tentunya harus khusuk dan tuma’ninah.
Ketika saya mengikuti pelatihan shalat khusuk beberapa tahun silam, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan agar kita bisa khusuk dalam shalat. Satu diantaranya adalah melakukan gerakan shalat dengan benar.

Ramadhan datang. Detik demi detik berharga menyambut hari kemenangan sudah dimulai dari sekarang. Bergunung-gunung pahala telah Allah siapkan, untuk tiap tetes kebaikan yang kita lakukan.
Masjid kian dimakmurkan. Tilawah dikumandangkan.

Namun suatu ketika saya mendapatkan pengalaman istimewa. Di sebuah masjid tempat saya tarawih ada seorang laki-laki bertubuh besar, tinggi dan kekar. Namun saya jadi bersimpati ketika beliau tidak bisa melaksanakan sujud dan ruku’ dengan baik dan lancar karena tempat shalat yang tidak mencukupi.

Hal itu mengingatkan saya pada berbagai pengalaman shalat di berbagai masjid yang ada. Memang beberapa tempat sujud terkesan tidak menjadikan saya leluasa. Tinggi badan saya sekitar 170 cm. Lelaki tadi tingginya hanya beberapa senti di atas saya, namun pengaruh tempat sujud lebih tampak menyulitkan bagi dia karena tubuhnya yang kekar.

Perlu diketahui, tinggi saya dan lelaki itu sebenarnya biasa. Walau mungkin terkesan tinggi dibanding orang dewasa di lingkungan sini, namun generasi muda Indonesia sekarang cenderung memiliki tubuh yang tinggi. Dan banyak pula yang melebihi tinggi orang tua masing-masing.


Pernah hal ini dibahas di sebuah kajian di kampus saya, tetapi kesimpulannya shalat dengan kondisi tempat sedemikian rupa bisa dianggap urgent sehingga posisi sujud tidak lagi bisa sempurna.
Lalu, apakah hal ini akan tetap menjadi keadaan darurat tanpa penyelesaian?

Di tempat ibadah yang menggunakan ubin keramik 30 cm, (kebanyakan saya temui di daerah saya, Jawa Timur), biasanya tempat sujud ialah 3 keramik yaitu 90 cm, ditambah tempat kaki berpijak 15 cm yaitu jadi 105 cm. Keadaan 105 cm sebenarnya kalau untuk saya pribadi sudah lumayanlah, namun sayangnya ada beberapa masjid yang menggunakan karpet panjang yang sedang ngetren (Lihat gambar) yang ukurannya kurang dari 105 cm. Yang lebih disayangkan beberapa masjid seakan tidak acuh dengan tidak memberikan jeda agar tetap 105 cm.


Entahlah, menurut saya ini tidak nyaman untuk digunakan shalat. Bagi kawan-kawan yang tinggi badan sekitar 170 cm, mungkin selain sujudnya harus rela agak membengkokkan punggungnya, juga harus waspada karena resiko bertabrakan dengan jamaah di depan maupun belakangnya juga besar. Tabrakan biasanya terjadi ketika peralihan dari rakaat pertama ke kedua, yaitu ketika sujud ke takbiratul ihram. Juga ketika ruku’, bisa jadi menabrak jamaah di depan, sehingga ruku’nya tidak lurus seperti seharusnya.

Alih-alih shalat dengan khusuk, pikiran bisa jadi was-was ketika mengantisipasi tabrakan sedemikian rupa.
Bagi saya, ini merupakan suatu diskriminasi bila tidak ada solusinya. Karena tidak semua orang akan bisa shalat dengan gerakan sesuai kaidah. Padahal, seiring peningkatan kesejahteraan dan kesehatan, generasi muda mungkin akan lebih tinggi dari generasi kita. Apakah kita rela menjadikan tiap-tiap shalat mereka merasa terdiskriminasi?

Standarisasi masjid. Patut dikaji untuk dilaksanakan suatu hari nanti. Ini bukan masjid kota ataupun desa, semua tempat ibadah muslim harus menyesuaikan menururt saya.
Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar: