Ramadhan. Bulan penuh ampunan di
tiap detik-detiknya yang berjalan. Bulan yang terbaik tuk mengakui kesalahan.
Kecil maupun besar, pintu ampunan terbuka jauh lebih lebar. Jauh lebih lebar
ketika bulan-bulan lainnya, yang terangkai indah menjadi sebuah tahun dimana
kita mengarungi dunia.
Ramadhan. Mungkin inilah saat
dimana tempat ibadah paling banyak dikunjungi orang. Demikian pula Masjid Al
Hidayah, tempatku melihat berbagai hal berguna disana. Masjid ini memang tak
jauh dari tempat keluargaku memiliki rumah. Namun karena ada musholla yang
lebih dekat, Al Hidayah biasanya hanya kami kunjungi ketika Shalat Jumat saja.
Jenuh dengan penuhnya musholla
dekat rumah ketika Ramadhan, kami pun memilih ke Al Hidayah suatu ketika untuk
tarawih. Allahu Akbar, aku menemukan
hal menarik disini.
Berbeda dengan musholla dekat
rumah, Al Hidayah kebanyakan diisi jamaah dewasa. Jika di musholla dekat rumah
perbandingan anak-anak dan dewasa bisa 40:60. Namun di Al Hidayah prosentasenya
20 : 80.
Diantara orang dewasa yang ikut berjamaah, sebagian besar adalah mereka yang tergolong tua, beruban dan bisa dikatakan tak terlalu kuat secara fisik. Sebut saja Pak Jufri. Beliau mengalami kesulitan berjalan hingga harus memakai tongkat sejak mengalami kecelakaan beberapa tahun silam, dia pun harus bergerak perlahan ketika perpindahan gerakan shalat dan ada beberapa gerakan yang tidak bisa ia kerjakan.
Ada Pak Gendut, yang menderita stroke ringan hingga tangan kirinya tak bisa digerakkan sama sekali. Tangan kanannya pun akhirnya menjadi penopang dan pembantu ketika takbiratul ihram.
Ada yang hanya bisa shalat dengan duduk. Yang ini saya tidak mengenalnya. Yang terakhir juga ada Pak Karno, yang mengalami penyakit sehingga kakinya tidak bisa ditekuk. Akhirnya beliau harus bertahan duduk diantara dua sujud mau tasyadud awal dan akhir dengan posisi kedua tangan ikut menahan beban tubuhnya.
Dan semuanya datang untuk tarawih. Masha Allah
Hal yang mencengangkan adalah melihat
semangat mereka ketika dua rakaat salam selesai dan akan dilanjut ke dua rakaat
lagi. Biasa saya pribadi mencuri-curi waktu untuk istirahat sejenak. Namun
melihat orang-orang itu, saya sendiri malu untuk itu.
Mereka langsung berdiri.
Betapapun sulit untuk itu. Perlahan demi perlahan. Padahal, harusnya mereka
juga mengalami lelah yang sama dengan apa yang saya alami setelah bacaan sang
imam lumayan membuat tubuh kewalahan.
Tarawih. Ini hanya tarawih. Sholat sunnah bukan? Bahkan ketika ada
sunnah yang lebih mudah seperti tilawah, mengapa mereka bersusah payah untuk
tarawih?
Gemetar
Jemari melihat shaff rapi berjajar
Sedikitpun tak terlihat kantuk diantara mata tua itu
Ataupun mimik lelah yang terpancar dari wajah yang tergerus waktu
Sementara aku
Bugar tanpa penyakit yang membelenggu
Kuat, berlari kencang pun mampu
Terkadang masih merasa ogah tuk melaksanakan sunnah untuk-Mu
Astaghfirullah
Sementara, ketika masjid bukan
lagi tempat istimewa bagi generasi muda. Akankah generasi lama seperti mereka
hanya akan jadi cerita sejarah. Yang selalu dikira kuno, jadul dan ketinggalan
zaman.
Ramadhan datang, ayo rapatkan
barisan!
Ada seorang yang tidak punya kaki
ditanya kenapa ia begitu bahagia dengan segala kekurangannya.
Dengan tersenyum dia menjawabnya,
“Saya tidak bertanya kenapa saya tidak punya kaki. Saya bertanya apa yang bisa
saya perbuat dengan tangan saya”.
Demikianlah, karena di balik
semua karunia yang Allah berikan kepada kita, Allah menitipkan amanah
bersamanya.
(Arief Alamsyah, The Way To Happiness)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar