Mentari perlahan meninggi. Ahad pagi.
Kampus didatangi masyarakat yang menikmati udara pagi. Salah satu sudut kampus tampak
ramai. Seperti biasa, sekelilingnya memang sering digunakan sebagai jalanan
untuk lari. Danau.
Danau itu baru setahun berdiri.
Untuk resapan air katanya. Dan memang menjadi daya tarik tersendiri karena
letaknya yang strategis diapit 4 kampus sekitarnya. Mahasiswa juga tak jarang
memanfaatkan fasilitas di sekitarnya untuk kegiatan organisasi atau
komunitasnya. Sebuah komunitas tampak melakukan upgrading.
Mereka berkumpul di jembatan yang dibangun di atas danau
sedari pagi. Fyi, Upgrading adalah
kegiatan outdoor yang biasa dilakukan
untuk meningkatkan kekompakan dan menjaga kebersamaan suatu kelompok. Biasanya
mereka melakukan games, olahraga bersama dan bercanda ria.
Menyenangkan. Itulah yang bisa
tergambarkan dari raut muka yang hadir disana. Tampaknya komunitas itu melakukan
upgradingnya dengan baik, sesuai yang pasti mereka rencanakan sebelumnya.
Namun, skenario tak berjalan
sesuai rencana. Atau mereka bahkan tidak tahu. Ya mungkin. Ketidaktahuan
acapkali menjadi penyebab, namun ketidakacuhan juga tak kalah sering menjadi
musabab. Seorang akhwat berjilbab terlihat protes terhadap games yang
diberikan. Singkat. “Kak, saya khan berjilbab... “, begitu kira-kira
kata-katanya. Sepertinya games yang ada memang terkesan kurang menjaga
posisinya. Aku hanya terbengong takjub mendengar suaranya sayup-sayup. “Subhanallah”
Tampaknya, panitia segera
memakluminya. Syukurlah. Ia tampak tak ambil bagian dari games yang satu itu.
Pagi itu, aku mendapat pelajaran
yang berharga. Ini tentang keberanian. Bayangkan kawan jika perempuan tersebut
malu, sungkan, dan merasa takut untuk mengucapkan. Dia masih bisa berkata
spontan, mencari alasan cerdas, tidak berbelit dan bisa dimengerti lainnya yang
mungkin belum paham. Jika tidak? Boleh jadi permainan yang keterlaluan bisa
diikuti walau dengan keterpaksaan.
Ketahuilah, permainan dengan
dalih untuk merekatkan malah terkesan berlebihan sudah sering adanya. Tidak
munafik, setan sangat lihai membuat kesan menyenangkan apabila tlah perlahan
menjurus ke arah yang kurang pantas dilakukan.
Seperti halnya berdiri di atas
kertas koran terbatas untuk satu kelompok yang ada anggotanya perempuan juga.
Pantaskah?
Disinilah kita bisa memetik
hikmah.
Kita sudah diberikan senjata
terbaik untuk menjaga diri kita. Dari segala bentuk apapun yang mengundang
bahaya. Bagi kawan perempuan tadi, ialah jilbabnya. Bukan menjadi pembatas
baginya untuk bersenang-senang, namun jadi pelindung ketika memang ia gunakan.
Boleh jadi teman yang belum berjilbab akan bingung mencari alasan apabila
berhadapan dengan kondisi yang sama, mengharuskan terlalu berdekatan dengan
lawan jenisnya.
Namun senjata itu tidaklah
berguna. Sama sekali yakinlah, jika tanpa ada keberanian yang menyertainya. Dengan kata lain, mereka adalah satu paket tak terjual terpisah agar bisa bermakna.
Lalu darimana datangnya
keberanian itu?
Tentunya ia takkan datang dari
keraguan. Ia takkan pula datang dari sikap penakut dan pengecut yang tumbuh
beserta lemahnya iman.
Karena tahukah kawan, bahwa keberanian adalah salah satu kekuatan. Tentunya tiada kekuatan terbesar melainkan yang bersumber dari Allah, bukan?
Lalu seberapa beranikah kita
menjadikan nikmat iman dan islam yang tlah ada menjadi penyuara kebenaran? Atau
kita malah masih ragu dan malu? Jika kita sendiri masih belum bisa meyakinkan
diri ini, bagaimana bisa membuat mereka mau belajar memahami?
Yuk, terus perkuat diri kita. Agar sekitar kita menjadi terjaga, sesuai Quran dan sunnah rasul-Nya.