Hari Ibu adalah hari ini, tepat di 22 Desember. Mungkin sangat berkesan sekali sosok ibu di benaknya. Sangat berkesan. Jauh berbeda dengan Ayah. Jadi apalah arti Ayah andai ada hari Ayah untuknya. Ayah. Hanya sebatas sebutankah atau hanya gelar? Apa semua Ayah pantas menjadi Ayah?
Sebut saja Rasyid, bocah kelas lima SD yang kebetulan sering mengaji bersamaku dan mampir ke kosku juga. Ketika itu, untuk ke sekian kalinya dia datang. Dan entah mengapa dia akhirnya menceritakan kisah yang menurutku hanya ada dalam sinetron.
“Aku kangen dengan adikku kak”, ucapnya lirih.
“Kakak juga. Memang adikmu dimana? Kok nggak kamu kunjungi saja?”
“Tapi adikku sedang bersama Ayah kak. Dan Ibu nggak mau kembali ke sana”.
Aku heran. Apa salahnya jika bersama Ayah? Sebegitu menakutkankah sosok Ayah baginya? Sementara dia pun melanjutkan kisahnya. Kisah yang sebelumnya belum pantas diketahui anak seumurannya. Tapi apa daya. Siapa yang mau ia salahkan? Dia hanya rindu adiknya, bukan Ayahnya.
Dari ceritanya, dia ternyata datang ke Bandung di bulan yang sama denganku yaitu Agustus. Asalnya dari Lampung. Anehnya, dia sudah mahir berbahasa sunda, hingga saat ngaji pun kadang mengucap “fa” jadi “pa” seperti kebanyakan orang sunda. Disini memang banyak anak kecil. Dan ia sering bermain dengan mereka. Sekali lagi hanya satu alasannya. Rindu kepada adik dan teman sebayanya, bukan lagi kepada Ayah.
“Tapi adik saya mungkin diajari yang nggak baik sama Ayah kak, itu masalahnya”, akunya polos.
Dari situlah kisah sebenarnya terungkap jua. Mengenai alasan kepindahannya ke Bandung, yang dengan sengaja meninggalkan adik perempuannya yang cantik itu nan jauh disana. Alasannya terpaksa. Ya terpaksa, bagaimana tidak dia meninggalkan adik yang sangat disayanginya nan jauh disana.
“Ketika itu Ayah marah Kak, sepulang Ibu, saya dan adik dari pasar. Ayah sedang mabuk. Bau minuman keras. Dia menuduh Ibu dari hotel. Lantas dia pukuli Ibu dan memarahinya”.
Mataku terbelalak ketika itu. Tak bisa juga menghela napas, mendengar celotehan Rasyid tentang Ayahnya. Dari mata bocah ini ternyata tersimpan kenangan kekerasan dan kepedihan yang begitu nyata. Aku pun tak berniat menanyakan maksud dari hotel itu apa. Aku tahu jika aku menjadi dia aku pasti mencari tahu mengapa hanya dituduh dari hotel saja lantas dipukuli. Dan itu tak baik untuk diketahui anak seumurannya.
“Lalu ?”
“Saat dini hari Ibu membangunkan saya kak. “Ayo ikut Ibu ke suatu tempat”, katanya. Saat Ayah dan Adik juga terlelap. Memar-memar Ibu pun masih ada. Ibu mengajak saya pergi hingga ke Bandung sini”.
Mengapa kabur? Niat hati ingin menanyakan ini, tapi bisa dipastikan sosok Ayah yang sedemikian rupa hingga ditakuti sang Ibu pastilah sudah berkali kali melakukan kekerasan. Bisa diyakini pula, Ibu pun sudah tak kuat lagi. Apalagi saat ditanya mengapa tidak kembali kesana dan mengajak serta adik, Rasyid hanya berkata, “Ibu sudah tak mau lagi menginjakkan kaki disana kak”.
‘Nah bagaimana adikmu?”, tanyaku penasaran.
“Adik ditinggal kak. Dia masih kecil dan terlelap tidur. Saat itu aku bilang ke Ibu, “ Bu, adik gimana? Masak ditinggal?” dan ia hanya hanya menjawab, “Kasihan, adikmu masih kecil dan sedang tidur”. Aku nggak tahu jika akan diajak pindah, cuma dikira hanya pergi ke suatu tempat saja”.
Memang, menurutku untuk membawa anak sekecil Rasyid saja mungkin sudah sulit, bagaimana bisa membawa balita. Sangat beresiko.
“Moga aja, nenek bisa menjaga adik ya kak”.
Aku mengangguk. Juga tak langsung tersentak yang mengingatkanku pada sosok adik-adikku yang manis di rumah. Aku juga kangen mereka. Kangen sekali.
“Mengapa Ayah bisa sejahat itu Kak?”, tanya dia.
Aku terdiam sejenak. Ingin hati ini merangkaikan kata dan mengucap bahwa tak semua Ayah begitu adanya. Tapi itu hanya akan membuat dia membenci sosok Ayahnya, menanamkan rasa iri dalam hatinya kepada Ayah-Ayah yang lain dan mungkin mendendam. Aku tak mau itu.
“Rasyid, kakak tahu kamu kangen banget sama adik kamu. Mungkin jauh lebih kangen daripada rasa kangen kakak ke adik-adik kakak sendiri. Tapi kamu harus tahu satu hal, dan kamu harus ingat ini”.
“Apa itu kak”
“Kamu tahu nggak mengapa kamu diajak Ibu kesini. Mengapa tidak Ibu kamu pergi sendiri saja?”
“Mengapa?”
“Karena kamu adalah harapan Ibumu. Kamu yang dia harap bisa mewakili dia mengambil kembali adik. Mungkin Ibu kamu sudah tidak kuat lagi Ras”.
“Tapi saya masih kecil kak”.
“Kakak tahu. Kamu belum bisa apa-apa sekarang. Karena itu cepatlah dewasa dan rajinlah belajar. Kakak yakin suatu saat nanti tiba saatnya kamu mengambil kembali adik kamu. Adik kamu pasti sangat kangen sama kakak sepertimu. Apalagi kakak laki-laki yang sayang kepadanya sepertimu”.
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mataku sudah cukup berkaca-kaca. Aku pun tak mau sok bijak. Entah mengapa, malam itu sendu sekali suasananya. Aku pun menyuruhnya pulang karena sudah terlalu larut. Berlanjut, aku pun terpaku dalam lamunan kisahnya.
“Ayah, aku beruntung terlahir sebagai anakmu. Tanpa kehedakNya agar kau nikahi Ibu, aku tak ada. Apalagi memiliki Ayah sebaik dirimu, yang rela membanting tulang sedemikian rupa untuk anak-anakmu”, pikirku.
Aku tak berharap Rasyid memikirkan hal yang sama. Sosok Ayah kami berbeda. Jauh berbeda. Andai ada Hari Ayah, mungkin hanya akan menyakitinya. Membuka kenangan pahitnya tentang Ayah. Mempertebal rindunya kepada adiknya.
“Rasyid andai ada hari ayah, apakah yang kau pikirkan kawan?”.
Aku tak bisa berbuat banyak untuk membantu. Hanya satu hal, menemaninya sebagai murobbi di TPA. Itu saja. Ya Allah mudahkanlah jalan anak ini. Juga jalanku tuk senantiasa bersama naunganMu. Amien.
Aku tak bisa berbuat banyak untuk membantu. Hanya satu hal, menemaninya sebagai murobbi di TPA. Itu saja. Ya Allah mudahkanlah jalan anak ini. Juga jalanku tuk senantiasa bersama naunganMu. Amien.